Maaf, izinkan saya sedikit mengomentari masalah ini. Utamanya karena sepertinya “serangan” bertubi-tubi terus tertuju ke Abu Mudi pasca viral video beliau tentang shalat tarawih.
Dari serangan-serangan itu, saya menyimak seolah-olah Abu Mudi telah melakukan kesalahan yang super besar yang sangat sulit mereka ampuni.
Ataukah mungkin, momentum untuk menyerang Abu Mudi ini memang ditunggu-tunggu selama ini? Semoga bukan.
Sebab, menyerang Abu Mudi adalah menyerang kekuatan Islam tradisonal di Aceh yang telah mengakar kuat berabad-abad lamanya. Bahwa pemahaman Islam seperti yang dipahami dan diajarkan Abu Mudi serta segenap komunitas ulama dan santri dayah di Aceh telah memiliki legitimasi masyarakat Aceh secara turun temurun dan telah pun dianggap sebagai pemikiran mainstream masyarakat Aceh.
Sistem pendidikan dayah, kurikulum dan kitab-kitab turats (klasik) yang dipelajari dan diajarkan di dayah selama ini tidak diragukan lagi merupakan sisa-sisa warisan peradaban masa lalu Aceh yang sampai saat ini secara kuat mempengaruhi kerangka berfikir masyarakat Aceh dan tatanan nilai yang dibangun.
Dan lebih dari itu, dalam aspek amalan fiqh, pemahaman Islam yang dipahami ulama-ulama dayah di Aceh juga sama seperti halnya yang dipahami oleh ulama dan umat Islam di berbagai dunia Islam. Kerangka fiqh yang dikembangkan adalah berdasarkkan empat mazhab dengan titik tekan pada mazhab Syafi’i.
Jadi, selanjutnya saya sangat menyarankan agar sebelum menyerang Abu Mudi, ada baiknya memahami dulu tentang Abu Mudi, pemikiran serta track record beliau.
Pertama
Mesti diingat bahwa Abu Mudi bukanlah ulama yang suka menuduh bid’ah kepada amalan umat Islam yang lain. Malahan, kalau mau jujur, selama ini ulama-ulama dayah di Aceh dan para santrinya yang paling sering tertuduh sebagai pelaku bid’ah.
Sebab, ulama dan para santri dayah di Aceh paling terdepan dalam merawat warisan peradaban Aceh, seperti pelaksanaan Maulid Nabi yang cukup sering dituduh bid’ah oleh sekelompok orang. Tahlilan, yasinan, pelaksanaan Sulok dan sebagainya yang dilakukan komunitas dayah dan masyarakat Aceh yang telah cukup sering dituduh bid’ah bukan?
Jadi, jika harus marah karena Abu Mudi menyebut bid’ah untuk shalat tarawih 8 rakaat, maka seharusnya kita harus lebih marah lagi atas tuduhan-tuduhan bid’ah yang telah cukup sering kita simak dilancarkan sekelompok orang terhadap komunitas dayah dan masyarakat Aceh lainnya. Bukankah kita seharusnya bisa berlaku adil?
Kedua.
Kalau kita perhatikan statemen Abu Mudi tentang “bid’ah tarawih 8 rakaat”, sebenarnya statemen tersebut hanya tertuju kepada jama’ah beliau.
Dengan statemen ini, saya melihat sebenarnya Abu Mudi sangat berharap tidak adanya tudingan-tudingan bid’ah kepada pelaku shalat tarawih 20 rakaat yang memang sebelum-sebelum ini sering kita dengar.
Pada faktanya, tidak jarang kita mendengar ocehan sekelompok orang bahwa tarawih 20 rakaat bukan ikut Nabi.
Inilah kekeliruan besar yang terus dibiarkan tidak dipahami dengan baik. Abu Mudi pada satu sisi hendak meluruskan masalah ini. Dan inilah yang seperti tidak ditangkap dengan baik dari video yang viral itu.
Jadi, Abu Mudi hendak menyampaikan kira-kira begini “janganlah menuduh bid’ah untuk tarawih 20 rakaat yang kami kerjakan jika kalian yang shalat 8 rakaat tidak mau disebut melakukan bid’ah”.
Maka statemen Abu Mudi sama sekali bukan serangan untuk yang melakukan tarawih 8 rakaat.
Jika anda masih ragu, maka sekali lagi, simaklah track record Abu Mudi dan ulama-ulama lainnya di Aceh. Apakah mereka adalah pihak yang suka menuduh bid’ah? Tentu saja bukan.
Yang akan anda dapati adalah, justru pihak dayah sering dituduh melakukan bid’ah seperti yang saya singgung di atas.
Kesimpulan yang saya pahami, pada intinya Abu Mudi ingin agar tarawih 20 rakaat tidak dipahami sebagai bid’ah oleh masyarakat Aceh, sekaligus harapan agar masyarakat tahu duduk perkara tentang tarawih 20 rakaat.
Pada kenyataannnya, harus diakui perihal 20 rakaat ini sudah banyak generasi muda Aceh yang tidak lagi memahaminya.
Tidak banyak generasi muda Aceh yang paham bahwa tarawih 20 rakaat adalah pendapat para ulama-ulama mazhab mulai dari Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali, kecuali Maliki yang berpendapat 36 rakaat.
Tidak banyak juga masyarakat Aceh yang paham bahwa tarawih 20 rakaat dikerjakan saban tahun di Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah (yang disini ditambah 16 rakaat lagi). Tidak banyak juga generasi muda Aceh yang paham bahwa sahabat-sahabat Nabi yang mulia (Khulafaurrasyidin) sepakat (tidak ada yang protes) atas tarawih 20 rakaat yang dilaksanakan Saidina Umar bin Khattab sehingga ini menjadi dalil "Ijma’ Sukuti" atas tarawih 20 rakaat.
Inilah kenyataan yang terjadi di Aceh saat ini. Seruan kembali kepada Alquran dan hadis meskipun sangat betul namun menyisakan persoalan untuk hal-hal seperti ini karena diserukan secara tidak lengkap.
Karena seharusnya seruan kembali kepada Alquran dan hadist mestinya juga menjelaskan bahwa caranya adalah dengan mempedomani para sahabat dan juga para ulama mazhab. Sebab merekalah yang paling paham Alquran dan hadist-hadist Rasulullah Saw.
Ketiga
Setelah Abu Mudi menjelaskan tarawih 20 rakaat dan referensinya dan menafikan tarawih 8 rakaat, lalu apakah kemudian Abu Mudi menjadi seorang ulama yang intoleran dalam bermazhab?
Tentu saja tidak. Sebab, Abu Mudi adalah ulama Aceh yang mengikuti Mazhab Syafi’i. Pendapatnya tarawih 20 rakaat masih dalam kerangka mazhab Syafi’i dan dua mazhab lainnya (minus Maliki yang berpendapat 36 rakaat).
Maka jika kita mengatakan Abu Mudi intoleran atas pendapa beliau tersebuta, maka kita juga harus mengatakan intoleran kepada Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali yang berpendapat tarawih 20 rakaat.
Bahkan kita juga harus mengatakan intoleran kepada Saidina Umar, Usman, dan Ali karamallahu wajhahu yang menegakkan shalat tarawih 20 rakaat, meyakini serta menyuruh ummat mengerjakannya.
Oleh sebab itu, maka demi Allah, lebih baik cercaan langsung atau tidak langsung kepada beliau agar dihentikan. Apalagi, kebaikan Abu Mudi dalam mendidik ummat tidaklah sedikit. Sudah begitu banyak orang-orang yang menjadi baik dan shalih atas pembinaan beliau.
Keempat.
Adanya tudingan bahwa keributan yang terjadi di salah satu masjid di Banda Aceh saat shalat tarawih sesungguhnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan statemen Abu Mudi. Faktanya ‘keributan’ di masjid tersebut juga terjadi pada tahun sebelumnya bukan?
Jadi tidaklah elok kalau keributan disitu kita kaitkan dengan statemen Abu Mudi. Kita sangat berharap hendaknya Pemko Banda Aceh, para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat merumuskan formula yang tepat untuk mengantisipasi terulangnya keributan tersebut.
Bagaimanapun kita semua malu melihat anak bangsa ribut dengan dengan amalan sunat. Padahal masih banyak persoalan besar lainnya yang harus kita selesaikan, dari persoalan bagaimana membangun peradaban Aceh hingga tentang dimana peran kita membantu negeri-negeri muslim.
Kita memang memahami bahwa amalan sunat, apalagi sunat muakkad, merupakan amalan yang bisa membantu kita untuk meraih berbagai keutamaan disisi Allah Swt sehingga orang-orang shalih dan para waliyullah sangat suka mengerjakan amalan sunat.
Namun, amalan sunat tetaplah sama sekali bukan alasan yang memperbolahkan terjadinya keributan. Wallahu a’lam bishshawab.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.facebook.com/theacehxpress/posts
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit