Sultan Tua tak pernah tahu bahwa Putra Mahkota sedih melihat sepak terjangnya. Dari budak-budak miliknya ia tahu peristiwa-peristiwa hebat di balik kebijaksanaan sang sultan yang menyengsarakan rakyat di selatan Malonda, Barat, dan sebagian kecil di wilayah tengah.
Sehingga setiap kali putra mahkota bersua dengan sultan tua, seakan-akan ia mencium amis darah. Senyum sultan tua adalah kecongkakan di atas derita banyak manusia.
"Anakku yang baik," setiap kali sultan tua menyapanya demikian, dalam hati ia menjerit. Mengapa kau menyebutku anak yang baik, sementara kau sendiri bukanlah seorang ayah yang baik, batin putra mahkota.
"Hm . . ., " Sultan tua berdehem. Lalu katanya, "Mengapa saat ayahanda berbicara denganmu, Ananda senantiasa terkesan berlaku tak sopan dengan tidak saksama menyimak apa yang Ayahanda ingin sampaikan?"
Putra mahkota tak mendengar. Pikiran milik pribadinya yang sangat berharga, telah jauh meluncur dari alam kesadarannya.
Bersambung . . .