Peureulak merupakan kota tua, yang lebih dikenal dengan sejarahnya yang gemilang di Dunia Islam Asia tenggara khususnya Indonesia.Bandar khalifah.itulah nama awal pertama daerah Peureulak tepatnya di desa Paya Meuligoe, tempat Kerajaan Islam pertama Asia Tenggara pada tahun 225 H dengan Raja pertamannya Sayyed Maulana Abdul Aziz Syah.
Bandar Khalifah yang dulunya merupakan kota Perdangan antar bangsa seperti gujarat (India) Arab dan persia serta sebagian negara-negara Eropa seperti inggris, Perancis, Belanda, Portugis dan lain-lain.
Awal perkembangan dan penyebaran Islam bermula dari Bandar Kahalifah (Paya Meuligo Sekarang) yang di sebarkan Oleh para Ulama-ulama dari peureulak dan dari Daerah lainnya.sehingga Agama Islam di Asia Tenggara berkembang dan menyebar dari bandar Khalifah yang kemudian menjadi Peureulak.
Pada tahun 1980 di Kuala Simpang dimana para ahli sejarah berkumpul dalam sebuah forum ilmiah untuk membedah sejarah Islam. Peristiwa bersejarah itu diberi tema: Seminar Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Aceh Dan Nusantara, yang dihadiri oleh sejarahwan dan budayawan dari dalam dan luar negeri. Berdasarkan data yang tersedia sebanyak 199 orang turut serta dalam acara yang diprakarsai oleh Ali Hasjmi tersebut, termasuk Prof. DR. HAMKA. Dari seminar tersebut dilahirkan beberapa kesimpulan, di antaranya: Peureulak adalah daerah pertama masuknya Islam di Nusantara, bahkan menjadi kerajaan tertua di Asia Tenggara yang dimulai dengan diproklamirkannya kerajaan Peureulak oleh sultan Said Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun 225 Hijriah bertepatan dengan 840 Masehi.
Dengan dikeluarkannya hasil seminar tersebut dengan sendirinya mengukuhkan bahwa kerajaan Peureulak lebih tua dari kerajaan Pasai (Pase) yang baru dimulai pada abad ke 11 Masehi. Untuk memugar kembali situs sejarah Peureulak yang telah lama terbengkalai, seminar merekomendasikan untuk dibangun sebuah monumen sejarah, untuk itu perlu dibentuk sebuah badan yang bekerja khusus untuk program tersebut yang diberi nama Yayasan Monumen Islam Asia Tenggara disingkat dengan MONISA.
Maka pada tahun 1981 yayasan monisa didirikan, dari susunan strukturnya terpancar optimisme bahwa lembaga tersebut akan sanggup melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya, karena sangat banyak tokoh intelektual dan pejabat publik pada masa itu terlibat dalam struktur, bahkan siapa saja yang menjadi Bupati Aceh Timur secara otomatis menjadi ketua yayasan.
Optimisme pun berbinar-binar dimata masyarakat Aceh khususnya penduduk peureulak sehingga satu persatu masyarakat yang tanahnya masuk dalamsite plan monisa bersedia melepaskan tanah mereka dengan ganti rugi alakadarnya, sehingga dalam waktu singkat tanah seluas 122.292m2 yang terletak di desa Paya Meuligoe yang diyakini sebagai bekas kerajaan Peureulak berhasil dibebaskan oleh pengurus monisa.
Dukungan pemerintah pun terlihat sangat serius, setiap tahun Pemda Aceh Timur ikut menganggarkan dana untuk pembangunan situs bersejarah tersebut, dukungan masyarakat secara pribadi juga sangat antusias, pada tahun 1983 sebuah gedung serba guna yang menurut rencana akan dijadikan sekretariat monisaberhasil dibangun atas sumbangan H. Abu bakar Abdy.
Dalam bidang perencanaan, monisa membentuk tim khusus yang dikenal dengan tim 4 dipimpin oleh Ir. Abdul Hadi, cs. Dalam hal ini monisa telah menyiapkan denah yang sangat detail di lokasi monisa mulai dari bangunan induk yang merupakan gedung yang sangat apik dan indah, dilengkapi dengan komplek pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi, juga ada dayah tradisional untuk melestarikan ciri khas budaya Aceh, maket rumah yang berciri khas budaya dari berbagai negara ASEAN, maket rumah adat dari berbagai suku di Indonesia, ada kolam Nurul A’la, pemandian air panas, danau Banta Amat, taman bunga dan lain-lain, bahkan mereka sudah membuat sebuah maket monumen yang sangat indah, maket tersebut sering dipajang pada acara-acara pameran dan sering menimbulkan decak kagum pengunjung atas keindahannya.
Secara historis Aceh sangat layak untuk memiliki monumen tersebut, kalau saja hal itu betul-betul dapat diwujudkan maka Aceh akan kaya dengan berbagai monumen berkelas internasional seperti Monumen Tsunami, Monumen Perdamaian, dan tentu saja Monumen Islam Asia Tenggara.
Namun sangat disayangkan setelah melewati waktu yang sangat lama monumen Islam yang menjadi harapan masyarakat Aceh terutama masyarakat Peureulak yang telah rela mewakafkan tanah mereka untuk proyek tersebut tak kunjung tiba.
Sebuah gedung serba guna yang pernah dibangun 25 tahun silam, kini tak terurus dan telah menjadi bak kandang sapi, maket monisa yang sering menjadi bahan pameran kini telah rusak dan hilang entah kemana.
Kini setelah 28 tahun berlalu, generasi telah berganti, sebagian orang yang turut serta memperjuangkan monisa telah satu persatu menghadap Ilahi. Mungkin sebagian lagi masih ada yang diberi umur oleh Allah swt sehingga sempat membaca tulisan ini. Namun sayup-sayup gema monisa lenyap ditelan zaman.
Saksi-saksi persitiwa seminar itupun hampir lenyap, sebuah gedung di komplek pertamina yang dulunya menjadi tempat seminar telah kusam, dan nyaris tak terurus lagi, yang tinggal kini hanya tanah kosong seluas 12 hektar di Paya Meuligoe yang merupakan wakaf masyarakat, beberapa plang nama pada simpang jalan di Peureulak dan beberapa makam tua yang diklaim sebagai raja.
Banyak orang yang bertanya-tanya apa sebab pembangunan monisa gagal di tengah jalan. Sebelum pertanyaan itu dijawab oleh yang berkompeten, penulis mencoba menganalisa beberap sebab yang menghambat atau memperlambat pembangunan monisa tersebut.
Sebagian analisa disini merupakan hasil kajian dan pembahasan bersama pengurus monisa yang baru yang mulai bertugas pada tahun 2008, permasalahan tersebut antara lain:
1.Kebanyakan pengurus monisa adalah birokrat dan pejabat publik, sehingga tidak fokus dalam masalah monisa, sejak pertama didirikan ketua harian monisa adalah Bupati Aceh Timur, siapa saja yang menjadi bupati dialah yang menjadi ketua monisa.
Hal itu menjadi salah satu faktor terlambatnya pergerakan monisa karena bupati dengan kesibukannya tentu saja sangat sedikit waktu untuk mengurus hal seperti itu.
Menyadari banyaknya kendala struktural di tubuh yayasan, maka pada tahun 2008 dilakukan revisi pengurus secara total dengan melibatkan lebih banyak pihak yang umumnya merupakan tokoh muda, juga merangkul tokoh-tokoh dari luar Aceh Timur sehingga kesan ekslusifisme monisa dapat dihilangkan.
2.Tidak dilakukan penggalian arkeologi secara mendalam pada lokasi yang diyakini sebagai bekas kerajaan Peureulak, sejauh ini keyakinan bahwa Peureulak sebagai kerajaan Islam Pertama di Asia Tenggara didapati dari literatur baik lokal maupun asing seperti Marcopolo. Namun, lokasi kerajaannya secara persis masih bersumber dari informasi lisan masyarakat setempat.
Penggalian nisan pernah dilakukan sebelum seminar diadakan dengan menghadirkan Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun penggalian yang dilakukan beliau perlu dikuatkan lagi oleh arkeolog sehingga hasilnya betul-betul dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Sebelumnya Ketua Lembaga Dinas Purba kala Pusat Jakarta Drs. Hasan Ma’arif Ambary telah hadir di Peureulak dan ikut dalam seminar tahun 1980 bahkan menyampaikan makalah dengan judul: bangun dan berkembangnya Islam di Peureulak ditinjau dari segi arkeologi.
Akan tetapi kedatangan beliau ke Peureulak hanya sekedar meninjau lokasi bekas kerajaan bukan untuk melakukan penggalian, sehingga dalam makalahnya beliau merekomendasikan supaya dilakukan penelitian arkeologi yang lebih mendalam lagi di masa yang akan datang.
Rekomendasi tersebut sampai saat ini belum dilakukan. Sebagian tokoh masyarakat di kawasan Paya Meuligoe meyakini dari hasil penggalian nisan yang dilakukan oleh Tgk. H. Abdullah ujong Rimba, terdapat tulisan Abdul Aziz pada nisan tersebut.
Tulisan itu telah tertanam ke dalam tanah sehingga tidak dapat dibaca lagi, penulis pun sudah melihat foto nisan tersebut setelah diangkat dari makam, namun masih meragukan kebenaran informasi tersebut.
Untuk memastikan pernyataan itu pengurus monisa yang baru, mengundang beberapa orang pakar untuk melakukan kajian langsung terhadap makam dan nisan yang diyakini milik sultan Said Maulana Abdul Aziz Syah. Penggalian dilakukan pada tanggal 17 Agustus 2008 dibawah pimpinan arkeolog muda Aceh, Dedi Satria.
Setelah nisan digali sampai ke akarnya tidak juga ditemukan nama sebagaimana yang diharapkan, walau demikian arkeolog tersebut mengakui kalau nisan itu telah berumur lebih dari 800 tahun.
Penggalian arkeologis sangat diperlukan untuk menyatakan pada dunia tentang keabsahan historis suatu situs bersejarah, sehingga tidak menimbulkan kesalahan di masa yang akan datang.
Kebanyakan penulis sejarah termasuk Prof. Ali Hasjmi sering mengutip kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Firlak Wal Fasi, karya Abu Ishak Al-Makarani sebagai rujukan, karena disana mengandung sejarah Peureulak dan silsilah raja-rajanya.
Bahkan lembaran lepas dari kitab tersebut yang berisi silsilah raja peureulak sempat dibawa ke tempat seminar di Kuala Simpang pada tahun 1980. Foto copy lembaran itu juga ada sama penulis, namun lebih dari itu belum ada kabarnya.
Dalam dokumen monisa dituliskan, kitab itu secara utuh berada pada seorang warga Peunaron yang bernama pang Akob atau Lebai Akob. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia dan kitab itu belum ada kabarnya dimana.
Seorang budayawan Aceh Nab Bahany As mengakui pernah melihat kitab tersebut di simpang balik Aceh Tengah pada tahun 1980-an sedang diterjemahkan oleh Teungku Adu atau Kek Adu yang berasal dari Matang Rubek Aceh Utara.
Lalu pada tanggal 18 Agustus 2008 kami bersama pengurus monisa pergi ke Matang Rubek untuk mencari orang yang disebutkan oleh Teungku Nab Bahany. Sama halnya dengan Lebai Akob, Teungku Adu tersebut juga telah lama meninggal dunia.
Pencarian ke pustaka-pustaka juga sudah dilakukan, termasuk ke museum Aceh dan Museum Ali Hasjmi. Hingga kini belum ada yang bisa menunjukkan kitab yang menjadi juru kunci sejarah Peureulak tersebut, sehingga berbagai informasi penting tentang sejarah Peureulak dan silsilah raja-rajanya masih menjadi misteri. Semoga bagi siapa saja yang menyimpannya bisa berbagi dengan yang lain demi kemaslahatan sejarah Aceh.
Sebagian sejarah ada yang berbau mitos, hal itu lumrah terjadi dimana saja apalagi jika sejarah itu tidak didokumentasikan dengan jelas. Umumnya masyarakat kita menyampaikan sejarah kepada generasi berikutnya melalui lisan sehingga akurasi data makin lama makin berkurang atau malah hilang sama sekali.
Demikian halnya dengan kisah tentang kerajaan Peureulak, kebanyakan masyarakat hanya mendengarnya lewat hikayat, syair, dan cerita orang-orang tua.
Dalam konteks monisa, sebagian besar informasi tentang sejarah Peureulak seperti kisah Nurul A’la, Banta Amat, Nurul Qadimah dan raja-raja bersumber dari cerita orang tua-tua, sehingga akurasi datanya berkurang apalagi cerita itu sudah diwariskan oleh beberapa generasi sehingga berbagai modifikasi bisa saja terjadi dalam penyampaiannya.
Demikianlah, apapun rintangannya kita tertantang untuk membuktikan jejak sejarah bangsa kita, secara historis penulis sepakat dengan kesimpulan seminar tahun 1980 bahwa Islam telah masuk ke Aceh pada abad pertama hijriah tepatnya di Peureulak.
Hal terpenting menurut penulis saat ini adalah melakukan pembuktian arkeologis pada lokasi sejarah tersebut. Untuk seterusnya baru dilanjutkan dengan pembangunan monumen, supaya tidak adanya bongkar pasang pada bangunan yang dibangun, di tempat yang tidak seharusnya.
Semoga pengurus monisa yang baru mampu melakukan tahapan yang benar dalam membangun monisa ke depan sehingga kita tidak terperosok ke lobang yang sama di masa yang akan datang.
Mungkin kita akan bertanya-tanya mengapa Peureulak adalah termasuk Kota Suci Peureulak ? padahal yang kita ketahui kota Suci bagi Umat Islam Asia Tenggara adalah Kota Mekkah dan Madinah di Arab Saudi....
mungkin kita akan bertanya-tanya siapa yang telah menyebarkan dan memperkenalkan Islam di Aceh, sejarah yang kita tahu dari Buku-buku sejarah, Islam di bawa oleh Para pedagang dari Gujarat (GUjarat) Atau bangsa Arab bahkan ada juga yang beranggapan bahwa Islam Masuk Ke Aceh Di bawa oleh Bangsa Farsi atau persia.. namun yang jelas Islam di Bawa Ke Peureulak oleh Keturunan Rasulullah yang Suci..... pada abad pertama Hijriah.
Seperti telah Di jelaskan Di Atas bahwa Raja Islam Pertama Asia Tenggara adalah Sulthan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah Bin Muhammad Ad Diqai Bin Muhammad Al Mujtaba Bin Jakfar Shadiq (Imam Ke enam Kaum Syiah Imamiyah) Bin Muhammad Al Baqir (Imam Ke Lima Kaum Syi'ah Imamiyah) Bin Ali Zainal Abidin (Imam ke Empat Syi'ah Imaiyah) bin Husain Assyahid (Imam Syiah Imamiyah ke Tiga) bin ‘Ali (Al Murthada) bin Abi Thallib Melalui perkawinan Ali (Al Murthada) (Imam Pertama Syiah Imamiyah) dengan Putri Rasulullah Sayyidah Fathimah Azzahra Binti Muhammad SAW.
Pada Tahun 2010 yang lalu seorang Ulama Besar Iran Ayatullah Muhammad Jawad Al Marwi beserta Rombongan Menziarahi Makam Raja Islam Pertama Asia Tenggara dan Beliaulah yang telah memberi Gelar sebagai Kota Suci Peureulak khusus Asia Tenggara.(iqbaal)
--------------------[ENG]---------------------------------
Peureulak is an old city, better known for its glorious history in the Islamic World of Southeast Asia especially Indonesia.Balar caliph. That is the first name of the first region Peureulak precisely in the village of Paya Meuligoe, where the first Islamic kingdom of Southeast Asia in 225 H with his first king Sayyed Maulana Abdul Aziz Shah.
Bandar Khalifah which was formerly a city of inter-nations between Gujarat (India) Arab and Persia and some European countries such as English, French, Dutch, Portuguese and others.
The beginning of the development and spread of Islam stems from Bandar Kahalifah (Paya Meuligo Now) spread by the Ulama-ulama from peureulak and from other regions. So Islam in Southeast Asia developed and spread from the city of Caliph that later became Peureulak.
In 1980 at Kuala Simpang where historians gathered in a scientific forum to dissect Islamic history. The historic event was given the theme: Seminar on the History of Entry and Development of Islam in Aceh And Nusantara, which was attended by historians and culturalists from within and abroad. Based on the available data of 199 people participated in the event initiated by Ali Hasjmi, including Prof. DR. HAMKA. From the seminar was born some conclusions, among them: Peureulak is the first area of entry of Islam in the archipelago, even became the oldest kingdom in Southeast Asia which began with proclaimed kingdom Peureulak by sultan Maulana Abdul Aziz Shah in 225 Hijriah coincides with 840 AD
With the issuance of the results of the seminar itself confirmed that the Peureulak empire is older than the Pasai kingdom (Pase) which only began in the 11th century AD. To restore the historically abandoned Peureulak history site, the seminar recommends that a historical monument be built, for which a specialist body for the program is called the Foundation of Southeast Asian Islamic Monuments abbreviated as MONISA.
So in 1981 the foundation of monisa was established, from the structure of the structure is optimism that the institution will be able to carry out the mandate imposed on him, because so many intellectuals and public officials at that time involved in the structure, even who became the Regent of East Aceh automatically became the foundation's president.
Optimism also glowing in the eyes of the people of Aceh, especially peureulak residents so that one by one people who land in the monisa plan plan to release their land with compensation alakadarnya, so that in a short time 122.292m2 land located in the village of Paya Meuligoe is believed to be former Peureulak empire Successfully released by monisa management.
Government support also looks very serious, every year the East Aceh government participate budgeted funds for the construction of the historic site, the support of the public personally also very enthusiastic, in 1983 a multipurpose building which according to the plan will be made secretariat monisaberhasil built on donation H. abu bakar Abdy.
In the field of planning, Monisa formed a special team known as team 4 led by Ir. Abdul Hadi, cs. In this case monisa has prepared a very detailed plan in the location of monument starting from the main building which is a beautiful and beautiful building, equipped with educational complexes ranging from kindergarten to college, there is also a traditional dayah to preserve the characteristics of Aceh culture, home model Which is characteristic of the culture of various ASEAN countries, mock house customs from various tribes in Indonesia, there is a swimming pool Nurul A'la, hot springs, lake Banta Amat, flower garden and others, even they have made a model of a very beautiful monument , The mockups are often on display at exhibition events and often lead to amazed visitors for its beauty.
Historically, Aceh is well-deserved to have the monument, if only it could be realized then Aceh would be rich with various international-class monuments such as the Tsunami Monument, the Peace Monument, and of course the Islamic Monuments of Southeast Asia.
However, it is unfortunate that after a very long time the Islamic monument that became the hope of the people of Aceh, especially the Peureulak people who have willingly donated their land for the project does not arrive.
A multipurpose building that was built 25 years ago, is now neglected and has become a cow pen, the model of monument that is often the exhibition material has now been damaged and lost some where.
Now that the 28 years have passed, the generations have changed, some of those who have participated in fighting for monism have been one by one facing the Divine. Maybe some of them still have the age of Allah swt so read this article. Yet the faint echoes of monisa disappeared in time.
The witnesses of the seminar event almost disappeared, a building in Pertamina complex which was once a seminar place was dull, and barely left behind, which is now only 12 hectares of vacant land in Paya Meuligoe which is a community wakaf, some name plank at intersection Roads in Peureulak and some old tombs claimed as kings.
Many people are wondering what causes the construction of the monument to fail in the middle of the road. Before the question is answered by the competent, the author tries to analyze some of the causes that hinder or slow the development of the monument. Some of the analysis here is the result of the study and discussion with the new monisa committee who began duty in 2008, the problems are:
- Most monisa administrators are bureaucrats and public officials, so they do not focus on the monisa issue, since the first one was established the head of monisa daily is the Regent of East Aceh, whoever becomes the bupati is the leader of monisa. It became one of the factors that delayed the monism movement because the regent with his preoccupations of course very little time to take care of things like that. Recognizing the many structural constraints in the foundation's body, in 2008 a total management revision was made by involving more parties who were generally young figures, as well as embracing figures from outside East Aceh so that the monument's exclusive impression could be eliminated.
- No deep archaeological excavations were made at the site believed to be the former Peureulak empire, so far the belief that Peureulak as the First Islamic empire in Southeast Asia is found from both local and foreign literature such as Marcopolo. However, the location of his kingdom is precisely still sourced from the oral information of the local community. Tombstone excavations were performed before the seminar was held by presenting Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba who at that time served as Chairman of the Council of Ulama Indonesia Province Special Region of Aceh. But the excavations done he needs to be reinforced by the archaeologist so that the results can really be justified scientifically.
Previously Chairman of the Institute of Ancient Service at the Central Jakarta Drs. Hasan Ma'arif Ambary has attended the Peureulak and participated in a 1980 seminar and even delivered a paper entitled: the rise and development of Islam in Peureulak in terms of archeology.
However, his arrival to Peureulak was only to review the location of the former kingdom not for the excavation, so in his paper he recommended that more archaeological research be conducted in the future.
The recommendations to date have not been made. Some community leaders in the region Paya Meuligoe believe from the results of excavations conducted by Tgk. H. Abdullah ujong Rimba, there is the writings of Abdul Aziz on the headstone.
The writing has been embedded into the ground so that it can not be read anymore, the author has seen the tomb after it was removed from the tomb, but still doubt the truth of the information.
To ensure that the statement was a new monisa administrator, invited several experts to conduct a direct review of the tomb and headstone believed to belong to the sultan Said Maulana Abdul Aziz Shah. Excavations were conducted on August 17, 2008 under the leadership of the young archeologist of Aceh, Dedi Satria.
After the gravestone was dug up to its roots, neither did the name as expected, but the archaeologist admitted it had been more than 800 years old.
Archaeological excavations are necessary to declare to the world the historical validity of a historic site, so as to avoid errors in the future.
- Most writers of history including Prof. Ali Hasjmi often quotes the book of Idharul Haq Fi Mamlakatil Firlak Wal Fasi, by Abu Ishak Al-Makarani as a reference, because it contains the history of Peureulak and the genealogy of its kings. Even the loose sheets of the book containing the pedigree of the king peureulak were taken to the seminar at Kuala Simpang in 1980. The photocopy of the sheet is also the same as the author, but more than that has not been reported. In the document written monisa, the book as a whole is in a Peunaron citizen named pang Akob or Lebai Akob. After the search, it turns out that the concerned has died and the book has not been reported where. An Acehnese culturalist Nab Bahany As admitted that he had seen the book in the intersection of Central Aceh in the 1980s is being translated by Teungku Adu or Kek Adu from Matang Rubek Aceh Utara. Then on August 18, 2008 we along with monisa officials went to Matang Rubek to find the person mentioned by Teungku Nab Bahany. Likewise with Lebai Akob, Teungku Adu has also long passed away. The search for libraries has also been done, including the Aceh museum and the Ali Hasjmi Museum. Until now no one can show the book that became the key interpreter of Peureulak history, so that important information about the history of Peureulak and the genealogy of its kings remains a mystery. Hopefully for anyone who keeps it can share with others for the benefit of Aceh's history.
- Some history there is a myth that smells, it is commonplace anywhere anywhere especially if the history is not clearly documented. Generally our society passes history to the next generation through word of mouth so that the accuracy of the data is getting less and even disappear altogether.
Similarly, with the story of the Peureulak empire, most people only hear it through saga, poetry, and old people's stories.
In the context of monisa, most information about the history of Peureulak such as the story of Nurul A'la, Banta Amat, Nurul Qadimah and kings is sourced from the stories of the elders, so that the accuracy of the data is reduced especially since the story has been inherited by several generations so that various modifications Just happened in delivery.
Thus, whatever our obstacles are challenged to prove our nation's historical footsteps, historically the author agrees with the conclusion of the 1980 seminar that Islam has entered Aceh in the first century of hijriah precisely in Peureulak.
The most important thing according to the author at this time is to do archeological proof on the location of the history. For the next time it is continued with the construction of the monument, so that the absence of unloading pairs on buildings built, where it should not be.
Hopefully the new monisa committee is able to do the right stages in building the monument forward so that we will not be mired in the same hole in the future.
Maybe we'll wonder why Peureulak is including the Sacred City of Peureulak? Whereas we know the Holy City for the Muslims of Southeast Asia is the City of Mecca and Medina in Saudi Arabia .... Maybe we will wonder who has spread and introduced Islam in Aceh, history that we know from the history books, Islam brought by merchants from Gujarat (GUjarat) Or even some Arabs who think that Islam goes to Aceh Taken by the Farsi or Persia .. but the obvious Islam in Bawa Ke Peureulak by the descendants of the Holy Prophet ... in the first century Hijriah. As mentioned above, the First Islamic King of Southeast Asia is Sulthan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah Bin Muhammad Ad Diqai Bin Muhammad Al Mujtaba Bin Jakfar Sadiq (Imam's Six Imamic Imams) Bin Muhammad Al Baqir (Imam of Five Shiites Imami) Bin Ali Zainal Abidin (Imam of the Four Shi'a Imaiyah) bin Husain Assyahid (Third Imam Shiite Imam) bin 'Ali (Al Murthada) bin Abi Thallib Through the marriage of Ali (Al Murthada) (Imam Imam's First Imam) Rasulullah Sayyidah Fatima Azzahra Binti Muhammad SAW. In the Year 2010 ago a large Iranian Ulama Ayatollah Muhammad Jawad Al Marwi and the Group visited the Tomb of the First Islamic King of Southeast Asia and Beliaulah who has given the title as a special Southeast Asia Peureulak City. (Iqbaal)
Saat bermanfaat untuk saya pribada
Terimakasih atas postingan nya
Saya rasa akan mengikuti dan setia menggu postingan anda selanjut nya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
oke brother ,,dan terus lah saling berbagi ?? salam dari kami mahasiswa aceh timur
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit