Paradigma Frikatifisasi Ilmu (I:12)

Frikatifisasi ilmu adalah upaya ilmu untuk bergerak sesuai dengan kekuatan sinar yang dimiliki pada tempat reproduksi ilmu pengetahuan. Karena dia merupakan hembusan, maka gerak ilmu baru berwujud dalam kehidupan manusia setelah mereja mendapatkan udara dari hembusan tersebut.

Orang Aceh di kampung-kampung yang masih tradisional, ketika membakar sua yang terbuat dari ranting atau daun kelapa kering, akan menghembuskan udara agar api yang memiliki sinar dapat dinyalakan. Falsafah sua merupakan tamsil dari paradigma frikatifisasi ilmu, dimana perlu dicari ilmu yang mampu mencerahkan kehidupan manusia. (hal 311)

(sumber foto: wordpress.com)

Keterdiaman manusia adalah ketika jiwa dan hatinya sudah bersih dan mampu menerima cerapan ilmu pengetahuan dari luar dirinya yaitu alam semesta dan jagat raya.

Ketika seorang masuk pada level frikatifisasi, dia sudah tidak lagi beraktifitas dalam gerak yang massif, melainkan diam untuk menyambungkan jiwanya dengan luar dirinya. Untuk masuk ke titik yang "diam" maka seseorang harus melakukan proses gerak seperti lazimnya orang tawaf. Aktifitas tersebut merupakan proses mencari keberadaan manusia pada titik kekuatan bumi yaitu ka'bah.

Paradigma interkoneksi, integrasi dan islamisasi merupakan tiga rangkai filsafat ilmu yang saling mengisi satu sama lain. Namun, akar dan praktiknya adalah berdasarkan sisi historis di nusantara hanya terjadi di Aceh melalui para ulama-ulama. Di dunia melayu di semenanjung, konstribusi Aceh telah memberikan suatu standar ke-melayu-an yang telah dirasakan hingga pasca kemerdekaan Malaysia. (hal 332)

Dalam bab ini, penulis memaparkan lima hal yang menjadi suatu bangunan keilmuan yang dipahami manusia yaitu Allah --> alam --> fenomena --> pengalaman --> teks. Semua dimulai dari Allah SWT dan diakhiri oleh Allah SWT.

"Tunduk pada cinta manusia hanya akan membutakan akal sehat. Sementara tunduk pada cinta Allah akan mencerahkan segala yang gelap di dunia dan menyelamatkan yang bahaya di akhirat."
-Agoy Tama-