Ilustrasi penderita difteri. [Foto: Antara]
BANDA ACEH - Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh, Abdul Fatah, mengatakan penyakit difteri terus mewabah di Aceh. Saat ini, kasus penyakit mematikan itu telah mencapai 55 kasus di seluruh Aceh.
“Ini jumlah kasus terbaru, selain 112 kasus sebelumnya di 2017. Itu data setahun, sedangkan di 2018 ini baru dua bulan sudah 55 kasus. Bayangkan saja jika setahun nanti berapa jumlahnya, bisa saja melebihi angka tahun sebelumnya,” kata Abdul Fatah, Jumat, 2 Maret 2018, di Banda Aceh.
Angka di 2018 tersebut, Abdul Fatah menjelaskan, kasus tertinggi terjadi di wilayah Pidie yang berjumlah 11 kasus, disusul Banda Aceh di peringkat kedua 9 kasus, dan Aceh Besar di peringkat ketiga dengan jumlah 8 kasus.
Kemudian, Abdul Fatah melanjutkan, Aceh Jaya berjumlah 7 kasus, Aceh Utara 5 kasus, Bireuen 4 kasus, Aceh Tengah 3 kasus, Lhokseumawe 3 kasus, serta Aceh Timur, Sabang, Aceh Singkil, Subulussalam dan Aceh Tamiang yang masing-masingnya 1 kasus.
“Alhamdulillah untuk tahun ini belum ada yang meninggal dunia, karena penanganannya cepat dengan pemberitan Anti Difteri Serum (ADS) dan bagi penderita langsung diisolasi di rumah sakit,” ujarnya.
Mengenai faktor saat ini kasus difteri terus terjadi di Aceh, Abdul Fatah menjelaskan, hal itu disebabkan cakupan imunisasi lengkap yang rendah. Di Aceh, jumlah yang melakukan imunisasi lengkap hanya mencakup 64 persen.
“Yang imunisasi saja masih bisa berisiko tertular penyakit ini, meski jika kena tidak terlalu berat, apalagi yang tidak melakukan imunisasi lengkap. Inilah penyebabnya kasus ini sulit teratasi dan terus merambah,” ujarnya.
Gejala difteri, Abdul Fatah menjelaskan, ditandai dengan demam tinggi, sakit di tenggorokan, sulit menelan makanan, serta adanya selaput putih di tenggorokan. enyakit ini dapat menular akibat percikan air liur, lewat udara, serta bersentuhan lansung dengan penderita.
“Penyakit ini menyebabkan kematian karena menyerang paru-paru dan membuat penderita kesulitan bernafas akibat selaput putih yang berada di saluran pernafasan bertambah tebal,” ungkapnya.
Ketika ditanyai penyebab wilayah Banda Aceh yang merupakan daerah perkotaan bisa menjadi peringkat kedua kasus diteri terbanyak, Abdul Fatah mengatakan sebelumnya faktor penyebab tingginya kasus difter terjadi did aerah yang pendidikannya rendah, karena minimnya pengetahuan. Namun di perkotaan, meski pengetahuannya tinggi, namun masyarakat mudah mengakses media sosial, sehingga terpengaruh dengan hal-hal yang berkaitan dengan kontra (anti) imunisasi, yang akhirnya menilai imunisasi adalah produk yahudi dan haram.
“Di kota, jika ada kegiatan imunisasi, para orang tua dua-duanya bekerja dan anaknya dititip, sehingga tidak ikut imunisasi lengkap. Petugas yang datang untuk pengecekan imunisasi ke rumah warga juga sulit, pagarnya tinggi-tinggi, sehingga cakupan imunisasi lengkap juga akhirnya rendah di Banda Aceh” ujarnya.
Ditanyai bagaimana penanganan yang dilakukan, Abdul Fatah, mengatakan selain para penderita diisolasi (penanganan di ruangan khusus) di rumah sakit, Dinas Kesehatan Aceh juga terus berupaya mensosialisasikan imunisasi lengkap agar kasus penyakit menular dan mematikan itu tidak terus merebak.
“Di daerah yang terdapat kasus itu dilakukan imunisasi menyeluruh, misalnya jika ditemukan penderitanya di satu kecamatan penderitanya usia 1 sampai 20 tahun, maka semua orang yang usia tersebut di kecamatan itu akan diimunisasi lengkap. Ada juga yang cakupan imunisasinya diperluas hingga satu kabupaten, tergantung dari jumlah kasus di wilayah tersebut,” ujarnya.
Mengenai status Aceh merupakan daerah KLB (Kejadian Luar Biasa) Difteri, Abdul Fatah mengatakan itu masih berlaku, karena KLB baru bisa dinyatakan berakhir jika setelah dua bulan berturut-turut tidak terjadi lagi kasus baru. “Mudah-mudahan dengan penanganan imunisasi yang diperluas, kasus difteri ini bisa dihentikan dan tidak lagi bertambah,” ujarnya.
Kepada masyarakat, Abdul Fatah mengimbau untuk membawa anak-anak mereka untuk melakukan imunisasi dasar lengkap, serta melengkapi imunisasi dasar, jika belum lengkap.
“Untuk anak yang sudah imunisasi, juga harus dilakukan imunisasi lanjutan, karena untuk anak usia di atas 18 bulan sampai 24 bulan imunisasinya harus diulang, kemudian anak SD kelas 1 sampai kelas 5 imunisasinya juga harus diulang. Istilahnya booster namanya,” kata Abdul Fatah. “Yang sudah lengkap saja harus dibooster, konon lagi yang tidak lengkap,” ujarnya.
Bagi para orang tua yang anaknya terindikasi demam dan sulit menelan makanan, Abdul Fatah juga mengimbau agar memeriksa ke rumah sakit untuk memastikan gejala tersebut adalah penyakit difteri atau tidak.
“Untuk penanganannya tetap ke rumah sakit, tidak boleh ke puskesmas, karena jika terbukti difteri, harus segera diisolasi di ruangan khusus,” ujarnya. “Bagi penderita yang sudah sembuh dan dipulangkan kami harap untuk tidak dikucilkan,” tambahnya.
Bagi masyarakat yang anti imunisasi, Abdul Fatah meminta untuk tidak mempengaruhi masyarakat lain untuk tidak melakukan imunisasi, karena hal itu akan berdampak terus merebaknya penyakit mematikan ini.
“Imunisasi sebenarnya dimulai di negara Islam, yaitu di Turki, yang akhirnya penemuan imunisasi itu, yang dulu namanya serum anti penyakit, dibawa oleh istri duta besar Inggris untuk dikembangkan. Tetapi sekarang malah dibilang itu produk Yahudi,” ujarnya.
“Di Aceh sangat kental isu vaksin imunisasi haram, padahal MPU (ulama) telah menfatwakan imunisasi tidak haram, kecuali vaksin polio yang masih mengandung enzim babi, tetapi karena belum ada pengganti lain, maka itu dibolehkan."