Ini tampilanku dulu semasa kuliah di UNIGHA. Foto ini diambil oleh Rahmat Mahasiswa tehnik informatika yang sekarang telah menjadi programmer handalan kampus. Salah satu lulusan terbaik tentunya. Diambil tanpa sepengetahuanku dan dikirim beberapa tahun kemudian setelah dongeng kami di UNIGHA usai. Hanya kerinduan yang tersisa.
Pada bagian ini aku akan kudongengkan kalian tentang awal mula keterlibatanku pada kegiatan mahasiswa di kampus UNIGHA. Tahun 2005 adalah tahun tercatatnya aku sebagai mahasiswa UNIGHA. Semuanya terjadi secara alami dan terasa begitu cepat. Hanya dua minggu setelah memulai perkuliahan episode yang menjadi sejarah bagiku dalam menemukan jatidiri dimulai. Berawal dari Konvensi mahasiswa FKIP untuk penentuan bakal calon tunggal yang akan maju sebagai Presiden Mahasiswa (PRESMA) dimana beberapa mahasiswa sebagai perwakilan kelas yang diketuai oleh KOMTING (Komisaris Leting) hadir didalamnya. Itu adalah forum mahasiswa UNIGHA pertama yang kuikuti. Abu Adi, KOMTING kelas kami pada waktu itu adalah orang yang mengajakku dalam forum tersebut.
Lucunya di forum itu pula pertama sekali aku merasa di indoktrinasi. Aku yang sedari kecil dididik secara merdeka tiba-tiba saja dijejali berbagai pemahaman yang otomatis mental dan tidak dapat diterima oleh segumpal daging di kepala dan dadaku. Rapat konvensi FKIP itu dipimpin oleh mahasiswa senior FKIP Ayah Karim, yang kemudian aku tahu bahwa beliau juga merupakan aktivis PII. Dalam forum tersebut Ayah Karim, sapaan akrabnya, mencoba untuk menyatukan suara mahasiswa FKIP yang terpecah karena ada dua bakal calon yang maju dari FKIP. Kedua calon tersebut berasal dari program study yang sama denganku FKIP bahasa Inggris.
Muksalmina dan Darmawan, dua tokoh mahasiswa yang nantinya punya kedekatan masing-masing denganku, adalah calon yang akan maju dalam PEMIRA (Pemilihan Raya) Presiden Mahasiswa. Dalam forum tersebut Ayah Karim mencetuskan ide untuk menyatukan keduanya, namun ditolak oleh yang bersangkutan. Ayah Karim menginduksi forum bahwa apabila suara FKIP pecah dan berujung pada kekalahan kami semua yang ada di forum diminta untuk bertanggung jawab. Situasi memanas, aku mulai antipati dengan forum ini. Dalam sesi penyampaian visi misi dan tanya jawab aku mulai bersuara. Doktrin Ayah Karim agar suara FKIP tidak pecah aku mentahkan dengan argumen yang didasari pada demokrasi dan hak masing-masing untuk memilih dan dipilih, mencalonkan dan dicalonkan. Aku mulai mencuri perhatian forum, mayoritas yang hadir mendukung pendapatku. Selanjutnya pendapat salah satu kandidat bakal calon, Darmawan, tentang pembelajaran politik dikampus juga seolah nyamuk yang mengiung-ngiung di telingaku. Aku mendebat argumentasinya dengan pemahamanku tentang idealnya dunia.
"Tolong jangan belajar berpolitik secara praktis dikampus. Itu sama saja anda sekarang belajar ilmu menjadi "binatang". Nantinya ketika anda terjun ke masyarakat anda hanya akan menjadi babi, lembu, anjing, dll, yang akan nenghancurkan bangsa ini".
Demikian aku mengungkapkan pendapat saat itu. Hal yang kuyakini kebenarannya sampai saat ini. Bagiku partai politik dan pemerintahan adalah comberan peradaban. Berbagai intrik didalamnya kadung membuatku muak dengan para pelakonnya. Bahkan sewaktu kuliah di Banda Aceh satu-satunya organisasi mahasiwa yabg mendapat respek dariku hanyalah organisasi mahasiswa pencinta alam (MAPALA). Aku dan mereka punya kegemaran yang sama sebagai penikmat indahnya " kehijauan" dunia...hahahaha. Tetaplah membumi dan lestari kawan. Mari tetap "hijaukan" dunia dengan apa yang kita bisa.
Kembali ke situasi forum diatas. Tegangnya suasana akibat "kicauanku" membuat forum di skor atau break untuk beberapa saat. Mulailah satu persatu pentolan mahasiwa mendekatiku. Asik juga jadi center of attention. Normal toh, hal yang wajar ketika ada yang ke-geer-an pada saat ada yang memperhatikan. Selanjutnya hal unik membuatku ingin mengupas khusus tentang tokoh yang satu ini.
MUKSALMINA
Pria berbalut jaket training biru dalam gambar diatas adalah Muksalmina. Organisatoris handal, orator ulung, dan juga ahli strategi dan taktik yang jempolan. Dia adalah kandidat pertama pada konvensi tersebut. Pria yang punya ambisi besar namun sering tersandung karena "kedegilannya" sendiri. Dia juga "berdosa" besar padaku. Karena beliau ini aku terjerumus lebih dalam sebagai salah satu mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan di kampus. Sahabat dan guru dalam kancah politik kampus. Kami beriringan walaupun tak sejalan. Ada banyak hal yang kami bicarakan, namun ketika memasuki hal yang serius tentang dinamika kampus aku sering gagal paham dengan keruwetan pemikiran kawanku yang satu ini.
Bayangkan "kegilaan" pertama yang terjadi adalah pada saat break forum Konvensi FKIP. Saat itu break juga bertepatan dengan waktu zuhur. Ba'da Zuhur, Chamna, demikian nama panggilannya mulai membujukku untuk menjadi wakilnya dalam PEMIRA nanti. Tentunya setelah basa-basi perkenalan yang anehnya kami langsung bisa tertawa bersama. A man with good sense of humour is totally awsome. Lol. Aku yang merupakan mahasiswa baru di UNIGHA tentu saja bingung dengan ajakannya.
"Bro, lon mantong semester phon pane jeut kuduek keu wakil droekeuh. Pane jeut lam AD/ART kampus." Aku berkata. "Hana AD/ART di Jabal Ghafur nyoe, Bob. Aturan hana jelas inoe." Jawabnya.
Situasi yang tanpa aturan inilah yang menjadi pemicu banyak hal yang harus kami dobrak untuk perubahan kampus ke arah yang lebih baik.
Forum konvensi FKIP berakhir dengan pemungutan suara yang dimenangkan oleh Darmawan hanya dengan selisih satu suara saja. Selanjutnya aku mulai enggan untuk terlibat lagi dalam forum lainnya. Situasi ini berlangsung selama kurang lebih dua semester. Pada waktu itu aku hanya ingin fokus kuliah setelah 6 tahunku yang terbuang di Banda Aceh. Kondisiku yang masih tinggal di Meureudu pun membuatku enggan untuk menghabiskan energi lebih untuk hal-hal selain kuliah. Perjalanan Meureudu-Sigli cukup menguras energi dan biaya yang lumayan. Aku tidak ingin mengecewakan ibu dan ayahku setelah study pertamaku yang terbengkalai.
Bersambung
Bagian selanjutnya penulis akan mendongengkan tentang kepindahan ke Sigli dan mulai aktif terlibat secara intens di kegiatan kampus yang penuh intrik dan dinamika ini.
Jakarta, February 2018
ingatan yang luar biasa bang
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Upaya menolak jawai bro
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
jawai masih ada mas bro dijabar ghafur
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit