Gubernur Jenderal Belanda yang frustrasi menghadapi perlawanan orang Aceh, Jenderal Van Swieten, memerintahkan para serdadu membakar Masjid Raya Baiturraham. Kaplat itu mengira dengan membakar masjid raya, perlawanan orang Aceh bisa diredam. Di situlah mereka keliru memahami spirit perjuangan orang Aceh. Setelah masjid raya dibakar, amarah orang Aceh menjadi berlipat-ganda. Orang Aceh tidak pernah rela rumah Tuhan itu dibakar. Sepanjang sejarahnya, pembakaran masjid satu-satunya yang diterima oleh orang Aceh dengan dada yang lapang adalah pembakaran Masjid Dhirar di tanah Arab di masa Nabi Muhammad SAW.
Penerusnya, Gubernur Jenderal Van Lansberge, menyadari bahwa kebijakan seniornya itu keliru. Dia pun dengan tampang yang tak kalah kaplatnya, mengikrartkan janji akan membangun kembali masjid kebanggaan orang Aceh itu. Namun, hingga dia diganti, janji itu tak pernah ditunaikan. Tabiat dia itu kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada para politisi Indonesia, yang selalu mudah mengucapkan janji di rumah Tuhan, namun tak pernah berniat menunaikan janji itu. Makanya, orang Aceh kerap memberi lakab untuk para politisi model begini sebagai biek Belanda. "Na dicok akai awak nyan si-angen," kata orang Aceh.
Dari sejarah yang saya baca, di masa Gubernur Jenderal Karel Van Der Heijden-lah, Masjid Raya dibangun kembali. Itu pun bukan karena dia mendapatkan hidayah, melainkan murni pertimbangan politik. Dia mempolitisasi pembangunan masjid untuk meredam perjuangan orang Aceh dan meminimalisir praktik Aceh Pungo yaitu pembunuhan para perwira Belanda oleh pejuang Aceh yang sudah putus urat takutnya.
Orang Belanda yang hidup dalam tatanan kehidupan normal dan gaya Eropa tak pernah bisa memahami spirit Aceh Pungo dan melabeli keberanian orang Aceh dengan Aceh Moorden. Di negeri asal mereka, contoh keberanian dan keperkasaan orang Aceh seperti ini tak pernah mereka temui. Jadi, lakab Aceh Pungo diberikan selain ketidakmampuan nalar mereka, juga karena rasa kagum yang luar biasa.
Kini, penampakan Masjid Raya Baiturrahman jauh berbeda saat masjid ini dibakar pada 10 April 1873 atau saat agresi militer kedua setelah agresi yang pertama gagal total. Seperti kita tahu, saat agresi militer pertama Maret 1873, Johan Harmen Rudolf Köhler, tewas di ujung senapan orang Aceh. Konon, kematin Kohler itu termasuk tragis, karena dia tak pernah sempat buang hajat (baca: BAB) di Aceh. Dia mungkin satu-satunya jenderal besar yang tidak pernah mengotori tanah Aceh dengan berak-nya. []
Penutupnya kocak habis. peu nyoe akun @acehpungo lumboi dua?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Akun @acehpungo cuma re-blog mantong karena nama Aceh Pungo dibawa-bawa hahaha
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit