Batu Cadas

in anak •  7 years ago 

Sore itu Bari berdiri di tepi sungai bersama sahabatnya Badar, mereka tengah mengenang nostalgia masa lalu sambil menatap ke arah sungai yang keruh. Bari telah kembali ke kampung halamannya setelah sekian lama di perantauan. Bari mencoba membuka kenangan masa kecilnya di sungai ini, sekarang mereka berdua tengah asik ngobrol berbagi cerita.

Sejenak kemudian dari arah belakang terdengar suara motor yang melaju pelan. Bari menoleh ke arah sumber suara, dia melihat Ali dengan tenangnya memacu kendaraannya. Ali nampak bertelanjang dada. Badannya tampak tegap, guratan urat menonjol dari kedua lengannya. Ali menatap dingin kearah Bari dengan sebatang rokok disela bibirnya.

Bari sadar akan kenangan masa kecilnya. Saat itu Bari duduk di bangku SMP sedang Ali masih dibangku SD. Kala itu Bari berdiri di dekat kawan-kawannya yang sedang mengeroyok Ali. Ali tampak tak berdaya mendapat pukulan bertubi-tubi, dia hanya bisa berteriak dan berkali-kali melontarkan makian. Walau mendapat perlakukan demikian Ali tak menangis.

Ali masih melawan dengan segenap kemampuannya, namun apa daya, usahanya percuma, lawannya berpostur lebih besar ditambah lagi dia sendiri. Tak tahan dipukuli Ali mencoba meloloskan diri, yang terjadi kini dia di uber-uber lawannya. Ali terus berlari tanpa menengok ke belakang. Ali berhenti di tepian sungai, nafasnya terengah-tengah.

Dibelakangnya Bari dan kawan-kawannya hampir mendekat. Melihat Bari dan gerombolannya mulai dekat Ali menatap dengan sorot mata tajam bercampur kejengkelan. Saat itu Andi kawan Bari berkata, “Hei, lihat kayaknya bocah itu tak sanggup lagi berlari, ayo kita ikat dia”. “Ayo” sahut yang lainnya. Ali tak lagi berlari, tak nampak kegentaran pada diri seorang Ali.

Kini dia siap berduel. Ali pun bergerak menyonsong musuhnya. Ketika jarak mereka kian dekat, Ali telah mengatur siasat. Ali mengayunkan lengannya dan dari genggamannya sebongkah batu melayang, mencari sasaran, bidikannya tepat, lemparannya mengenai lengan Andi yang coba melindungi wajahnya, Andi mengerang kesakitan.

Melihat Andi terluka serta merta kawannya menjauh, Ali terus mengejar dengan lemparan batu. Sejenak kemudian Ali berhenti seraya mengisyaratkan sebuah tantangan. Bari yang sedari tadi memperhentikan tak tinggal diam dan ingin memberi pelajaran pada Ali. Kali ini kemarahan mereka tengah memuncak, mereka serentak mengambil batu dan menyerang Ali, perang batu pun tak dapat dihindarkan dan berlangsung beberapa saat.

Akhirnya lemparan Bari berhasil mengenai mata kaki Ali, seketika itu Ali meloncat-loncat kesakitan. Rupanya air matanya yang sedari tadi dibendungnya keluar seketika. Melihat apa yang dialami Ali mereka tertawa sekaligus takut kalau ibunya datang. Benar saja dari kejauhan ibu Ali datang dengan menenteng sebilah kayu.

Bari dan kawan-kawannya kabur. Ibunya mendekat ke arah Ali yang masih mengaduh kesakitan sedari tadi, ibu Ali mencaci mereka yang mencelakai anaknya, ibunya sangat berang dengan yang apa yang mereka lakukan. Wajarlah mana ada seorang ibu yang mau anaknya disakiti. Sebilah kayu yang dibawa tersebut jelas nampak untuk memukul mereka jika mereka masih berdiri disana, tetapi yang terjadi malah sebaliknya Ali yang dipukuli.

Ibunya berucap, “Kan sudah berapa kali ibu ingatkan jangan main sama mereka, tapi kamu tak mau dengar”. Sambil menangis, Ali berkata lirih, “Jangan pukul saya bu, cukup bu”. Ibunya berhenti memukulnya dan menarik tangannya untuk pulang. Saat itu hari telah senja, Ali dan ibunya berjalan menyusuri sungai. Ali mulai menyapu air mata di pipinya.

Hari berikutnya Ali datang lagi dengan maksud ingin bergabung dengan mereka yang kemarin memukulinya. Bari merasa aneh dengan anak ini, Ali kayaknya sudah melupakan kejadian kemarin, melihat Ali mendekat Rahmat menahannya dan menyuruhnya pergi. Bari kemudian berkata, “Biarkan dia, dia tak kan jera walau pun kita sakiti”.

Tapi kawan-kawan yang lain tampak mengacuhkannya. Ali hanya menjauh ke arah pohon, duduk diatas ayun sambil memperhatikan mereka. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Di dalam pergaulan dengan teman sebayanya dia kerap membuat teman sepermainannya menangis. Jika dia bermain dengan anak yang lebih tua, mereka yang kerap membuat Ali menangis, karena tingkah bengalnya itu.

Ali adalah anak tertua di dalam keluarganya, dia tidak punya kakak yang akan membelanya jika dia disakiti. Ali seorang anak yang berjiwa pemberani, namun sisi lain dia sangat nakal, tak bisa diatur dan tak ingin diatur. Ali sering dikatai “bodoh” oleh temannya, gurunya, bahkan ibunya sendiri. Ibunya sering menyebutnya bodoh, karena nilai rapornya tak pernah bagus ditambah lagi dia sering keluyuran ke mana saja dia suka.

Di sekolah dia ahli pembuat onar, tak ada hari tanpa kejahilan yang dilakukannya, berkelahi menjadi makanannya, bahkan dia berani mengatai gurunya tanpa rasa segan. Atas sikapnya guru sering menjewernya bahkan pukulan rol kerap mendarat padanya, tapi itu sepertinya hal biasa. Ketika Ali duduk di kelas III SD, dia tidak naik kelas.

Setelah tinggal kelas satu tahun dia tidak pernah lagi tinggal kelas. Sebenarnya bukan karena prestasinya yang meningkat, namun guru sudah tidak mampu lagi menanganinya, hingga dia terus dinaikkan agar dia bisa keluar dari bangku SD, kalau tak begitu sampai kapan dia akan bertahan disana.
Merah rapornya sudah biasa, hingga ibunya sudah bosan memarahinya terus-terusan.

Duduk di bangku kelas VI SD, Ali mulai bekerja di sebuah pabrik batu bata, teman-teman sebayanya juga telah terbiasa mencari uang sendiri. Tangan-tangan mungil itu giat mengangkut batu bata dari tempat pengeringannya ke dapur pembakaran dengan gerobak sorong. Ali kecil mulai mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Ibunya juga bekerja di tempat yang sama sebagai buruh pencetak batu bata, walaupun ibunya tak menyuruh Ali untuk bekerja, tapi godaan uang baginya termasuk kesenangan juga. Bagi Ali inilah dunianya, bergelut dengan kerja keras. Bari tersadar dari lamunannya ia melihat sosok Ali yang berbeda, dia menjadi anak muda yang dingin dan tak suka banyak bicara, mungkin kejadian masa lalu punya andil membentuknya seperti itu.

Bari mendengar cerita tentang Ali dari sahabatnya, sahabatnya mengatakan Ali bukan lagi seorang yang nakal dan berani tapi nekad, dia pernah menghunuskan parang ke anak tetangganya, hanya karena tetanggannya itu memarahi adiknya hingga menangis. Bari sejenak memikirkan yang terjadi pada diri seorang Ali, dia dapat menyimpulkan bahwa Ali masih merasakan kenangan pahit masa lalu.

Mungkin Ali tak ingin kejadian masa lalunya terulang pada saudaranya. Ali sekarang tak lagi menyambung sekolah, setelah tamat SD, dia bekerja sebagai kuli truk pasir. Tak jelas apa yang ditujunya, apa yang dicita-citakannya dulu saat masih ada canda tawa ia anggap angan belaka. Ali sekarang menjadi pemurung dan penyendiri.

Paling fatalnya ia mulai mengkonsumsi sabu-sabu yang dia dapatkan dari satu-satunya temannya. Orang tuanya tak dapat berbuat apa-apa. Dia marah jika ada orang yang menasehatinya, bahkan mengeluarkan nada ancaman. Upah kerjanya habis dia gunakan untuk membeli barang haram tersebut. Bari dengan menghela nafas mendengar cerita kawannya lalu menyambung, “Sayang sekali dia, padahal dia masih muda, banyak hal yang bisa ia lakukan. Bari kemudian menundukkan pandangan dan sejurus mengalihkan pandangan ke arah Ali yang sudah menjauh.

batu cadas.jpg
Photo by: publicdomainpictures.net

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Bereh bang Ali, genk that lam gampong nyan.

He he, jih pemain utama ham