Ten miraculous births. How wonderful my mother is. Like other Indonesian mothers and women. From the past until now exceeds the kartini.

---

Ibuku Perkasa

Sepuluh Kelahiran Menakjubkan. Ibuku Seperti Perempuan Indonesia Lainnya, dari Dahulu Hingga Kini Melebihi Kartini

To me the mother is a wonderful woman. So mighty. Do not demand its power to care for children, for the sake of, all the homework is always done with all the sincerity of love.

My mother is a housewife. The wife of a student of the Indonesian National Army. Of course always accompany the husband yes anywhere ordered by. Country.

My mother as the wife of the army must be strong. Facing everything that will happen, from the moral process and the process of nature. As a wife, must be ready for alert. Not only just carrying a weapon, I should be able to give the weapon and the tip of the fingers that are ready in the bullet, ready to release the bullet towards the crow that flies up.

---

Ibu dan Bapakku

My mother and my father were born before Indonesian independence. Has tasted bitter and cunning bitter in the Dutch era. Facing the cruelty of the Japanese age who maniacs against anything.

My mother accompanied the iron to Tarutung, North Sumatra. Thus born the first child, the man he, struggling to survive, because born prematurely, is called premature.

The following year, my mother gave birth to her tiny second child, too, her normal, born woman in time. Followed by next year of birth and daughter. Luckily there is also a more powerful woman, it's my mother's grandmother from my mother, always keep up with mighty.

A few years, my father specifically went back to South Aceh (Blangpidie, now Aceh Barat Daya), and born children and women, in Sikabu. Mother never felt restless, because she was with her siblings in her own village.

---

Aku dan Keluarga

My mother must accompany my father and must obey the duty of the state. (Sigli. Pidie) Faced with the turmoil of the nation's children who were betrayed by the leaders of the country. But with the baby's offspring, the man he is. Birth born birth already already face price price price.

Switching tasks was very common for my father and mother. Served in Tapaktuan, mixed every year repeatedly. And my mother sent her sixth child, woman. Followed the next year was born seventh child, also female. For once my mother gave birth to her eighth daughter in her native village, Aluepaku, Sawang.

Moving back to Tapaktuan, like no tired, my mother gave birth to a ninth sister. The next year was born a man, as well as a cover. Even ten children have been born from the womb.

We moved to Meulaboh, up to several years. And father asked to retire, want to enjoy life calmly. We moved to my hometown (Blangpidie). Open the fields at the feet of Bukit Barisan's children. The jungle is still green, pure air clears the lungs. Hands calluses, always reserve hoe and sickle handle clean the fields. Feels fine compilation massage my small body. So soft in my soul and body.

---

Istriku juga perkasa

My mother never had a knee, sitting neatly in a palace chair. My mother never wanted to call herself a descendant of nobility. My mother confessed from the commoners, so calm and steadfast. My mother is also good at reading and studying, teaching me in her arms.

Now my mother is gone, prayer is always for real purposes. Insya Allah, placed in Jannatu Na'im. Aamiin.

Ten miraculous births. How wonderful my mother is. Like other Indonesian mothers and women. From the past until now exceeds the kartini.

Banda Aceh, April 22, 2018

Zulfikar Kirbi | @ zulfikark-kirbi

BAHASA INDONESIA

Sepuluh Kelahiran Menakjubkan. Ibuku Seperti Perempuan Indonesia Lainnya, dari Dahulu Hingga Kini Melebihi Kartini

Bagiku ibu adalah perempuan yang luar biasa. Begitu perkasa. Jangan tanya kekuatannya merawat anak-anaknya, suaminya, semua pekerjaan rumah selalu dilakukan dengan segala keikhlasan cinta.

Ibuku seorang ibu rumah tangga. Istri dari seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia. Tentu saja selalu mendampingi suaminya kemana saja ditugaskan oleh. Negara.

Ibuku sebagai istri tentara harus kuat menghadapi segala tantangan dan rintangan. Menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, dari benturan moral dan proses alam. Sebagai istri prajurit harus siap siaga. Bukan saja hanya memanggul senjata, harus bisa me ngokang senjata dan ujung jari siaga di pelatuk senjata, siap melepaskan peluru ke arah musuh yang meski terjungkal.

Ibuku dan bapakku lahir sebelum Indonesia merdeka. Telah merasakan getir pahit dan liciknya di zaman Belanda. Menghadapi kekejaman zaman Jepang yang maniak terhadap apa saja.

Ibuku mendampingi suaminya sampai ke Tarutung, Sumatera Utara. Maka lahirlah anak pertama, lelaki dia, berjuang mempertahankan hidup, karena lahir sebelum waktunya, disebut prematur.

Tahun berikutnya, ibuku melahirkan anak kedua yang mungil juga, perempuan dia, normal, lahir pada waktunya. Disusul tahun selanjutnya lahir juga anak perempuan. Beruntung juga ada seorang perempuan yang lebih hebat, ialah nenekku ibu dari ibuku, selalu menjaga dengan perkasa.

Beberapa tahun berikut, bapakku ditugaskan kembali ke Aceh Selatan (Blangpidie, sekarang Aceh Barat Daya), dan lahirlah anak keempat juga perempuan, di Sikabu. Ibu tidak pernah merasa resah, karena berada bersama saudara-saudaranya di kampung sendiri.

Ibuku harus mendampingi bapakku dan harus patuh terhadap tugas negara. (Sigli. Pidie) Menghadapi gejolak anak-anak bangsa yang terkhianati oleh pemimpin negeri. Tapi dengan ketenangan melahirkan anak kelima, lelaki dia. Sejak lahir sudah menghadapi benturan tentang harga diri.

Berpindah-pindah tugas sudah sangat biasa bagi bapak dan ibuku. Bertugas di Tapaktuan, hampur setiap tahun berulang-ulang. Dan ibuku sempat melahirkan anak keenam, perempuan. Disusul tahun berikutnya lahir anak ketujuh, juga perempuan. Sekali ini ibuku melahirkan anak perempuan yang kedelapan di kampung asalnya, Aluepaku, Sawang.

Kembali pindah ke Tapaktuan, seperti tidak ada lelahnya, ibuku melahirkan kakak perempuanku yang kesembilan. Tahun berikutnya lahirlah seorang lelaki, sekaligus sebagai penutup. Genap sepuluh orang anak telah lahir dari rahimnya.

Kami pindah ke Meulaboh, hingga beberapa tahun bertugas. Dan bapak meminta pensiun, ingin menikmati hidup dengan tenang. Kami pindah ke kampung halaman (Blangpidie). Membuka ladang di kaki anak Bukit Barisan. Rimba masih hijau, udara murni membersihkan paru-paru. Tangan ibu kapalan, selalu memegang gagang cangkul dan sabit membersih ladang. Terasa halus ketika mengurut tubuhku kecilku. Begitu lembut terasa di jiwa dan ragaku.

Ibuku tidak pernah berkebaya, duduk rapi di kursi istana. Ibuku tidak pernah mau menyebut diri keturunan bangsawan. Ibuku mengaku dari rakyat jelata, begitu tenang dan tabah. Ibuku pandai juga membaca dan mengaji, mengajari aku dalam pelukannya.

Kini ibuku telah tiada, doa selalu ditujukan kepadanya. Insya Allah, ditempatkan di Jannatu Na'im. Aamiin.

Sepuluh kelahiran yang menakjubkan. Betapa hebatnya ibuku. Seperti ibu-ibu dan perempuan Indonesia lainnya. Dari dulu hingga kini melebihi kartini.

Banda Aceh, 22 April 2018

Zulfikar Kirbi | @zulfikark-kirbi