Analisis Pendapat Imam Syafi'i Tentang Sahnya Nikah Muhallil
Dalam percakapan dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi 'Deskripsi Alternatif :
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil itu sah. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah. Yang menjadi perumusan masalah yaitu bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil? Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil? Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data primernya yaitu Al-Umm sedangkan sumber data sekundernya yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Tasir Ibnu Kasir; Tafsir al-Maragi, Tafsir Ahkam; Fath al-Mu'in; Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Fiqh al-Sunnah. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi juga berupa artikel dan penelitian-penelitian sebelumnya. Data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode penelitian deskriptif analisis. Hasil penulisan menunjukkan bahwa Menurut Imam Syafi'i nikah muhallil sah. Dalam pandangan Imam Syafi'i, nikah muhallil itu sah sepanjang dalam ijab qabul pada saat akad nikah tidak disebutkan suatu persyaratan, meskipun adanya niat untuk menghalalkan wanita itu menikah lagi dengan suami yang lama. Menurut penulis, tampaknya Imam Syafi'i lebih melihat kepada aspek zahir atau luarnya saja yaitu ucapan dianggap bisa membatalkan keabsahan nikah muhallil, sedangkan niat tampaknya kurang dihiraukan oleh Imam Syafi'i. Padahal niat itu justru yang lebih menentukan suatu perbuatan. Meskipun calon suami mengucapkan suatu persyaratan, namun jika tidak ada niat seperti ucapannya, dengan kata lain, berbedanya niat dengan ucapan, maka sepatutnya ucapan dikalahkan oleh niat. Namun justru sebaliknya dalam perspektif Imam Syafi'i "niat" bisa dikalahkan oleh "ucapan". Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah muhallil dengan nikah biasa.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/97/jtptiain-gdl-mdainfazan-4832-1-skripsi_-6.pdf
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit