Alasan Untuk Hidup 11: Awal Dari Sebuah Kehancuran

in cerita •  6 years ago 

#11
AWAL DARI SEBUAH KEHANCURAN
Lagi….
Aku terbangun di ruangan yang sama, dengan lukisan yang sama. Dan Bebi juga duduk di kursi yang sama, di sisi kiri tempat tidurku. Kali ini ia tidak sedang membaca. Aku akan bangun dan menyerangnya. Tapi…. suara sebuah langkah mendekati ruangan, memaksaku untuk kembali memejamkan mata.
“….jika saja aku bisa membuktikan bahwa kau menggunakan kekuatanmu untuk memanipulasi pikiranku…” itu suara Petra, tepat menuju sisi kiri tempat tidurku dimana Bebi berdiam diri. Jarak yang semakin dekat membuat perbincangan mereka semakin menarik perhatianku.
“Apa aku saja tidak cukup? Kenapa Ezra?”
“Apa sekarang kau membelanya? Siapa yang kau bela, adiknya? Atau dia?”
“Sudah kukatakan. Kau akan mendapatkan apapun yang kau inginkan”.
Jangan sentuh adikku!
“Kau tidak menjawab pertanyaanku.” Kini aku merasakannya. Mereka tidak dalam satu haluan.
Suara kursi yang bergoyang, yang tadinya terdengar begitu halus dan berirama teratur, kini terhenti. Aku merasakan Bebi bangun dari duduknya. Suara langkah kakinya menjauh.
“Jangan abaikan aku, Dewi Vebiola!” Sunyi sesaat…. Tampaknya Bebi mengabaikan aungannya.
Lalu, apa itu dewi?? …. Malaikat? Atau itu memang namanya…
“Kau tidak waras.” Tekanan suara Bebi masih sama seperti sebelumnya. Ia begitu tenang menghadapi situasi seperti ini. “Aku bisa mengerti jika Profesor Berdy merawatku dengan begitu baik karena ia memandangku sebagai istrinya yang telah mening….”
“Berhenti membicarakan kakekku! Dia hanya pria bodoh yang berambisi menghidupkan orang mati!”
“Lalu, apa kau dan ayahmu yang telah kau bunuh itu lebih hebat darinya? Hanya demi memenuhi ambisi kalian untuk menjadi tuhan, kalian mencuri hasil penelitian seorang profesor tua yang kalian anggap bodoh?? Menyedihkan …”
Tiba-tiba saja perkataan Bebi terhenti, sesuatu terjadi padanya…
“Apa kau seperti ini hanya demi melindungi laki-laki ini!!” Kali ini suara Petra lebih tinggi dari sebelumnya. Suara gemeretakan terdengar samar di telingaku. “Kau tidak mau dia dan adiknya terlibat? Kenapa? Kau menyukainya? Itu sebabnya kau mengungkit tentang masa laluku!?”
Kembali sunyi. Kali ini pun Bebi masih tidak menjawab pertanyaan apapun yang berkaitan denganku atau adikku.
“Aku tau kau memiliki ingatan yang sempurna dari KV01 hingga KV09. Pengkloningan manusia yang kulakukan, semua kloninganmu itu, tidak ada satupun dari mereka yang kuberikan ingatan yang sama denganmu. Kau berbeda dengan mereka. Yang lainnya kulakukan hanya demi uang. Tapi denganmu…. aku tidak bisa membiarkan kau dikorbankan lagi.”
Masih tanpa jawaban dari Bebi. Aku tidak tau apa yang sedang Bebi lakukan saat ini. Tapi aku bisa mendapatkan informasi bahwa nama aslinya adalah Dewi Vebiola. Ku rasa sekarang Lukisan yang mengganggu di dinding itu kini memiliki makna.
“Hanya kau…. yang ku inginkan. Dan aku tidak bisa mempertahankan kau untuk tetap hidup… jika aku tidak menggunakannya.”
“Kau…. gila….”
“Ku harap kau tidak menaruh hati padanya. Aku tidak ingin tindakanku untuk mengorbankan mereka berdua akan melukai hatimu kelak. You’re my Angel.”
Kembali terdengar suara langkah yang menjauh. “Satu hal lagi, Jangan pernah gunakan kekuatanmu padaku, sekalipun jika kau bisa!”
Itu adalah suara terakhir yang kudengar sebelum adanya suara langkah kaki yang semakin menjauh dan disusul dengan suara sebuah pintu tertutup. Aku mengerti sekarang. Semuanya.
“Apa itu artinya, dia mencintai neneknya sendiri?” Suaraku yang secara tiba-tiba ini memecahkan lamunannya. Bebi terlihat begitu kaget dan berpaling. Ini pertama kalinya aku melihatnya kaget. Ku rasa di dalam bangunan ini dia sama sekali tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Dia bahkan tidak bisa mengetahui apa yang aku pikirkan.
“Kamu mendengarnya.” Bebi beranjak menuju tempat tidurku. Di sana terletak sebuah meja dengan gelas dan sebuah teko kristal berisi air. Ia menuangkannya ke gelas dan segera meminumnya. Meski nada biacaranya terdengar tenang, segurat kecemasan terlukis di sana.
“Ya. Termasuk tentang cinta sepihaknya, dan KV09.”
“Berhentilah berpura-pura menggunakan bahasa formal denganku.” Aku bangkit dari pembaringanku dan berdiri tepat di belakangnya. Mengambil gelas Kristal kosong yang tadinya ia gunakan untuk minum dari arah belakangnya. “Apa kau sungguh menyukaiku?” Bisikku di telinganya.
Bebi membalikkan badan dan tersenyum padaku, tanpa kaget dan dengan ekpresi yang tidak bisa kumengerti. “Apa kamu beharap begitu?” Dia masih saja menggunakan kata ‘kamu. Membuatku jenuh dengan kepura-puraannya. “Cinta hanya akan membawa kehancuran, Rafa.” Aku menggenggam gelas itu dengan kuat. Jika wanita ini mati di sini, maka semuanya akan selesai. “Sebaiknya kamu tidak bermain dengan cinta jika tidak ingin hancur. Kamu lihat Petra? Cintanya akan menghancurkannya.”
“Aku tidak mengerti.” Aku melemparkan gelas itu ke lantai. Menghasilkan bunyi yang begitu pilu untuk didengarkan dalam situasi yang menyedihkan seperti ini. Beberapa serpihan kacapun betaburan. Sekarang, bahkan tanpa benda tajam ini pun aku masih bisa membunuhnya.
“Aku menyelamatkan Ezra.”
Sebuah pernyataan singkat yang …bahkan membungkan pikiranku untuk berfikir jernih.
“Dia aman sekarang. Kamu bahkan bisa menemuinya kapanpun kamu mau, di laboratorium. Dia sembuh.” Bebi berbicara beruntun, ia berharap aku menunda niatku?
Meski aku bingung, tapi dia berhasil.
“Sembuh? Jangan bercanda?!” Lagi! Aku melewatkan kesempatan ini.
“Aku tidak pernah menghianatimu. Aku selalu memegang janjiku.” Bebi mengambil satu serpihan kaca yang paling dekat dengan tempatnya berdiri. Dan menggenggamnya hingga tangan kecil dan kurusnya itu berlumuran darah. “Petra dan agensinya mungkin terlihat begitu kuat dan kokoh. Tapi kita, kita bisa menghancurkan mereka.” ia menatap tetesan darah yang mulai terjatuh mengikuti gravitasi.
“Petra telah mengambil keputusan yang salah. Kamu mengerti ungkapan menggali kuburan sendiri?”
Bebi terus berbicara sambil masih menggenggam pecahan kaca di tangan kanannya. Tatapan matanya penuh kebencian. Aku bisa melihat dendam yang tersimpan hingga menghitam dari pandangan itu…
“Aku tidak mengerti.” Aku melangkah menjauh. Apakah dia sama denganku? Bertahan hidup hanya untuk membalaskan dendam. Apa selama ini dendamku juga sehitam itu?
Aku menatap tangannya. Makhluk lemah ini mampu menahan rasa sakit? Aku bahkan bisa membayangkan sebanyak apa goresan di tangannya hingga menghasilkan darah yang bahkan bisa mengalir di lantai.
Darahnya!!
“Kau….. sebenarnya…. apa?”

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!