Sejak kapan aku berada di sini?
Bukannya tadi aku tadi sedang di kamar?
Aku berjalan menyusuri ruangan. Dalam keremangan kulihat jam dinding menunjukkan angka 02.11.
Kenapa ruangan ini jadi lain?
Di mana saklar lampunya?
Tanganku menggapai dalam keremangan, mencari saklar lampu.
Aku sebenarnya sangat mengenal ruangan ini, ruang tamu rumahku.
Yang aku bingung adalah sejak kapan aku ada di ruangan ini karena jelas aku tadi sedang di kamar, asyik menelusuri dunia maya.
Ruangan ini begitu hening.
Ketemu! Di situ saklarnya!
Dengan terburu-buru aku berjalan ke arah saklar. Sebentar lagi ruangan ini akan terang benderang.
Namun baru beberapa langkah berjalan, aku tersandung sesuatu.
Atau lebih tepatnya, sesuatu memegang erat kakiku hingga aku terjatuh!
Tepat pada saat itu terdengar suara terkekeh. Suaranya begitu dekat. Bulu kudukku meremang, aku bahkan tak berani menoleh ke belakang – ke arah kakiku yang kini sudah bebas bergerak.
Dengan segera aku melompat bangun dan berlari ke arah saklar.
Tepat pada saat itu, di dekat saklar, aku melihat satu sosok berambut gimbal panjang membelakangiku.
Aku terpaku.
Badanku tak bisa bergerak.
Ketakutan menguasaiku.
S… ss… set… seta–
Sosok itu perlahan menoleh.
Aku menjerit sekerasnya!
Deg!
Aku terlompat dari tidurku.
Mimpi!
Saat itu jam menunjukkan pukul 01.45 dini hari, dan butuh beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan segenap kesadaran.
Mimpi…
Untung cuma mimpi…
Dengan jantung masih berdegup kencang, aku membiarkan diriku sejenak terbaring di tempat tidur, menghela napas lega. Berkali-kali.
Baru tiga hari kami sekeluarga tinggal di rumah sebesar ini dengan harga sewa yang terbilang murah.
“Rumah ini mau direnov. Sambil nunggu IMB-nya keluar, mending saya kontrakin dulu,” ujar si pemilik rumah waktu aku tanyakan kenapa harga sewanya begitu murah.
Aku bangkit dari tempat tidur dan mengurangi dinginnya udara yang diembuskan pendingin ruangan. Sialnya, aku teringat percakapanku dengan montir AC sewaktu dia melihat rumah ini.
“Lho? Ini kan rumah–,” celetuk spontan asisten montir AC waktu melihat rumah yang kutinggali. Namun ia tak melanjutkan kata-katanya.
“Rumah apa?” tanyaku.
Si asisten terlihat ragu menjawab. Si montir buru-buru menyebutkan bahwa rumah ini dulunya ditinggali seorang eksekutif perusahaan ternama yang berasal dari luar kota. Eksekutif ini tinggal bersama keluarganya.
“Nggak tau dia sekarang pindah ke mana,” pungkas si montir dengan logat Jawa yang cukup kental.
Waktu itu aku tak ambil pusing dengan ekspresi asistennya yang terlihat seperti orang ketakutan.
Sialan! Makiku dalam hati.
Kok malah inget yang begituan, sih.
Istri dan anak-anakku malam ini menginap di rumah seorang kerabat, sehingga praktis malam ini aku sendirian di rumah.
Tau gini, mending tadi ikut nginep aja.
Karena sudah tidak bisa memejamkan mata, aku menyalakan laptop dan berselancar tak tentu arah. Televisi di kamar pun sengaja aku nyalakan supaya suasana tak terlalu sunyi.
Klik. Klik.
Tik tik, tik tik tik.
Dini hari di kamarku jadi sedikit berisik dengan suara mouse dan entakan keyboard laptop ditingkah suara televisi.
Keadaan itu berlangsung beberapa menit hingga aku merasakan ada hawa dingin yang merayapi tengkukku.
Plak!
Aku menepuk dan mengusap tengkuk untuk mengusir hawa dingin tersebut.
Hawa dingin itu menghilang. Aku menunggu sesaat, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Hening.
Takk!
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, sebutir kerikil jatuh di samping laptopku.
Kerikil?!
Perasaanku tak enak. Bagaimana bisa ada kerikil jatuh di samping laptop. Bahkan, dari mana datangnya kerikil itu?
Kuberanikan diri memungut kerikil itu dan memperhatikannya saat kerikil kedua datang dari belakang mengenai punggungku.
Jantungku berdegup makin kencang, namun aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan kembali asyik dengan laptopku.
Jangan noleh, jangan noleh, ucapku dalam hati sembari mengetik dan mengeklik apa saja.
Ssshhh… sssssshhhhhhh….
Hawa dingin itu datang lagi, bahkan kali ini aku jelas mendengar desisan di telingaku. Seluruh bulu di tubuhku tegak berdiri namun aku masih mencoba bersikap tenang seolah tak terjadi apa-apa.
Ssshhh… ssssshhhh…
Fuhh!
Aku tersentak!
Ada yang meniup kupingku!
Jantungku berdegup makin kencang. Aku merinding, sembari membuang muka ke arah lain, tak berani menoleh ke arah asal tiupan tadi.
Sial! Sialan!
Kemudian entah bagaimana, botol air mineral yang isinya masih ada setengah dan kuletakkan di dekat laptop jatuh terguling ke lantai.
Srek srek.
Sayup terdengar suara seperti orang menyapu.
Saat itu tepat pukul 02.11.
Aku sudah tak mampu berpikir jernih.
Dikuasai ketakutan, kubuka pintu kamar dengan kasar dan aku berlari menuju ruang tengah. Ruang tengah ini gelap karena lampu-lampunya sudah kupadamkan sebelum aku masuk kamar tadi.
Aku HARUS keluar dari sini!!
Aku harus–
Brukk!
Tiba-tiba saja aku terjatuh!
Tepat pada saat itu terdengar suara terkekeh. Suaranya begitu dekat.
Bulu kudukku meremang, satu ketakutan lagi menguasai benakku.
Ini!
Ini sama persis seperti mimpiku tadi!
Waktunya juga sama, jam 02.11!
AKU HARUS KELUAR DARI SINI!!!
Srek srek.
Kali ini terdengar suara orang menyapu.
Srek srek srek.
Suara itu terdengar makin dekat.
Dengan ketakutan yang makin kuat menyelimuti, aku bangkit dengan susah payah. Aku ingin kabur dari tempat ini.
Srek SREK SREK!
Makin dekat dan dekat!
Suara itu–
SREK!!
Suara itu mendadak berhenti.
Di depanku kini tampak sesosok tubuh dengan rambut gimbal panjang berwarna putih, berdiri membelakangiku, tangannya menggenggam sapu lidi.
Aku sudah tak bisa bergerak sama sekali. Aku bahkan sudah tak sanggup berteriak.
Hening.
Hening.
Hening.
Sosok itu perlaham menggerakkan kepalanya, menoleh ke arahku.
Kami berpandangan beberapa detik, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.