Saya baru tiba di Kota Banda Aceh tatkala hasrat ingin menikmati secangkir kopi datang menggebu-gebu. Masuklah saya ke sebuah warung kopi terdekat di luar kompleks terminal L-300—bus yang saya tumpangi dari Sigli.
Duduk di meja tengah warung, menghadap ke jalan, agaknya di meja belakang sedang duduk lima sekawan; semuanya lelaki paruh baya. Mereka menikmati kopi sambil bercakap-cakap. Siliweran pembicaraan mereka masuk telinga saya dengan jelas.
Ingin melihat setiap yang mengeluarkan suara, namun itu tidak etis. Akhirnya saya mendengar percakapan mereka saja, tanpa bisa mendeteksi si pemilik suara. Maka jadinya, percakapan di bawah ini samasekali tanpa identifikasi dan ciri-ciri pemilik ujaran.
“Kenapa Aceh tak maju-maju?”
“Bagaimana mau maju, kalau ada duit publik diaspirasikan padanya, yang dia bikin adalah proyek-proyek yang lucu.”
“Proyek-proyek yang lucu? Apa misalnya?”
Berawal dari dua tanya-jawab itu, meluncurlah percakapan mereka sambung-menyambung di mana nyaris semua yang ada mengeluarkan timpalannya.
Kemudian, karena sudah waktunya bergerak, saya segera meninggalkan warung itu. Sampai di penginapan, sehabis mandi dan sambil rebahan di ranjang, saya mengambil smartphone, membuka kembali fitur rekaman hasil percakapan mereka.
“Kenapa Aceh tak maju-maju?”
“Bagaimana mau maju, kalau ada duit publik diaspirasikan padanya, yang dia bikin adalah proyek-proyek yang lucu.”
“Proyek-proyek yang lucu? Apa misalnya?”
Cing-kloud! Cing-kloud! Cing-kloud! Aduh! Perangkat ini kehabisan batre rupanya. Padahal sudah sejak di atas becak tadi kode ini berbunyi. Lekas-lekas saya menyambungnya ke charger. Perangkatnya saya aktifkan kembali. Fitur hasil rekaman saya buka lagi.
“Kenapa Aceh tak maju-maju?”
“Bagaimana mau maju, kalau ada duit publik diaspirasikan padanya, yang dia bikin adalah proyek-proyek yang lucu.”
“Proyek-proyek yang lucu? Apa misalnya?”
“Misalnya proyek pembagian sajadah selembar per rumah.”
“Saya pikir, semiskin-miskinnya orang Aceh, tiap rumah pasti ada beberapa lembar sajadah. Jadi, tak perlu harus ada proyek bagi-bagi sajadah.”
“Contoh lain, ada?”
“Misalnya, proyek ‘satu al-Qur’an per rumah’.”
“Itu, kalau menurut saya, semiskin-miskinnya orang Aceh, pasti ada al-Qur’an di rumahnya.”
“Orang kita memang suka sekali bikin-bikin proyek yang terselip unsur-unsur agama—”
“Ya, agar dikira dia adalah figur yang respek pada agama, dan berharap dipilih lagi pada Pemilu Legislatif depan.”
“Kalau ditanya sama ahli tasawuf, beliau pasti bilang, ‘Itu proyek-proyek yang bersifat membohongi Tuhan!’ Saya pikir, itu pasti.”
“Oya, mau tanya, bagaimana yang dimaksud dengan ‘Proyek Laboe B-29 Bak Muka Gop’?”
“Ah, itu nanti saja kita bahas.”
“Ada juga yang namanya proyek pengadaan tanah kuburan.”
“Ya, yang semacam-semacam itu, ya.”
“Begitu ada yang mau beli pesawat terbang, langsung diblunder dengan argumentasi, untuk apa 'cat langit' tinggi-tinggi mau beli pesawat terbang, rakyat Aceh masih miskin-miskin kok.”
“Bagaimana tidak miskin, tiap tahun disuguhkan sajadah dan tanah kuburan.”
Rekaman berakhir sampai di situ. Saya bangkit dari ranjang; keluar dari penginapan; memanggil becak, mau meluncur ke tempat tujuan.
Setengah perjalanan, saya bertanya pada lelaki pembawa becak, “Bapak, saya mau bertanya, tapi minta maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin pertanyaan saya kurang patut. Bapak merasa diri orang miskin atau orang kaya?”
“Saya memang orang miskin. Kerja sehari penuh, malah sampai jauh malam. Namun begitu saya selalu menyempatkan diri shalat lima waktu. Karena, itulah modal kami untuk hidup bahagia di akhirat nanti.”
Mendengar jawaban itu, saya langsung terbayang pada proyek bagi-bagi sajadah dan al-Qur’an, serta mengambil kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan mereka dalam rekaman ini, itu hanya asumsi sepihak mereka. Tiap proyek, pasti ada yang membutuhkannya. Penggagas proyek tahu itu.
Jadi, tidak ada yang namanya proyek lucu-lucu; apalagi harus diistilahkan dengan ‘proyek membohongi Tuhan’. Dengan demikian, rekaman ini tak berkualitas untuk disimpan. Dan saya pun mendeletnya.
Tiba di tujuan, becak berhenti. Saat saya hendak turun, sekonyong-konyong, sebuah pesawat terbang berukuran kecil melayang-layang di udara tepat di atas kepala kami. Bapak pemilik becak mendongakkan wajahnya ke langit sembari berdecak:
“Ck-ck-ck. Itu Gubernur kita. Walau bagaimana, saya bangga dengan beliau; berani mengambil segala keputusan, bisa memiloti pesawat terbang. Keren. Satu-satunya di Indonesia.”
Melihat kekaguman bapak pemilik becak, saya langsung teringat pada sebuah hadis Rasulullah SAW yang mengatakan: Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok. Yang dalam hal ini—kalau menggunakan nalar dengan pola hadis tersebut—bisa dikatakan, “Belilah pesawat terbangmu seakan-akan kamu hidup selamanya, bagi-bagilah sajadah dan tanah kuburan seakan-akan kamu mati besok.”
Congratulations @serambinewsaceh! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes received
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @serambinewsaceh! You received a personal award!
Click here to view your Board
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @serambinewsaceh! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit