Jangan Dicampur

Beno melompat dari atap dan sampai di tanah dengan suara dentuman singkat.

Dia melirik ke bawah, mengagumi kakinya. Dia masih membiasakan dirinya dengan tungkai barunya yang kuat dan kokoh itu. Hadiah terbaik yang dirasakan selama delapan tahun usianya.

Orangtuanya menyembunyikan foto-foto dirinya sebelum kecelakaan. Mereka lebih memilih Beno yang baru, yang suka berlari dan bermain olah raga, dari pada Beno yang membaca buku di kursi rodanya. Mereka mengawasi melalui jendela, tersenyum bahagia karena telah mengupayakan yang terbaik untuk masa depan putra mereka.

Bocah laki-laki itu tak pernah mengetahuinya. Yang penting sekarang dia lebih baik. Kakinya utuh kembali, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Lompatannya dari atas atap tadi membuat beberapa anak yang lewat berhenti dan berdecak kagum. Beno menikmati perhatian tersebut . Dia terus berlari mengelilingi halaman, melihat ke sekeliling untuk setiap detail yang bisa ditangkap mata mudanya.

Selagi Beno bermain, terdengar nada panggil berdering dari dalam rumah, dan ibu Beno mengaktifkan gawainya.

"Karin di sini."

"Nyonya Susanto? Saya Dr. Yamin dari Laboratorium Pengembangan Rekayasa Genetika Nasional. Bisakah Anda membawa Beno kembali ke lab sekarang juga?"

Susanto—ayah Beno—menangkap ekspresi khawatir di wajah istrinya membuka mulut, tapi Karin memberi tanda jangan berisik.

"Ada yang salah, Dok?"

Dia menghidupkan pengeras suara pada gawai agar suaminya bisa ikut mendengarkan penjelasan dari dokter yang telah mengobati anak mereka itu. Sederet istilah medis dan teknis hanya membuat mereka semakin bingung, kecuali kalimat terakhir yang menjelaskan semuanya:

"Pada beberapa pasien, splicing* ini mengakibatkan beberapa efek samping yang tidak terduga. Semuanya baik-baik saja, tapi kami memerlukan Beno untuk memastikan dia bebas dari anomali apapun."

Keduanya berdiri kaku saling memandang satu sama lain. Gelombang ketakutan yang sunyi membungkus mereka berdua. Susanto memandang ke luar jendela untuk melihat Beno. Putranya sedang berjongkok di belakang pohon di depan.

"Dia terlihat baik-baik-baik saja," katanya.

Karin berbicara lembut ke gawainya:

"Dr. Yamin, Anda memberi tahu kami bahwa kalian menggunakan DNA kucing untuk mempercepat proses perbaikannya. Efek samping apa yang mungkin didapat dari kucing?"

Susanto tersenyum membayangkan jawaban apa yang akan diberikan dokter Yamin sebelum berbalik.

Beno tidak berada di belakang pohon itu lagi. Dia bertengger di pagar, melotot pada Nyonya Bachroem tetangga sebelah sambil menggeram. Semuanya tak begitu jelas bagi Susanto sampai kemudian Beno dengan kecepatan yang tidak dimilki manusia manapun melompat dan memukul perempuan tua tersebut dengan telapak tangannya. Sesuatu—sepertinya ekor tikus—bergerak-gerak di sudut bibirnya.

"Sayang...,“ Susanto berseru sambil berlari ke halaman.

"Hidupkan mobil!"
 

Bandung, 19 Januari 2018

Catatan:
gene splicing: teknologi rekombinasi DNA