Kemarin siang hati dan pikiranku terasa begitu panas. Selain bersebab cuaca, rasa itu hadir karena usaha menyelesaikan study kembali harus terkendala. Dalam perjalanan bersama seorang teman, aku teringat cendol alias es campur. Kupikir, walau tidak selamanya dan tidak juga menyelesaikan masalah, setidaknya dengan cendol bisa membuat suasana lebih dingin kala itu.
Ringkasnya, mulailah aku melacak keberadaan gerobak cendol di sepanjang jalan Soekarno-Hatta. Sudah lebih setengah jalan kami berburu cendol, belum juga dapat. Dari atas motor aku mulai menghayal, membayangkan menikmati cendol manis di bawah rindang pohon. Sungguh sangat nikmat dan menyenangkan.
Setelah melewati berbagai diskusi yang tidak penting soal kemana kami akan menuju. Akhirnya sepakatlah kami untuk berburu cendol ke wilayah Keutapang. Memasuki pasar Keutapang, setiap muka toko kuperhatikan dengan seksama, kiri kanan kusapu dengan mata, berharap ada gerobak cendol yang mangkal.
Tapi sudah hampir setengah pasar Keutapang kususuri, memang ada banyak gerobak yang diparkir di muka toko, sayangnya tidak satu gerobak cendol pun nampak olehku. Deretan toko tinggal beberapa puluh meter lagi, dan kalau jodoh memang takkan kemana, hingga nampak olehku satu gerobak cendol di sebelah kiri jalan. Motor dikendarai oleh temanku berhenti persis di depan gerobak.
Walau sudah ketemu, tapi hayalanku di awal harus rela tidak menjadi nyata. Bersoal itu gerobak cendol terparkir tidak di bawah pohon rindang, penjual menunggu pembeli di bawah terik matahari, di samping got yang aliran airnya sudah tersumbat, hingga baunya sesekali dibawa angin dan sungguh menyengat hidung. Ini sungguh tidak kuhayalkan. Walau begitu tetap saja cendol kubeli dalam bungkusan.
“Berapa satu bungkus cendol,” tanyaku pada penjual yang sedang membungkus cendol untuk seorang nenek yang sudah lebih dulu memesan. “Lima ribu saja, berapa bungkus?,” penjual balik tanya. “Empat bungkus bang,” dan lembar 20 ribu kuletakkan di samping toples bahan cendol. Uang ia ambil dan mulailah ia meracik cendol yang kuinginkan sejak tadi.
Sekira sepuluh menit sudah aku berdiri dan memperhatikan bagaimana gesit si penjual meractik cendol, ia sangat fokus melayani pembeli. Sesekali ia pun berkata sekedar untuk menyapa pembeli, sembari tangannya terus saja bekerja memasukkan esmenen cendol ke dalam plastik bungkusan. “Es dipisah saja ya,” pintaku sebelum cendol dibungkus. “Ya, es memang saya pisah,” jawabnya tanpa perlu melihat ke wajahku.
Dan semua bungkus cendol sudah ready, semuanya sudah dalam kantong plastik yang sedang kutenteng. Perjalanan menuju kediaman masih lebih lima menit lagi, kini hayalanku sudah berbeda, aku membayangkan cendol kuhabiskan bersama teman-teman di hunian gratis milik orang yang dipercayakan pada temanku yang lain. Dan sampailah aku disana dalam keadaan yang sedikit tergesa-gesa.
Saat cendol kunikmati, aku mulai lupa bahwa tadi ada kendala yang menyita pikiranku. Dan dingin cendol pun sudah meresap hingga ke rongga dada yang sedari tadi terasa panas setelah perjalanan di bawah terik matahari. Sederhana sekali, rupanya dengan cendol aku masih bisa merasakan bagaimana kata bahagia. Itu artinya, aku masih manusia.
Hehehe. Cendol, cendol
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @pieasant! You have completed the following achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of posts published
Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
To support your work, I also upvoted your post!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit