Catatan : Suyadi San
Apabila banyak berkata-kata
di situlah jalan masuk dusta
Apabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang
Ya, sajak itu setidaknya jadi tawar-sedingin ketika saya berkesempatan menziarahi makam Raja Gurindam, Raja Ali Haji. Menjejaki kaki di komplek pekuburan raja Yangdipertuan Muda di Pulau Penyengat itu seperti jadi keharusan. Tak lengkap rasanya berdiam di kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, jika tak singgah ke situ.
Boeing 747 Sriwijaya Air mendarat mulus di bandar udara (bandara) Raja Haji Fisabilillah Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Selasa (16/12/08) malam. Raja Haji Fisabilillah? Pertanyaan ini mengemuka di benak saya.
Kata fisabilillah terus menggayuti pikiran saya
Namun untuk sementara saya menyimpan kepenasaran terhadap kata itu. Sebab, kami berdua belas harus bergegas.
Ruang kedatangan dan tempat pengecekan bagasi di bandara Raja Haji Fisabilillah tidak begitu besar. Mirip sebuah aula. Bahkan lebih kecil dari Ruang Tari Taman Budaya Sumatra Utara (TBSU) Medan, mungkin.
Saya beserta sebelas teman penyair lainnya bakal mengisi Parade Baca Puisi Serumpun dalam Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) II yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Tanjungpinang.
Turut bersama saya para penyair dan deklamator terkemuka, di antaranya, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Sosiawan Leak, Asrizal Nur, Chavchai Saifullah, Inggit Putria Marga, Ramayani, Irman Syah, Sihar Ramses Simatupang, Rukmy Wisnu Wardani, dan Amin Kamil.
Kami berdua belas janji ketemu di bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dari sinilah kami bermula untuk bersama menuju Tanjungpinang. Entah mengapa, Asrizal Nur selaku pimpinan rombongan mempertemukan kami di Soekarno-Hatta. Mungkin, lantaran kami akan menapaki jejak gurindam dua belas di Tanjungpinang.
Selain kami, sebenarnya ada sastrawan lain yang juga akan mengisi kegiatan serupa. Yakni, Sutardji Calzoum Bachri, Yurnaldi, LK Ara, Hoesnizar Hood, Nurlaily, Zulhamdani, Machzumi Dawood, Tarmizi rumahitam, Teja Alhabd, Bobby Jayanto, dan Suryatati Tahier Abdul Manan. Mereka berangkat masing-masing dari daerah asalnya.
Kepenasaran saya tampaknya segera terjawab. Rabu (17/12/08) siang, kami memanfaatkan waktu menyeberang ke Pulau Penyengat. Asrizal Nur menunjuk Ahmadun Yosi Herfanda untuk memimpin perjalanan kami.
Penamaan pulau penyengat menambah deretan kepenasaran. Saya tidak sendirian. Yang baru pertama kali berjejak di kota bauksit pulau Bintan ini, juga seperti saya. Kecuali Ahmadun dan Irman Syah. Kami pun bergurau, siap-siap benjol disengat lebah karena tidak pakai helm.
Konon, pulau mungil di muara sungai Riau ini sudah lama dikenal para pelaut sejak berabad-abad, sebagai tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang cukup banyak tersedia.
Nama ”penyengat” diberikan kepada pulau itu, karena pernah pelaut-pelaut yang sedang mengambil air bersih di tempat itu disengat semacam lebah hingga menelan korban. Sejak peristiwa itu, pulau tersebut terkenal di kalangan pelaut dan nelayan dengan panggilan ”Pulau Penyengat”.
Pulau Penyengat terletak di sebelah Barat dengan luas tidak lebih dari 3,50 km dan berjarak sekitar 1,5 km dari kota Tanjungpinang. Naik kapal boat pompong hanya butuh waktu 15 menit dengan ombak yang sedang. Tanahnya berbukit-bukit terdiri atas pasir bercampur kerikil. Pantainya landai, sebagian berumput, sebagian berbatu karang.
Pulau ini terdiri atas beberapa kampung, tergabung dalam suatu desa atau kepenghuluan: Kepenghuluan Pulau Penyengat. Jumlah penduduknya 2.224 jiwa (2004), sebagian besar adalah etnis Melayu dan sehari-hari berbahasa Melayu. Ya, inilah bahasa Melayu yang telah lama saya kenal.
Di pulau ini, Raja Ali Haji, pujangga terkenal, menyusun kaidah-kaidah tata bahasa, ejaan, dan perkamusan; menjadikan bahasa Melayu Riau layak dipakai sebagai bahasa surat-menyurat, bahasa buku, dan bahasa kesusastraan.
Pada pertengahan abad ke-19, van Ophuysen dan von de Wall (ahli bahasa Melayu berkebangsaan Belanda) mendalami bahasa Melayu di Riau. Mereka pun menyarankan kepada pemerintahan kolonial kala itu agar bahasa yang sudah teratur susunannya itu, mudah dan mempunyai prospek yang cerah di masa yang akan datang, dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera di seluruh jajahan Belanda.
Hingga sekitar tiga perempat abad yang lalu, bahasa yang dipakai di Pulau Penyengat ini masih dipandang sebagai puncak bahasa lisan Melayu. Mirip sekali dengan bahasa yang digunakan masyarakat Malaysia ketika saya berada di sebuah resor di Pulau Pinang pertengahan 2004, sehingga saya pun bergumam, ”Masih Indonesiakah Tanjungpinang ini?”
Pulau ini pun masih meninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan naskah-naskah, sebagai bahan tempat merujuk bahasa Melayu. Di antaranya, tulisan tangan Al Quran yang terdapat di dalam Masjid Raya Pulau Penyengat. Masjid ini didirikan pada 1 Syawal 1249 H atau 1832 M atas prakarsa Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman (Marhum Kampung Bulang).
Pembangunan masjid tersebut, menurut penduduk setempat, mempergunakan putih telur sebagai campuran kapur untuk memperkuat beton kubah, menara, dan bagian tertentu lainnya. Ya, mirip pembuatan dinding candi.
Sekitar seratus meter dari depan komplek masjid itu, terlihat puing-puing bangunan. Saya menduga, tempat itu pasti menyejarah sehingga terbiarkan. Benar saja. Itulah sisa-sisa gedung Engku Haji Daud, tabib kerajaan. Peninggalan abad lampau dan saksi sejarah.
Tidak jauh dari situ, persis di sebelah Kantor Pembangkit Listrik Pulau Penyengat, terdapat Komplek Makam Engku Puteri. Di komplek ini, terdapat pusara tokoh-tokoh terkemuka kerajaan Riau. Yakni, pusara Raja Haji Abdullah (Marhum Mursyid, Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX), pusara Raja Ali Haji, pusara Raja Haji Abdullah, dan kerabat Engku Puteri lainnya.
Engku Puteri atau Raja Hamidah adalah Puteri Raja Haji (Marhum Teluk Ketapang). Ia dipersunting menjadi permaisuri Sultan Mahmud (Marhum Masjid Lingga). Pulau Penyengat dibangun menjadi negeri oleh Sultan Mahmud untuk dihadiahkan kepada Engku Puteri sebagai mahar perkawinan mereka. Bait-bait Gurindam XII gubahan Raja Ali Haji terdapat pada dinding-dinding tembok komplek makam Engku Puteri.
Lalu, siapakah Raja Haji Fisabilillah? Beliau tidak lain adalah Yangdipertuan Muda Riau-Lingga Johor dan Pahang IV, tokoh dan pahlawan Melayu terkemuka. Dia pernah menjadi Pangeran Suta Wijaya di Jambi, menaklukkan dan menjadi penguasa Inderagiri, menyeponsori pengangkatan Syarif Abdul Rahman sebagai Sultan Pontianak serta membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau dan menjadi kota terkenal dengan sebutan ’Kota Piring’.
Raja Haji gugur sebagai kusuma bangsa pada 1784 di Teluk Ketapang (Melaka) tatkala melakukan penyerangan terhadap pusat kedudukan dan pangkalan maritim Belanda di Melaka, sebagai pembalasan terhadap serangan kompeni Belanda ke Riau. Setelah jenazahnya beberapa tahun dikebumikan di Melaka, pada masa pemerintahan anaknya, Raja Jaafar menjadi Yangdipertuan Muda, pusara Raja Haji dipindahkan ke Pulau Penyengat.
Impas sudah kepenasaran saya. Sebenarnya masih banyak jejak sejarah di pulau ini, namun kami harus cepat sampai ke Tanjungpinang lagi untuk menyiapkan diri mengisi Parade Puisi Serumpun.
Pada panggung Parade Puisi Serumpun di Gedung Aishah Sulaiman, kami dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama tampil Rabu malam (17/12/08), yakni, Asrizal Nur, Chavchai Saifullah, Inggit Putria Marga, LK Ara, Bobby Jayanto, Ahmadun Y Herfanda, Ramayani, Teja Alhabd, Irman Syah, Sihar Ramses, Rukmy Wisnu, Tarmizi, dan Amin Kamil.
Kelompok kedua tampil Kamis malam (18/12/08), yaitu, saya (Suyadi San), Yurnaldi, Nurlaily, Zulhamdani, Machzumi Dawood, Sosiawan Leak, Acep Azamzam Noor, Hoesnizar Hood, Suryatati Tahier, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Nafas puisi yang ditampilkan para penyair serumpun ini sebenarnya sangat beragam. Namun, saya begitu terkejut ketika Ahmadun membacakan puisi "Sajak Mabuk Zaman Edan". Sedangkan satunya lagi, "Sembahyang Rumputan" sering dimusikalkan oleh Sanggar GENERASI pimpinan saya.
Mengapa saya terkejut? Ya, begitu khidmatnya Ahmadun mengucapkan ”/tuhan, maafkan, aku mabuk lagi/dalam pusingan anggur peradaban/menggelepar ditindih bayang-bayang kekuasaan/seember tuak kebebasan mengguyurku/membantingku ke ujung kakimu/...”, seolah-olah ia memang baru menenggak minuman keras.
Begitu trance-nya ia melafazkan "/tuhan, maafkan, aku mabuk lagi/" dalam tiap bait puisinya. Alamak, batin saya seperti ikut tertikam pilu. Apalagi ketika dia menyebutkan ”/aku mabuk lagi, terkaing-kaing/di comberan negeriku sendiri. pilkada/menggasak-gasakku, bendera partai/mengelabuhiku, pidato pejabat/merobek-robek telingaku...//”.
Melalui sajak tersebut, ia terus mengkritisi kondisi zaman. Tak peduli di gedung itu hadir Wakil Walikota Tanjungpinang Edwar Mursali dan Ketua DPRD Tanjungpinang Bobby Jayanto. Untungnya, Bobby Jaayanto yang juga tampil sebelum Ahmadun lebih dahulu membacakan sajaknya berjudul "Maaf".
Kritik terang-terangan juga dilakukan Acep Zamzam Noor. Melalui sajak "Ada Banyak Cara", Acep yang juga dibesarkan dari kaum agamais menyatakan ”Ada banyak cara/untuk melacurkan diri/salah satunya/menjadi politisi//ada banyak cara/untuk disebut politisi/salah satunya sukai memakai dasi//ada banyak cara/untuk selalu memakai dasi/salah satunya/karena tidak percaya diri//...///”. Dan seterusnya.
Penyair dan deklamator Sosiawan Leak melalui sajak "Dunia Bogambola" juga merasakan ketidakpuasannya terhadap kondisi di tanah air. Lihat saja sembari bernyanyi-nyanyi bogambola berkali-kali dia miris berpendapat, ”//siasia undang-undang aborsi, pasal pembunuhan terencana/apalagi polisi/sebab narkoba dan prostitusi tersembunyi/mempolusi setiap gang dan sekolahan/hakim kehilangan meja, ditinggal pengacara dan jaksa/yang bersaing membanting harga//...”
Begitulah. Para penyair serumpun pada parade puisi RBM meninggalkan sejumlah catatan, agar penerus negeri ini benar-benar memperhatikan masa depan bangsa daripada ingin memenangkan dirinya sendiri ataupun kelompok.
RBM II sepuluh tahun lalu itu secara resmi ditutup Sabtu malam (20/12/08) oleh Walikota Suryatati Tahier di Lapangan Pamedan A Yani Tanjungpinang, sekaligus mengakhiri serangkaian kegiatan seni dan budaya, seperti pergelaran seni, peraduan pantun, parade puisi, perkemahan budaya ASEAN, dan seminar budaya Melayu.
RBM ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting menyangkut pengembangan budaya Melayu. Salah satunya adalah adanya keharusan dari pemerintah pusat dan daerah untuk memfasilitasi aktivitas dan kreativitas bersastra di masyarakat, baik secara lisan atau tulisan.
Kemudian, menjadikan pantun, syair, dan Gurindam yang sudah berkembang baik di tengah masyarakat Melayu, supaya lebih dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Sekaligus menjadikannya sebagai salah satu pelajaran muatan lokal yang wajib.
Untuk menunjang proses pembelajarannya, perlu dilakukan pelatihan guru-guru yang berkompeten, kurikulum yang komprehensif dan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Termasuk, bahan pelajaran yang memenuhi syarat secara kualitas dan kuantitas.
Simpulan rekomendasi ini dihasilkan tim perumus yang diketuai Abd Malik dengan anggota Mahyudin Al Mudra, Marhalim Zaini, dan Bisri Effendi.
Selain kedua rekomendasi itu, RBM juga merekomendasikan perlunya pemerintah mengalokasikan anggaran yang memadai. Gunanya, untuk membangun perpustakaan sekolah dan masyarakat. Selanjutnya taman bacaan, penerbitan buku dan lomba penulisan ilmiah atau kreatif.
Direkomendasikan juga kepada pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan studi dan penelitian kebudayaan, sastra Melayu, baik yang klasik maupun yang modern. Kemudian, memberikan penghargaan dan apresiasi kepada seniman, budayawan, media massa, dan lembaga kebudayaan.
Bahkan, perlu dibentuk sebuah lembaga pemberi penghargaan yang bernama Hadiah Raja Ibahim yang disponsori pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Di samping itu, gerakan awal kebangkitan nasional sebenarnya sudah dimulai sejak berdirinya Rusyidah Club di Pulau Penyengat tahun 1892.
RBM ini sendiri dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Selasa (16/12/08), di Kawasan Budaya Raja Ali Haji, Senggarang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
”Budaya Melayu merupakan bagian dari budaya Indonesia, karena itu perlu dipertahankan dan dijaga, agar tidak tercemar oleh budaya asing yang merugikan. Kebudayaan Melayu merepresentasikan bangsa Melayu sebagai bangsa yang santun bijaksana, cinta damai, menjaga harga diri, setia, dan sabar,” tutur Meutia Hatta.
Inilah pamungkas dari perjalanan kami menapaki situs Melayu di Tanjungpinang. Bravo! Kapankah kegiatan ini berlangsung kembali? ***
Penyair Ahmadun Yosi Herfanda saat tampil pada panggung Parade Puisi Serumpun Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) II di gedung Aisyah Sulaiman Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 17-18 Desember 2008. (foto : Suyadi San)