Aku ingin cerita tentang sepasang suami istri yang rumahnya di simpang lorong masuk rumahku (rumah ayahku tepatnya).
Sepasang suami istri yang hari ini berpapasan denganku nyaris sejumlah 6 kali.
Pagi tadi. Mengantar rombongan adik, anak dan ponakkan-ponakkan sekolah
"Tinn!!" suara klakson ku bunyikan pertanda sapa, tapi tak kurang senyum ku selipkan. Dan senyumpun berbalas.
Melaju mobil yg kusetiri dijalan aspal sempit dan berlubang sepanjang jalan Bies Penentanan - Takengon. Kuusahakan tepat waktu, biar tak terlambat mereka.
Satu persatu ku dropping di sepanjang Sdit-Cendikia, Sdit Al-Manar terakhir di Tkit-Cendikia. Kuhalu kemudi setir melewati jalan Paya Ilang.
Harus segera pulang, karena juga harus segera kembali lagi karena mukena Orin ketinggalan, yang akan berimbas Nihaal bakal dihukum. Karena mukena cadangan Nihaal dipakai Orin sudah beberapa waktu, yg Nihaal pakai selama ini sudah kotor.
Ya, pulang lagi. Menginjak pedal gas dengan pasti. Untungnya cuma ada rem dan gas disitu. Dan aku sudah hafal benar jalannya.
Akan melewati rumah tetangga pas lorongku tadi, di tepi lorong yang sempit, terlihat sang istri sibuk membenarkan letak keranjang diatas sebuah karung yang entah apa isinya. Dibelakang motor sang suami. Melihat itu, aku yang berhenti menunggui mereka menyelesaikan sedikit lagi kesibukkan mereka, memandangi sepasang suami istri itu dari dalam mobil, sempat tersenyum kecil "harmonis yang manis"
Selesai, dan si suami menepikan motornya, pertanda aku sudah boleh lewat. Tidak lupa ku klakson dan lemparkan senyum. Keduanya balas tersenyum, senyum yang sama seperti tadi pagi.
Sebentar dirumah, membereskan dapur, dan menyapu daun kopi kering dibelakang rumah dekat kandang kambing. Aku berangkat lagi. Untuk urusan yang buru-buru aku memilih mengendari motor matic. Lewat lagi hanya ada si suami, "bang" Aku menyapa, terlihat senyum dari barisan gipals si suami. Si istri tidak tampak, "pasti ada didalam rumah" batinku.
Melaju motor lagi, kulaju dengan kencang, melayang diatas aspal berlubang, berbatu, becek. Mengejar waktu pukul 09.30 waktu anak-anak sholat dhuha.
Sampai di Sdit Al-Manar, adalah akibat terburu-buru, mukena ternyata tertinggal. Gurunya Orin cuma Ikut prihatin, drama VR yang sia-sia.
Balik badan untuk mengulang drama gagal tadi, tak kan terkejar. Jadi ku sandarkan sejenak badanku dikursi cafe coffee tempat aku biasa duduk.
Selang beberapa waktu, telf berdering "vi, semen kurang 2 sak lagi, sekarang ya, evi beli aja ada pick up dirumah, sekarang! Tukangnya perlu, semen tinggal dikit lagi" Nahh... Balap lagi, meng 'anak muda'kan diri biar misi selesai.
Hmm... Dosis cafeinnya esspresso merasuk kedalam darah. Gentar seakan tak ada, menyelip dan menyalip tiap motor, mobil, motor dan lubang. 10 menit sampai dirumah.
Ops... Melewati rumah tetangga pas belokan lorong tadi.
Sang suami yg sedang jongkok didepan rumah memperbaiki motornya, sempat melirikku dan tetap tersenyum. Kali itu kupanggil "bang!!!".
Sampai dirumah,
"Vi, udah bawa semennya?" Tanya bg tukang sesampainya drmh .
"Belum bg, ini mau vi ambil sama pick up, sabar bg ya, vie ngebut ni"
Pick up L300, mobil favorit. Paling nyaman nyetirnya. Bodynya tinggi dan terukur jika dikendarai.
Tapi, harus beberapa kali berhenti di tengah jalan, klosnya bermasalah. Perpindahan giginya tidak berfungsi. Sah!! Mainkan gigi 3 sepanjang pulang dan pergi ke Atang Jungket ketempatku membeli semen.
Kali ini, berpapasan dengan suami istri tadi, sedang asik duduk berdua didepan rumah mereka.
Bukan makin acuh, tapi berasa lebih hangat. Tatapan dan sunggingan senyum serta gelengan kepala, atas kegilaanku untuk lagi-lagi berkelabatan kesana kemari.
Semen mendarat dirumah. Bg tukang tersenyum disertai gembiranya hujan turun serta merta dengan gemuruh. Seakan merayakan panjang langkahku yg mengukur berkilo-kilometer perjalanan hari ini.
Senyum dari sepasang suami istri yang kebetulan seharian ini kujumpai disimpang lorong rumahku, belum lagi tetangga-tetangga lainnya disepanjang jalan.
Senyum, sapa, santun
Tetangga-tetanggaku didesa. Tanpa ada embel-embel karena alasan atau omongan apapun dibelakangnya.
Kami didesa beragam suku bertahun hidup berdampingan. gayo, jawa, aceh membaur membangun solidaritas dan kebersamaan.
Tidak perduli, mau berapa kalipun berkelebat dihadapan mereka, senyum seperti nyawa. Yang memberi hidup lebih bermakna, memancarkan sinar wajah-wajah ramah.
Hiduplah di[seperti]desa, setidaknya bikin umur lebih panjang. Tubuh sehat karena hati lapang. Ibadah jadi lancar.
Setelah menghabiskan sekitar 5 menit hidup ku untuk membaca tulisan ini. Aku merasa bersyukur hidup di seputaran kota tp punya tetangga seperti di desa
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
5 menit dk 😅
Alhamdulillah. Masih ada kota rasa desa. 😊
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit