Pramoedya in his book the children of all nations "you write, your voice will not be extinguished by the wind, will be eternal, far, far in the future". Such is what is currently attached to the masterpiece of the priyayi kiai Gusdur (Abdurrahman Wahid). The president is full of controversy from baptism until it needs a personal direction guard. But behind it, Gusdur leave traces of educational thinking that Gaungnya is still the subject of evaluation and study. Like Tan Malaka's phrase "remember that from the grave my voice will be louder than on earth".
Gusdur in the world of education contribute thoughts that are slightly out of the pesantren mostly. He dared to appear as a pioneer of modernist kiai by displaying a new educational style, especially Islamic education. Greg Barton (2010) once stated, #Gusdur trying to disseminate both education, classical Islamic education with modern western education by not forgetting the essence of Islamic teachings.
Nothing else begins with his views as kiai and also statesman sees religious schools understood formally ritual, and eksklusivistic. Society only sees Islamic education as simply a dry symbolic of the logical consequences of its application. So not infrequently the only religion used as a vindication of justification. For example, during the busy elections, Crowded political parties trying to find the justification dogma, no more to the satisfaction of political parties. Maybe it could happen that is wrongly justified, who is rightly blamed? On the other hand, Religion is only present in the chambers of the house of worship. After coming out of it no one felt the pleasure of worship kesesama. Egalitarian also felt eroded by unconsciousness.
Education becomes an effective social engineering alternative. By being present in the midst of the drought, gusdur proclaimed social engineering in the nation's educational body. Education in particular must be dynamic, in the expression gusdur he describes the dynamics is a boost value of existing positive life value and change of old values with a new value that is considered more perfect. And the process of replacing values is called modernization.
The combination between the positive values of living and modernization gave birth to the old idea that education, especially Islamic education must come up with a contemporary context, namely Education democratization, plurality education, humanist education.
Gus dur see That educational institutions should not look at students from where, from the hut kah, from child labor, or students like empty vessels even different religions though. Because all learners equal his position in getting knowledge. Education should be able to be the umbrella of all learners.
Education must appear to be a means of liberation rather than vice versa as a means of oppression. Borrowing the term freire education that humanizes humans. If the learners are accustomed as the object of revenge due to the inability of teachers / lecturers (both in knowledge and teaching skills) so that the teacher seemed to have full control over the control of learners.
Narrowing the learning process of learners by teachers, will be the time bomb of learners will replace the role of teachers. The question is, is it possible that the teacher has taught the right without a speck of ink wrong? because of that gus dur proclaimed democratization of education where learners should be stimulated to be the subject of education. Freire's belief that every human being, no matter how "stupid" and immersed in the mute culture, he is able to look critically around the world. Therefore learners should be encouraged to be the subject of knowledge seekers. Richard shaull in the introduction to education of the oppressed (2013), learners are not as objects and subtly programmed to fit the logic of the system. And finally Drowning in a new style silent culture.
Gusdur invites all elements of education to instill the value of tolerant values in the early learners for the formation of plurality education. And humanist education is also encouraged in accompanying the education process. In the absence of earthing the spirit of humanity may appear human oppressive humanity. Finally, the goal of education leads to respect, responsibility, compassion, discipline, loyalty, courage, tolerance, openness, work ethic and trust and love to God will be realized (Syarifudin Basyar, lecturer of Lampung).
Pramoedya dalam bukunya anak semua bangsa“ kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari”. Seperti itulah yang saat ini melekat dari karya besar kiai priayi gus dur (abdurrahman wahid). Sang presiden penuh kontroversi dari pembaptisan hingga perlu pengawal arah pribadi. Namun dibalik itu gusdur meninggalkan jejak pemikiran pendidikan yang Gaungnya masih menjadi bahan evaluasi dan kajian. Seperti ungkapan Tan malaka “ingat lah bahwa dari alam kubur suara saya akan lebih keras dari pada diatas bumi”.
Gusdur dalam dunia pendidikan menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang sedikit keluar dari tokoh pesantren kebanyakan. Ia berani tampil sebagai pelopor kiai modernis dengan menampilkan corak pendidikan yang baru khususnya pendidikan islam. Greg Barton (2010) pernah menyatakan, #Gusdur berusaha mensistensiskan kedua pendidikan, pendidikan islam klasik dengan pendidikan barat modern dengan tidak melupakan esensi ajaran islam.
Tak lain berawal dari pandangan ia sebagai kiai dan juga negarawan melihat Sekolah agama dipahami secara formalisitik, ritual, dan ekskluvistik. Masyarakat hanya memandang pendidikan islam sekedar simbolis yang kering dari konsekuensi logis aplikasinya. Sehingga tak jarang agama hanya dijadikan kedok pembenaran. Misalnya yang ramai terjadi saat pemilu, Beramai ramai parpol mencoba mencari pembenaran dogma, tak lebih sebagai pemuasan parpol pendudukung. Mungkin saja bisa terjadi yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan ? Dilain sisi Agama hanya hadir diruang ruang- ruang tertutup rumah peribadatan. Selepas keluar dari itu tak ada yang dirasakan nikmat peribadatan kesesama. Egaliter pun dirasa terkikis dengan ketidak sadaran.
Pendidikan menjadi alternatif rekayasa sosial yang dirasa efektif. Dengan hadir di tengah-tengah kekeringan itu, gusdur mencanangkan rekayasa sosial di tubuh pendidikan bangsa. Pendidikan khususnya harus adanya dinamisasi, dalam ungkapan gusdur tersebut ia menggambarkan dinamisasi merupakan penggalakan nilai nilai hidup positif yang telah ada dan pergantian nilai-nilai lama dengan nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Dan Proses penggantian nilai itu disebut modernisasi.
Perpaduan antara penggalakan nilai-nilai hidup positif dan modernisasi ini melahirkan pemikiran gus dur bahwa pendidikan khususnya pendidikan islam harus tampil dengan konteks kekinian, yaitu Demokratisasi pendidikan, pendidikan pluralitas, pendidikan humanis.
Gus dur melihat Bahwa institusi pendidikan harus lah tak memandang anak didik berasal dari mana, dari gubuk kah, dari anak buruh kah, atau murid seperti bejana kosong bahkan berbeda agama sekalipun. Karna semua peserta didik setara kedudukanya dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Pendidikan harus mampu menjadi payung seluruh peserta didik.
Pendidikan harus tampil menjadi alat pembebasan bukan sebaliknya sebagai alat penindasaan. Meminjam istilah freire pendidikan yang memanusiakan manusia. Jika peserta didik terbiasa sebagai objek balas dendam akibat ketidak mampuan guru/dosen (baik secara pengetahuan dan skill mengajar) sehingga guru seolah berkuasa penuh atas kendali peserta didik.
Penyempitan proses pembelajaran peserta didik oleh guru, akan menjadi bom waktu peserta didik akan menggantikan peran guru. Pertanyaan nya ialah apa mungkin guru sudah mengajarkan yang benar tanpa adanya setitik tinta salah ? oleh karna itu gus dur mencanangkan demokrattisasi pendidikan dimana peserta didik harus dirangsang menjadi subjek pendidikan. Keyakinan freire bahwa setiap manusia, betapa pun “ bodoh” dan terbenam dalam kebudayaan bisu dia mampu memandang secara kritis dunia sekitar. Oleh karna itu peserta didik harus didorong menjadi subjek pencari pengetahuan. Richard shaull dalam kata pengantar pendidikan kaum tertindas (2013), peserta didik bukan juga sebagai objek dan dengan halus memprogram agar sesuai dengan logika sistemnya. Dan akhirnya Tenggelam dalam kebudayaan bisu gaya baru.
Gusdur mengajak seluruh elemen pendidikan untuk menanamkan nilai nilai toleran pada peserta didik sejak dini guna terbentuknya pendidikan pluralitas. Dan pendidikan humanis turut digalakkan dalama mendampingi proses pendidikan. Tanpa adanya membumikan semangat kemanusiaan dapat saja muncul manusia yang menindas manusia lainya. Akhirnya, Tujuan pendidikan bermuara kepada rasa hormat, tanggung jawab, rasa kasihan, disiplin, loyalitas, keberanian, toleransi, keterbukaan, etos kerja dan kepercayaan serta kecintaan kepada tuhan akan terwujud (Syarifudin Basyar, Akademisi Lampung).
Tulisan ini saya upload di http://diyanahmadsaputra.blogspot.co.id/2014/11/gus-dur-yang-dilupakan-dan-dikenang_3.html