"Dua ribu enam belas... kan berjuang bersama... Dua ribu enam belas... kami sang juara" sepenggal bagian lagu mars angkatan 2016 terngiang di kepala ku. Sepenggal kalimat itu yang selama ini menjadi salah satu moodbooster untukku kembali bersemangat seburuk apapun kondisinya. Ya, aku punya 228 kepala yang siap menjadi tempatku berbagi, berpikir bersama. Seharian terkulai di tempat tidur, mengundang banyak kunjungan, semangat, dan doa dari teman-teman. Bahkan tidak hanya satu fakultas, teman seperjuangan kelas Ilmu Biomedik Dasar pun turut menyemangati. Lantas diri ini merasa tertampar. Tertampar akan pertanyaan-pertanyaan konyol selama tiga minggu terakhir. Kenapa harus kemari? Kenapa harus dokter? Kenapa bukan kesana? Kenapa harus aku? Kenapa tidak orang lain saja? Bukankah ada 7 miliar orang di muka bumi ini? Kenapa salah satunya aku? Lantas diri ini malu. Ketika di luar sana ada banyak sekali orang yang peduli pada diri ini, namun diri ini hanya sibuk mengeluh tentang seberapa banyak ilmu yang terserap, tentang seberapa sulitnya mengingat teori, tentang seberapa buruknya hafalan tentang anatomi tubuh, tentang seberapa lelahnya mempelajari fisiologi satu sistem dalam waktu kurang dari satu minggu. Manusia, ya sejatinya manusia yang sedikit sekali bersyukur. Aku lupa bahwa di balik semua itu ada keluarga yang begitu mencintai, ada teman dan kakak-kakak tingkat yang siap mendengar dan membantu, ada fasilitas yang memudahkan dimana-mana, ada tempat yang hebat, ada kelapangan yang indah, dan yang terpenting adalah ada kesempatan yang terbaik.
Ketika di luar sana anak-anak sepantaranku sibuk memenuhi jalanan kota dengan berdagang makanan. Ketika anak-anak sepantaranku mendambakan bangku pendidikan saja adalah hal yang termewah bagi mereka. Ya, aku terlalu sibuk melihat ke atas, abai melihat ke bawah, padahal aku ada di tengah-tengah. Aku lalai, ketika aku mempertanyakan segala hal rumit pada diriku sendiri, justru aku menemukan jawaban yang sederhana untuk menjawabnya. Ya, aku justru menemukan jawaban itu pada pertanyaanku sendiri. Tentang mengapa, bukankah Allah lebih tahu segalanya, bahkan melebihi hamba-Nya? Padahal Dia telah membentangkan sejuta jawaban yang bisa dengan mudah kutemui. Sederhana jadinya, karena angka kematian ibu di negeriku masih sangat tinggi. Sederhana, karena keluargaku bisa jatuh sakit kapan saja dan mereka butuh aku. Sederhana, karena Allah ingin mengajarkanku caranya menemukan jalan terbaik melalui serangkaian proses yang melelahkan menurutku. Harusnya aku paham, rasa suka itu hadir ketika kita terbiasa. Harusnya aku mengerti, kualitas ilmu itu bukan pada seberapa banyak yang diserap, tetapi seberapa gigih mempertahankan dan mengamalkan yang sedikit (bahkan). Harusnya aku tahu, tidak ada mutiara yang tercipta tanpa proses yang menyakitkan Si Kerang. Hatiku tergelitik, ketika ba'da isya mendengar ceramah tentang "siapa orang yang paling dicintai Allah swt?" dan jawabannya adalah "yang paling berguna bagi orang lain".
Memang, ada banyak sekali jalan untuk menjadi berguna bagi orang lain, namun mungkin jalanku adalah dengan sneli putih dan kalungan stetoskop. Melelahkan memang, tetapi bukankah Allah selalu membuka pintu yang tertutup, bahkan menciptakan pintu baru untuk aku bergerak? Di lain waktu, ketika cerita ini usai, mungkin akan indah sekali mengenangnya, melalui 300 halaman fiksi, misalnya? Wallahu'alam, semoga Allah senantiasa memberkahi langkah-langkah mulia kita. Catatan ini terkhusus bagi seluruh penuntut ilmu yang merasa jemu. Tersenyumlah, Bersyukurlah, dan Percayalah