In the Aceh context, the Government of Aceh has authority in land affairs. Based on Article 16 Paragraph (1) Sub-Paragraph k of the Aceh Government Law, it is clear that land affairs is one of the obligatory functions under the authority of the Government of Aceh implemented under the minimum service standards, implemented gradually, and stipulated by the Government. In the Law of the Regional Government, Regarding the authority of land is included in the affairs of the concurrent government, which means that government affairs are shared between the Central Government and Provincial Region and District / Town Region. Concurrent government affairs which are submitted to the Region become the basis of the implementation of Regional Autonomy
In Presidential Decree Number 34 Year 2003 on National Policy in Land Affairs and Presidential Decree Number 10 Year 2006 concerning National Land Agency, there are a number of government authorities in the land sector implemented by Regency / City Government.
The authority referred to is the granting of permits, the provision of land for development purposes, the settlement of land disputes, settlement of compensation issues and the compensation of land for development, the determination of the subject and object of land redistribution and compensation of the land of maximum excess and absentee land, the determination and settlement of land issues ulayat, utilization and settlement of vacant land issues, land clearing permit and land use planning of Regency / Municipality.
And reinforced the authority of the Aceh government with the issuance of Government Regulation No. 3 of 2015 on the National Government Authority in Aceh and Presidential Decree No. 23 of 2015 on the change of the National Land Agency into the Land Agency of Aceh. However, prior to the qanun which regulates the Aceh Land Agency, the authority in the land sector still refers to Government Regulation No. 3 of 2015.
Departing from the above conditions, the need for a moratorium on the Right to Effort will be ended, considering that of the many business rights issued in Aceh can bring adverse impacts on the welfare of the people in Aceh, especially for the people who work every day as Farmers who lack the availability of agricultural land . In this regard, the Aceh Government has authority in the land affairs of some of the above mentioned rules.
Dalam konteks Aceh, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf k Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjelaskan bahwa urusan pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh yang dilaksanakan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap, dan ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, Mengenai kewenangan pertanahan termasuk dalam urusan pemerintahan konkuren, yang artinya adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan Konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, terdapat sejumlah kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Kewenangan sebagaimana dimaksud adalah pemberian ijin, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, pemberian ijin membuka tanah dan perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Dan diperkuat lagi kewenangan pemerintah Aceh dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh dan Perpres Nomor 23 Tahun 2015 tentang Perubahan Badan Pertanahan Nasional menjadi Badan Pertanahan Aceh. Namun, sebelum adanya qanun yang mengatur tentang Badan Pertanahan Aceh, kewenangan di bidang pertanahan masih merujuk ke Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2015.
Berangkat dari kondisi di atas, perlu adanya moratorium Hak Guna Usaha yang akan berakhir, mengingat dari sekian banyaknya Hak Guna Usaha yang diterbitkan di Aceh dapat membawa dampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat di Aceh terutama bagi masyarakat yang setiap harinya bekerja sebagai Petani yang kurang ketersediaan lahan pertanian. Dalam hal ini juga, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan di bidang pertanahan dari beberapa aturan yang telah disebutkan di atas.
Best Regard @adun80