CERBUNG: TERSANDERA JANJI

in fiction •  7 years ago  (edited)

edited_1483543648044.jpg

Gambar hanya sekedar ilustrasi saja (dok.AG)

Nyak Buleuen tertunduk lesu di sudut ruangan rumahnya. Sesekali ia tampak sesenggukan. Wajahnya memerah menahan tangis. Sama sekali ia tidak berani menatap wajah sang ayah yang sedari tadi tampak emosi.

"Mulai besok kamu tidak boleh sekolah lagi. Besok pagi juga, kamu ayah antar ke pondok pesantren. Keputusan ayah sudah bulat.!",

Setelah itu, sang Ayah bangkit dari tempat duduk, keluar rumah sambil membanting daun pintu.
Melihat sikap ayahnya, Nyak Buleuen semakin ketakutan dan tertekan. Ingin rasanya ia pergi meninggalkan rumah, pergi sejauh-jauhnya, tapi kemana, ia pun tak tau. Pikirannya begitu kacau.

Sementara sang bunda hanya diam seribu bahasa. Lantas berlalu meninggalkan Nyak Buleuen sendirian dalam kesedihannya.

Satu persatu wajah teman sekolahnya mulai terlintas dipikirannya. Apalagi saat membayangkan Dila, teman sebangku di kelas nya. Dila teman yang baik, sangat pengertian dan suka menolong. Pernah suatu hari, kakak kelas mengganggunya. Dilalah yang membantunya melapor sama guru. Di lain hari, saat hendak pulang sekolah, ternyata ban sepeda Nyak Buleuen kempes. Dila pula yang menemaninya hingga ke bengkel. Padahal waktu tempuh dari sekolah ke bengkel hampir setengah jam perjalanan.


Dila bukan hanya teman sebangku Nyak Buleuen di sekolah. Di balai pengajian pun mereka satu kelas. Meski tinggal di gampong (Kampung) yang berbeda, persahabatan keduanya sudah terjalin sejak di bangku kelas 1 madrasah ibtidaiyah. Tidak terasa, keduanya kini telah remaja dan duduk di bangku kelas 1 madrasah tsanawiyah.
Nyak Buleuen memiliki postur tubuh tinggi semampai. Berhidung mancung, kulitnya kuning langsat. Rambutnya perang sebatas pinggang. Tidak ada yang mengira usianya Nyak Buleuen baru 13 tahun.

Sementara Dila, berperawakan kecil. Kulitnya sawo matang, rambutnya sebatas bahu. Namun, Dila memiliki lesung pipit. Bawaannya selalu ceria. Karena itu, Dilla lebih banyak memiliki teman ketimbang Nyak Buleuen.

Sayup-sayup dari kejauhan suara pengajian menggema dari cerobong tua meunasah (langgar), pertanda waktu shalat magrib sudah dekat.
Teungku Puteh -begitu sapaan warga kepada ayah Nyak Buleuen-, baru saja tiba di rumah selepas pulang dari sawah. Wajahnya tampak lelah. Tatapannya kosong. Seperti ada beban besar yang sedang dipikulnya. Wajah pilu anak perempuan satu-satunya itu terus membayangi sejak tadi. Ada perasaan bersalah disana. Sejujurnya, Teungku Puteh sendiri tidak tega dengan keputusannya.

"Ayah, nanti kalau Buleuen udah besar. Buleuen mau kuliah ke UIN Ar Raniry Banda Aceh. Cita-cita Buleuen mau jadi guru agama. Boleh ga yah?,"
"Boleh nak..., cita2 yang mulia itu. Ayah dan ibumu akan berusaha sekuat tenaga membantu mewujudkan cita-citamu,"

Dialog lima tahun silam tersebut seketika terngiang kembali dalam ingatan Teungku Puteh. Dadanya terasa sesak. Buliran kristal dari matanya mendesak keluar. Namun, sebagai seorang laki-laki ia berusaha menahannya.
"Yah, sudah bisa mandi. Sebentar lagi azan magrib. Emang ayah nggak shalat berjamaah di meunsaah seperti biasa?,"
Suara istrinya membuyarkan lamunan Teungku Puteh. Tanpa menjawab, ia bergegas menuju sumur untuk mandi.

Usai menunaikan shalat magrib di meunasah Teungku Puteh segera pulang ke rumah. Beberapa jamaah bertanya-tanya, biasanya Teungku Puteh baru pulang usai pengajian dan shalat Isya. Malam itu berbeda.
"Ayah sudah pulang? Ga nunggu shalat Isya?," tanya sang isteri

"Nggak bu,"
"Oya bu, Si Buleuen kemana, koq ga nampak dari tadi?,"
"Itulah, dari tadi dia mengurung diri di kamarnya. Keluar cuma sebentar untuk berwudhu', lepas itu masuk lagi,"

"Bu, malam ini kita ke balai pengajian si Buleuen. Kita mau pamitan sama Teungku. Ajak si Buleuen," ujar Teungku Puteh kepada isterinya.
"Iya yah,"
Si Ibu menuju ke kamar anaknya. Beberapa kali pintu di ketuk, sama sekali Nyak Buleuen tidak menyahut.
"Nyak Buleuen!, ayah mengajak kita untuk pamitan sama Teungku, pimpinan balai pengajianmu. Ayo, berkemas nak!,"

Mendengar itu, Nyak Buleuen langsung bangkit dari sajadah. Menyeka air mata seterusnya mengenakan pakaian yang biasa dikenakannya ke tempat pengajian. Di depan cermin, beberapa kali ia mencoba untuk tersenyum. Entah kekuatan apa yang menggerakkan Nyak Buleuen hingga tiba-tiba suasana hatinyanya berubah.


|Balèë angèn dan air mata|
Jarum jam menunjukkan pukul. 20.15 WIB. Shalat Isya berjamaah baru saja usai. Terlihat para santri keluar dari mushalla dengan tertib menuju balainya masing-masing. Balai santriwan berbentuk panggung dengan ukuran 10 x 20 meter. Sementara balai santriwati berbentuk semi permanen berukuran 20 x15 meter. Lokasi balai santriwan dan santri wati hanya terpaut jarak sekitar 8 meter. Di antara kedua balai tersebut, terdapat satu lagi balai berbentuk panggung, para santri menyebutnya "Balee angen" (balai angin). Pengajian di Balee angen dipimpin langsung oleh teungku pimpinan balai. Selesai mengaji di Balee angen tersebut, biasanya santri mengulang materi di balainya masing-masing yang didampingi "teungku rangkang"( staff pengajar).

Pukul 21.00 WIB malam itu giliran kelas Tajzi B mengaji Kitab Matan Al 'Awamil di Balee angen. Seperti biasa, pengajian langsung di asuh oleh pimpinan balai, Teungku Ismail.
"Dila! Nyak Buleuen kemana, koq ga nampak," tanya Teungku Ismail.
"Maaf Teungku, ga ada kabar. Biasanya, kalau ga ngaji dia pasti kabarin saya," jawab Dila.

"Assalamu'alaikum....Teungku, ada tamu di rumah. Ayah dan ibunya Nyak Buleuen," ujar ummi yang muncul secara tiba-tiba di dekat tangga balai.

"Iya, ummi. Saya segera kesana. Ummi duluan saja,"
"Berhubung ada tamu, kalian ulang aja materi minggu lalu. Dila, tolong bantu teman-teman ya,"
"Baik Teungku," jawab Dila.
Dila memang terkenal pintar di tempat pengajian. Otaknya terbilang encer. Bayangkan, 'Amil Sama-'iyah yang terbagi ke dalam 13 bagian dan terdiri dari 91 'amil bisa dihafal dalam waktu satu malam. Matan Takrib, Matan bina, Zammon, dan beberapa kitab lainnya, Dila selalu yang terdepan di kelasnya.
Lain halnya dengan Nyak Buleuen. Kemampuannya dalam seni membaca Al Qur,an membuat orang terkagum-kagum saat mendengarkan lantunannya. Selain menguasai ilmu tajwid, memiliki suara yang indah nan merdu, ia juga mahir menguasai tujuh irama dalam seni membaca Al Qur'an seperti bayati, shaba, hijaz, dan lainnya. Maka semua orang tidak heran, Nyak Buleuen menjadi langganan juara pada setiap pelaksanaan MTQ di tingkat kecamatan.
"Assalamuala'ikum teman-teman,"
"Wa'alaikum salam,"
"Eh, Buleuen rupanya," ujar Dila sedikit terkejut kehadiran Buleuen secara tiba-tiba.

"Dilaaaaa...., heuk...heuk...heuk...," suara Buleun tersendat-sendat karena menahan tangis.
"Ada apa Buleuen, mengapa kamu menangis sahabatku?....Ada masalah apa?'..," tanya Dila penasaran.
Bagai diperintah, semua santriwati berhenti membaca kitab. Mata mereka tertuju ke arah Buleuen dengan penuh keheranan. Apa sesungguhnya yang menimpa Buleuen.

Suasana kian mengharu biru tatkala tangisan Nyak Buleuen meledak sambil memeluk erat tubuh Dila sahabat karibnya. Dila sendiri kian bingung melihat ekpresi Buleuen.

"Dil...Dil..Dilaaa.., ma...malam...i.....i...ini, malam...terakhir kebersamaan kita. Mulai be...besok, saya..tidak mengaji lagi disini dan saya juga tidak sekolah lagi ,"
Mendengar itu, tangisan Dila pun pecah. Ia pun memeluk erat tubuh Buleuen.
"Kenapa, kenapa bisa seperti itu, Buleuen, masalahnya apa," tanya Dila sesenggukan.
"Teman-teman semuanya, saya mohon maaf, apabila selama ini Buleuen punya salah dan khilaf dengan kalian semua. Mulai besok pagi, Buleuen berangkat ke Pesantren di Bireuen," jelasnya sambil menyeka air mata dengan jilbab yang dikenakannya.

Tanpa di komando, semua teman-temannya merengsek memeluk Nyak Buleuen. Malam itu, Balee angen penuh dengan air mata. Suara riuh tangis mereka ternyata terdengar oleh semua santri, termasuk para santriwan.

" Raja, coba lihat, kenapa anak kelas Tajzi B menangis semua," tanya Nurdin kepada Raja.
"Iya...ya...koq bisa. Ada apa ya?,"
"Bentar Raja ya, saya coba cari informasi dulu,"
Hanya berselang dua menit, Nurdin setengah berlari mendekati Raja.

"Raja, Raja, Nyak Buleuen Raja,"
"Iya, ada apa dengan Buleuen," desak Raja
"Malam ini te....terakhir Buleuen mengaji disini. Besok pagi, ia akan tinggal di Pesantren di Kabupaten Bireuen,"
"Dia, juga tidak sekolah lagi," kata Nurdin dengan suara gemetar.
Mendengar itu, wajah Raja tiba-tiba berubah menjadi sendu. Dari wajahnya, terlihat ia begitu terpukul. Seakan belum percaya dengan informasi yang disampaikan teman akrabnya. Tubuhnya terduduk lunglai lemah tak berdaya. Tatapannya kosong memandang tanpa arah. Jantungnya berdegup kencang. Butiran kristal mulai terlihat di kelopak matanya....[bersambung]

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!