Arung Loves the Bird
Short Story by @ayijufridar
ARUNG loves birds without caring for the beauty of sound and color. For her beauty appears on the bird itself without having to be tied to anything, including sound and color. With regard to birds, he does not believe that beauty is absolute. The beauty is free, while the sound and color of the feather are tied.
If he is fixated on the beauty of sound and color, then he will not keep the sparrows. Everyone acknowledges that the sparrow is just a good name. Similar to the name of the village head boy in their village; Pipit Sartika. About the sound, the cheeks just win noisy. Especially when they are huddled together, they are floating in the air like a whirlwind crashed by a whirlwind.
When they see the plump rice, they will swoop down like a hawk that wants to grab a chick. Precisely therein lies the beauty. The sparrows are like colossal dancers who have alignment in motion. Without a signal the body darts to the same point.
A beautifully sounded stone magpie can not. They are not nimble, just sound beautiful. Maybe that's how God shows His power. Beautiful birds are not given agility. And the lively bird is not given beauty. Just as a small pumpkin tree is given a large fruit, and a large banyan tree is given a small fruit.
Although often heard the stone magpie sounds beautiful, actually Arung has never seen the bird. He only knew that magpies also had diverse and interesting colors. Average body size, round head, legs long, pointed beak and slim, with wings slightly wide. "Anyway, the magpie is beautiful. The price is also expensive because it is rare, " Wan Panyang said.
"Rare is what?" Arung stared in confusion.
"That rare ..." Wan Panyang thought. Confused how to explain the definition of rare in children who just sit in elementary school. In addition, he is also confused because it can not make a definition. Although only a week, Arung has eaten school. Different from her who never even go to school at all. But after all, little children are still small children.
"Rare is, yes rare. Not everyone can catch it. Must have special skills. "
Arung nibbles. "Could you catch it?"
Wan quickly nodded. This little bird has entered into its trap. "Bang Wan will show you how to make the trap. Stone piercing nest in the branches of a tree that is not too high. "
"When do we make a trap?" Arung stared with bright eyes.
In Wan Panyang's bolamata standing up in front of him, he seemed to see the long stone stone's tails, his colorful wings, and his thin legs like Wan Panyang's legs. Other children must be squeamish because none of them keep a stone magpie. Even Teungku Haji Muhammad Hamid who keeps many birds, does not yet have a stone magpie. If Haji Muhammad asked to buy, what should be given?
Arung has a plan to have a magpie was getting closer to reality when Wan Panyang invited her to set a trap. According to Wan Panyang, in the jungle he saw a nest in the shape of a cup made of dried twigs. "The size is not too big but also not small. The location is not on a tall tree. So it is indeed a stone magpie nest," Wan Panyang said.
"When do we get there?"
"Right now. But never tell anyone. Stone blinds are expensive. Later people on seizure set up traps. You have to promise ... "
"I promise!"
They set off quietly through a narrow loop and rarely passed. And if through the road on the edge of the rice field will be faster up to the village forest. But now it's the harvest season. Many people are walking. Wan Panyang said no one should know they found a magpie nest. "It'll be troublesome!"
Arung believe it. He really likes different types of birds. But now he feels more like a magpie he doesn’t yet have. He felt the magpie would be his beloved pet, perhaps also most admired of his friends even Haji Muhammad. If Pak Haji wants to buy, what is it given?
They arrived at the village forest that was not too dense again as before. Tall trees have been cut down. The trunk is to build the houses of residents, while the branches are for firewood. Many people use firewood again after kerosene is hard to come by. In fact, villagers have almost left the firewood after being able to buy a stove, whether using kerosene or gas fuel. At that time there were only five or seven households still using firewood. But that number is now growing again, a sign of society backward away from welfare.
Sunlight freely broke through the leaves and fell in the bushes. Only in some places are free from the sun, making the coolness in the place more felt. And that's where Wan Panyang lays his body with the dried foliage as a base. The slices of the hog plum tree as large as the adult calves are made into pillows. Then the youth pulled down his trousers.
Arung just noticed with wonder. "Where's the bird?"
"Wait a minute. Now you please make it this way.... " Wan Panyang replied as he moved his hands back and forth quickly in front of the groin. All his pants had fallen below his knees.
Arung looked at her embarrassed. Do not understand why Wan Panyang ordered him to do so. Adults are often acting weird, Arung thought while doing what Wan Panyang asked. He just wanted to finish the task as soon as possible and immediately get a magpie.
Lhok Seumawe, August 2007
Arung Mencintai Burung
Cerpen @ayijufridar
ARUNG menyukai berbagai jenis burung tanpa peduli pada keindahan suara dan warna. Baginya keindahan muncul pada burung itu sendiri tanpa harus terikat dengan apa pun juga, termasuk suara dan warna. Menyangkut burung, ia tidak percaya bahwa keindahan itu mutlak. Keindahan itu bebas, sedangkan suara dan warna bulu itu terikat.
Kalau ia terpaku pada keindahan suara dan warna, maka ia tidak akan memelihara burung pipit. Semua orang mengakui burung pipit itu hanya bagus namanya saja. Mirip nama anak kepala desa di kampung mereka; Pipit Sartika. Soal suara, pipit hanya menang berisik. Apalagi kalau sedang bergerombol, mereka melayang-layang di udara seperti anai-anai yang dihempas angin puting beliung. Kalau melihat bulir-bulir padi yang montok, mereka akan menukik turun seperti burung elang yang hendak menyambar anak ayam. Justru di situlah letak keindahannya. Gerombolan burung pipit itu seperti penari kolosal yang mempunyai keselarasan dalam gerak. Tanpa aba-aba tubuh melesat ke titik yang sama.
Burung murai batu yang bersuara indah pun tak bisa begitu. Mereka tidak lincah, hanya bersuara indah saja. Mungkin begitulah cara Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Burung yang indah tidak diberi kelincahan. Dan burung yang lincah tidak diberi keindahan. Seperti halnya pohon labu yang kecil diberi buah yang besar, dan pohon beringin yang besar diberi buah yang kecil.
Kendati sudah sering mendengar burung murai batu bersuara indah, sebenarnya Arung belum pernah melihat burung itu. Ia hanya tahu bahwa murai batu juga memiliki warna beragam dan menarik. Ukuran tubuhnya rata-rata sedang, kepala bulat, kaki agak panjang, paruh runcing dan ramping, dengan sayap agak lebar. “Pokoknya burung murai batu itu indah sekali. Harganya juga mahal karena langka,” cerita Wan Panyang.
“Langka itu apa?” tatap Arung bingung.
“Langka itu…” Wan Panyang berpikir. Bingung bagaimana harus menjelaskan definisi langka pada anak yang baru seminggu duduk di bangku sekolah dasar. Selain itu, ia juga bingung karena memang tidak bisa membuat sebuah definisi. Meski baru seminggu, Arung sudah makan sekolahan. Beda dengan dirinya yang malah tidak pernah sekolah sama sekali. Tapi biar bagaimana pun, anak kecil tetaplah anak kecil.
“Langka itu, ya langka. Tidak semua orang bisa menangkapnya. Harus punya keahlian khusus.”
Arung manggut-manggut. “Kalau gitu, Bang Wan bisa nangkap?”
Cepat-cepat Wan Panyang mengangguk. Burung kecil ini sudah masuk ke dalam perangkapnya. “Nanti Bang Wan tunjukkan bagaimana membuat perangkapnya. Murai batu bikin sarang di dahan pohon yang tidak terlalu tinggi.”
“Kapan kita buat perangkap?” tatap Arung dengan mata berbinar. Di dalam bolamata Wan Panyang yang berdiri menjulang di depannya, dia seperti bisa melihat ekor murai batu yang panjang, sayapnya yang berwarna-warni, dan kakinya yang kurus seperti kaki Wan Panyang. Anak-anak lain pasti sirik karena tidak ada di antara mereka yang memelihara murai batu. Bahkan Teungku Haji Muhammad Hamid yang memelihara banyak burung, belum memiliki murai batu. Kalau Haji Muhammad minta beli, apa harus diberikan ya?
Rencana Arung untuk memiliki murai batu semakin mendekati kenyataan ketika Wan Panyang mengajaknya memasang perangkap. Menurut Wan Panyang, di hutan kampung ia melihat sebuah sarang yang berbentuk cawan yang terbuat dari ranting kering. “Ukurannya tidak terlau besar tapi juga tidak kecil. Lokasinya tidak di pohon tinggi. Jadi itu memang sarang murai batu,” tutur Wan Panyang.
“Kapan kita ke sana?”
“Sekarang juga. Tapi jangan pernah cerita pada siapa pun. Murai batu itu mahal harganya. Nanti orang pada rebutan memasang perangkap. Kamu harus janji…”
“Saya berjanji!”
Mereka berangkat diam-diam melalui jalan memutar yang sempit dan jarang dilalui orang. Padahal kalau melalui jalan di pinggir sawah akan lebih cepat sampai ke hutan kampung. Tapi sekarang sedang musim panen. Banyak orang berlalulalang. Wan Panyang bilang, tidak boleh ada yang tahu mereka menemukan sarang murai batu. “Nanti repot!”
Arung percaya. Ia memang menyukai berbagai jenis burung. Tapi kini ia merasa lebih menyukai murai batu yang belum dimilikinya. Ia merasa murai batu akan menjadi peliharaan kesayangannya, mungkin juga paling dikagumi teman-temannya bahkan Haji Muhammad. Kalau Pak Haji ingin membeli, apa diberikan ya?
Mereka tiba di hutan kampung yang sudah tidak terlalu lebat lagi seperti dulu. Pohon-pohon tinggi sudah banyak yang ditebang. Batangnya untuk membangun rumah penduduk, sedangkan dahannya untuk kayu bakar. Banyak warga menggunakan kayu bakar kembali setelah minyak tanah susah didapat. Padahal,warga desa sudah hampir meninggalkan kayu bakar setelah mampu membeli kompor, baik yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau pun gas. Saat itu hanya tinggal lima atau tujuh kepala keluarga lagi yang masih menggunakan kayu bakar. Tapi jumlah itu kini bertambah lagi, pertanda masyarakat mundur ke belakang menjauhi kesejahteraan.
Sinar matahari dengan bebas menerobos masuk melalui sela-sela dedaunan dan jatuh di semak-semak. Hanya di beberapa tempat saja yang bebas dari cahaya matahari, membuat kesejukan di tempat itu kian terasa. Dan di situlah Wan Panyang membaringkan tubuhnya dengan dedaunan yang sudah mengering sebagai alas. Potongan pohon kedondong sebesar betis orang dewasa dijadikan sebagai bantal. Kemudian pemuda itu memelorotkan celananya.
Arung hanya memerhatikan dengan heran. “Mana burungnya?”
“Nanti dulu. Sekarang kamu tolong buat begini….” Sahut Wan Panyang sembari menggerak-gerakkan tangannya maju mundur dengan cepat di depan selangkangan. Seluruh celananya sudah turun sampai di bawah lutut.
Arung memandangnya malu. Tidak mengerti untuk apa Wan Panyang memerintahkannya berbuat begitu. Orang dewasa memang sering bertingkah aneh-aneh, pikir Arung sembari melakukan apa yang diminta Wan Panyang. Dia hanya ingin menyelesaikan tugas itu secepatnya dan segera mendapatkan burung murai batu.[]
Lhok Seumawe, Agustus 2007
I do not believe in the God of theology who rewards good and punishes evil.
- Albert Einstein
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit