Betapa sudah begitu jauh bergeser praktik gala di tengah-tengah masyarakat kita (Aceh khususnya) hari ini. Gala yang seharusnya menawarkan kemudahan bagi mereka yang membutuhkan, malah menjadi beban hutang yang seakan tidak berujung.
Sumber gambar : fjb.kaskus.co.id
Iya. Gala atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan gadai, merupakan sebuah praktik muamalah yang serupa dengan hutang. Hanya saja, dalam proses gadai diikutkan harta, baik berupa tanah, perhiasan, kenderaan atau barang bernilai lainnya, untuk dijadikan jaminan dari hutang tersebut.
Barang jaminan (borg) bisa dijadikan penebus hutang, bilamana pihak yang berhutang tidak mampu membayar atau mengembalikan hutangnya. Namun, sayangnya, praktik di tengah-tengah masyarakat kita tidak lagi demikian.
Gala Yang Berlaku Di Tengah Masyarakat
Setidaknya ada empat model transaksi gala yang penulis temukan yang berlaku saat ini. Pertama, barang jaminan hutang diambil manfaat oleh pemberi hutang. Tanah sawah misalnya. Tanah sawah yang dijadikan jaminan hutang diusahakan oleh pemberi hutang, tanpa sedikit pun membagi hasil dengan pemiliki sawah tersebut. Hal ini akan terus berlangsung sampai pihak yang berhutang mampu melunasi hutangnya.
Kedua, barang jaminan hutang diusahakan oleh pemilik, tetapi pemilik membayar sewa kepada pemberi hutang. Kembali kita ambil contoh tanah sawah. Tanah sawah yang menjadi jaminan hutang itu digarap oleh pemiliknya. Hanya saja, setiap panen, si pemilik sawah harus membayar sewa kepada pemberi hutang. Hal ini juga akan berlangsung sampai pemilik mampu melunasi hutangnya kepada pemberi hutang.
Ketiga, barang jaminan diambil manfaat oleh pemberi hutang. Tetapi keuntungan dari pemanfaat tersebut dijadikan pengurang dari hutang pemilik barang. Contohnya juga kita ambil tanah sawah. Tanah sawah digarap oleh pemberi hutang. Dan setiap panen, keuntungannya dijadikan pengurang hutang si pemilik tanah. Hal ini akan terus berlangsung sampai hutangnya lunas.
Keempat, barang jaminan diambil manfaat oleh pemberi hutang. Tetapi pemberi hutang membayar sewa barang kepada pemilik barang. Jumlah hutang tidak akan berkurang, sampai pemilik barang melunasi hutangnya. Contohnya kita ambil tanah sawah juga. Sawah yang menjadi barang jaminan hutang digarap oleh pemberi hutang. Tetapi setiap panen, pemberi hutang harus membayar sewa kepada pemilik tanah. Hal ini akan terus berlangsung sampai pemilik tanah melunasi hutangnya.
Transaksi gala model satu dan dua adalah transaksi muamalah yang menguntungkan satu pihak dan mendhalimi pihak lain. Pemberi hutang akan memperoleh untung berlipat dari pemanfaatan barang jaminan tersebut. Dalam jumlah dan waktu yang tidak terhingga sampai hutang itu lunas. Sedangkan pemilik barang jaminan hanya memperoleh keuntungan sementara saat berhutang.
Transaksi gala seperti ini hampir merata di seluruh Aceh. Termasuk Pidie. Di Pidie, ada transaksi gala tanah sawah yang sudah berlangsung puluhan tahun. Tanah sawah terus diambil manfaat oleh pemberi hutang. Ia terus memperoleh untung, tanpa sedikit pun mengurangi beban hutang si pemilik tanah.
Sedangkan transaksi gala ketiga dan keempat adalah transaksi muamalah yang diizinkan syari'at. Keduanya saling menguntungkan kedua belah pihak. Tanpa ada pihak yang diuntungkan semata-mata. Tidak terjadi proses memakan harta pihak lain secara dhalim.
Dalam hemat penulis, transaksi gala seperti ini (tiga dan empat) banyak terjadi di daerah Plimbang, Samalanga (Kabupaten Bireun) dan sekitarnya. Mungkin ada juga di daerah lain yang belum penulis jajaki.
Namun, secara umum, hampir seluruh Aceh proses transaksi gala yang berlaku adalah model pertama. Pemberi hutang terus menerus mengeruk keuntungan dari barang jaminan. Sementara pemilik barang tidak bisa berbuat apa-apa atas barang tersebut, sebelum barang tersebut ditebus.
Lantas, bagaimana dalam timbangan syari'at?. Dalam hukum Islam, para Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan pemanfaatan barang jaminan. Ada yang mengatakan haram, ada yang mengatakan boleh, bahkan ada yang memasukkan dalam perkara syubhat.
Kebolehan pemanfaatan barang jaminan harus didasari dengan dua syarat. Ada izin dari pemilik barang dan tidak termasuk dalam syarat aqad. Karena kalau disyaratkan saat aqad maka menjadi hutang yang menarik kemanfaatan, dan itu hukumnya adalah riba. Na'uzubillah.
Mari kita cermati, bagaimana proses gala yang berlaku di tempat kita? Adakah ia sudah sesuai dengan tuntunan syari'at? Setiap transaksi gala di tempat kita, secara serta merta barang jaminan seakan berpindah hak dari tangan pemilik ke tangan pemberi hutang. Lantas, dimana letak hutang piutang sebagai hukum muamalah yang saling bantu membantu?. Akhirnya, gala bukan menyelesaikan masalah dan memberi solusi. Tapi menyelesaikan masalah tanpa solusi. Masalah yang satu selesai, masalah lain muncul.
Lantas, jika gala dijadikan sebagai jalan untuk meraup keuntungan, maka apa bedanya dengan Gala Premier atau Gala Dangdut di bioskop-bioskop dan televisi?
Wallahu a'lam...
Seumantoh, Aceh Tamiang
18 Maret 2018
Congratulations @faridwajidi! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes received
Award for the number of upvotes
Award for the number of comments
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit