Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jamealah bagian tengah, tenggara, dan timur menggunakan bahasa gayo untuk bagian utara menggunakan bahasa alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang dengan kelompok etnis Klut yang berada di bagian selatan menggunakan bahasa Klutalah di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan masing-masing bahasa kedua hal tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang ada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian dibangun dalam naskah naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh Prof. Ibrahim Alfian sebagai naskah Hikayat Perang Sabil yang memiliki banyak versi dan satu dengan yang lain ada perbedaan dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Awal Aceh dalam sumber antropologi berasal dari asal usulnya berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang memiliki keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber sejarah narasi lainnya sedang terjadi pada penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk itu dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.
Budaya
Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar sedang berjalan antara lain melalui bahasa purba;
Budaya Lhee Reutoh (kaum / suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli.
Budaya Imeum Peuet (kaum / suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
Budaya Tok Batee (kaum / suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
Budaya Ja Sandang (kaum / suku) adalah para imigran India yang telah memeluk agama Islam.
Secara keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.
Sejarah Awal
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah kira sekitar 506 sampai 581 Masehi ada kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya atas Aceh Besarnya dalam Nāgarakṛtāgama di sebut sebagai Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramniakang dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut yang disebut Ilamuridesam pemberian juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran) saat itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan raja dilakukan Balaputera Dewa, yang penuh di Palembang,Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, jangkauan Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian dibangun Borobudur.
Sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang terlebih dahulu berada dibawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Jangka waktu demikian Sriwijaya baru berakhir pada tahun 1377.
Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang berada di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini dibangun oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama yang bernama Sultan Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.
Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304-1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah menceritakan tentang Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh tegas. Menurut Ibnu Batuthah, warga Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi'i.
Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.
Era Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersama dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang ada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu Malik al-Saleh.
Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada
Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh Jayanagara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yang diangkat oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Saat pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kuasa kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang saat mendengar dan melihat Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai, tapi Majapahit tidak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai karena di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 ralat Sriwijaya digempurnya, jadi habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yang penuh di Palembang ini.
Kesultanan
Era Aceh Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kuasa Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang mencakup wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, saat dibawah kuasa Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya bernyanyi bersama Sultan, Sultan imbuhnya Gunawan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Saat ini Gunongan masih bisa disaksikan dan dikunjungi.
Aceh melawan Portugis
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 saat Portugis dibawah pimpinan Afonso d'Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Saat Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dari pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607) Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.
Hubungan dengan Barat
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya kepada Sir James Lancester ke Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." Dan seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima niat baik "saudarinya" di Inggris dan di Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirimkan hadiah-hadiah yang berharga termasuk gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
"Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah yang menyita Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit sampai matahari terbit. "
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris berlanjut pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirimkan sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam itu sampai kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits - pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut niat baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke belanda. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadapi Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung begitu lamanya sehingga harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk mempertahankan hidup mereka. Lalu pada akhirnya saat mereka diterima oleh sang Sultan, mereka hanya tinggal tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam itu pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis ini semula menghidirikan sebuah cermin yang sangat bermanfaat bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin ini pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin ini sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Prancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana itu disebut Istana Dalam Darud Donya (sekarang Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Diue meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga berencana untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini sampai sekarang masih bisa dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus-menerus. Hal ini membawa kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut untuk membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Lepas, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 dierah adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah hadir untuk datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Datangnya pihak kolonial
Kesultanan Aceh yang terlibat perebutan kekuatan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh bertekad menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu ke Britania Raya.
Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatera kepada Belanda. Pihak Britania yang tinggal di Aceh adalah koloni mereka, hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania angin Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk menggantikan.
Perang Aceh
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda si daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail Lepas daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara dengan garis lintang Singapura. Selamat jalan kedaulatan Aceh
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat gempa Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini memang sudah Inggris, karena memang belanda bersalah.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan terhadap Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda diizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan Bergisi di Guinea Barat ke Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, gan Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Walikota Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun................................,
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Kalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sementara Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kuasa Kesultanan Aceh, dan serangan kawasan tersebut. Sultan Aceh dilengkapi para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Agustus Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka terhadap Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpinnya, diusahakan Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Pada tahun 1899 hal itu terjadi mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tapi Cut Nya 'Dien istri Teuku Umar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap mereka telah berhasil merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar menyerang mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk kegasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerja itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu rahasia rahasia untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang berada di Aceh adalah:
Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) bisa dicegah.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istri, anak juga ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian diluluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan memanfaatkan gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Cody, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, dan sebagai gantinya ditangkap oleh Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Panglima Polem Murah dan Lhokseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, membersihkan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuto Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya 'Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien bisa ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Surat tanda penyerahan
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah, yang isinya: Raja (Sultan) bergoyang daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia-Belanda. Raja tidak akan terjalin hubungan dengan kuasa di luar negeri. Berjanji akan memerintah seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai melakukan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian mengikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.
Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang menguatkan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah dan Jeunieb, pada tahun 1944.
Masa Republik Indonesia
di Aceh Republik Indonesia Serikat
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Hubertus Johannes van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh indonesia yang terdiri dari:
Negara RI, yang merupakan daerah status quo berdasarkan Perjanjian Renville.
Negara Indonesia Timur.
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatera Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat , Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Daerah-daerah Indonesia selebihnya bukan daerah-daerah bagian.
Sebagai gantinya, Aceh termasuk ke dalam Republik Indonesia, di mana Republik Indonesia adalah salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Dengan demikian, Aceh juga termasuk ke dalam sistem Republik Indonesia Serikat, bukan tidak berwujud sebagai negara bagian yang terpisah.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
Belanda di bawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Bapak Maan Sassen dan ketua Delegasi RIS Mohammad Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam pelaksanaan pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama , di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sementara di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Antonius Hermanus Johannes Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986).
Kembali ke Negara Kesatuan
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan DPRD dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Bapak Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah:
"Dengan lahirnja peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnyanja, maka lenjaplah kuasa Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tapi haruslah bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan negara.
Pegawai2 Negeri maulah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar hati membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan diadakan Sabotase, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjelamatkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dengan kuasa militer.
Kepada tuan2 bangsa asing yang maulah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah pemerintah nII mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena islam larangan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan ke seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil / Militer Atjeh dan Daerah sekitarnyanja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
"
Daud Beureueh menyerah
Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I / Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986).
Hasan Di Tiro mendeklarasikan Negara Aceh Sumatera
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh pada masa Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah: ".
"Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra mengajukan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah bangsa moyang negara kami, dengan ini decllarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh, Sumatera yang berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua Front Pembebasan Nasional Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra,
4 Desember 1976 "
"
Akhir konflik
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mendapatkan konflik berkepanjangan tersebut.
Pada tanggal 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan penyebab kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara yang terdiri dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yang terdiri dari Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh Barat dan Aceh Jaya. 4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno, Jakarta yang dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yang ingin dimekarkan wilayahnya, dan diteruskan dengan unjukrasa yang melaju lepasnya 11 kabupaten tadi dari Aceh.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya memiliki kesepakatan damai dengan konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.