Suatu hari di Banda Aceh.
"Eh, Hefa sedang cuci piring rupanya? Begitulah kalau Hefa yang nyuci piring, ga ada yang tau. Ga bunyi-bunyi. Orang ni mana ada. Suara piring beradu sampai ke depan."
Bunda, ibu mertua tercinta, mengomentari seraya membandingkan pekerjaan saya dengan adik ipar. Dipuji mertua itu menyenangkan sekali, tauuu?
Di belakang Bunda, Ipah, adik ipar pertama, muncul.
"Ipah nyucinya buru-buru, pingin cepat selesai. Kak Hefa lebih santai. Jadi bunyinya minimal."
Begitu lebih kurang klarifikasi dari Ipah.
Alhamdulillah, di keluarga ini, kami biasa membicarakan -bahkan berdebat- tentang apa saja dengan gamblang.
Lalu pagi ini, setelah melepas suami dan anak-anak berangkat sekalian, saya menyempatkan menyuci piring bekas sarapan sebelum berangkat ke kantor. Sendirian, telinga saya lebih peka menangkap bunyi. Klontang-klenteng, krang-kring saling seling kentara sejak piranti masak dan makan itu saya sabun, basuh, pindahkan ke wadah tampung sementara, sampai ketika menyusunnya di rak piring.
Sesaat saya berhenti. Pujian Bunda yang bukan sekali dua kali diucapkan di depan saya untuk kesenyapan saya saat menyuci piring di rumahnya berkelebat. Konfirmasi Ipah sekalian menyambar. Kenapa kejadian sekarang jauh panggang dari api ya?
Saya memutar kembali ingatan pada pekerjaan dapur yang memesrakan saya dengan berbagai piranti masak dan makan itu. Teringat, bagaimana saya khawatir mengganggu tetangga malam-malam dengan riuh rendah suara beradu antar piranti yang sedang saya cuci. Sedangkan pekerjaan itu tetap harus saya selesaikan malam-malam.
Usai agenda mengaji dan shalat 'isya bersama anak-anak, lalu makan malam keluarga yang selalunya lama, sebab banyak selingan. Ya canda, diskusi, cerita kejadian harian yang sejatinya menjadi waktu menguatkan ikatan cinta dalam keluarga. Maka tak jarang, jam 10 malam, barulah kegiatan beres-beres dapur itu bisa saya lakukan. Tak bisa menunggu besok subuh, karena agenda lain sudah menanti. Sudah terencana juga.
Sejauh ini belum pernah ada komplain memang dari tetangga, bahwa bunyi-bunyian dari dapur saya mengganggu istirahat mereka.
Ah, semoga karena mereka paham. Semoga juga itu hanya kekhawatiran saya belaka, sebab sejatinya keriuhan dapur itu tidak sampai menyentuh ruang dengar mereka. Manalah pula mereka merasa terganggu. Semoga.
Ingatan saya masih berbalik pada suatu pagi yang pecah oleh hamburan beling gelas berserakan akibat tergelincir lepas dari tangan saya yang sedang mengambil gelas-gelas itu untuk dituang seduhan minuman. Lalu ketika-ketika lainnya, saat tangan saya mengadu centong dengan tutup panci, atau piring dengan blender, yang semua berlatar seputar rak piring dan sinc di dapur.
Apa masalah saya sekarang?
Sepertinya buru-buru. Ingin cepat selesai. Dikejar waktu. Persis jawaban ipar saya waktu itu.
Satu lagi mungkin. Ini rumah sendiri. Dapur itu wilayah kekuasaan saya sendiri. Sehingga saya lebih bebas bekerja bagaimana suka.
Entahlah. Yang pasti keributan efek adu piranti itu tidak saya sukai. Dan benar, pekerjaan yang menuntut diselesaikan jauh lebih banyak dari waktu yang tersedia. Terutama di sini, di wilayah perantauan kami ini. Nyaris segala hal harus kami selesaikan sendiri. Sedangkan di Banda sana, segala bantuan mudah tersedia.
Maka Kawan, janganlah terlalu bangga dengan satu pujian. Apalagi sampai tinggi hati, menganggap diri lebih baik dari yang lain. Sebab bisa jadi, keberadaan orang lain di sekitar kita itu yang menyebabkan kita dipuji.
Perhatian dan pengawasan mereka terhadap anak-anak kita, pekerjaan rumah yang mudah dibagi, apalagi hanya kita lakukan sesekali untuk menyenangkan saja, sungguh meringankan beban kita. Menjadikan kita merasa santai dan memiliki banyak waktu luang. Tapi yang mereka dapatkan justru perbandingan-perbandingan yang tak jarang menjatuhkan.
Begitulah kehidupan, Kawan. Kejadian demi kejadian saling berikatan. Segalanya menurut aturan Tuhan. Apalah yang patut kita sombongkan?
Abaikan saja jika foto dengan tulisan tidak sejalan 😊
(Takengon, 8 Oktober 2018. Pagi ini seakan begitu penuh hikmah.)