Malahayati adalah panglima dari Inong Balee, armada pelayaran beranggota para janda pejuang Aceh yang gugur di pertempuran Selat Malaka. Meskipun prajuritnya para janda, armada pimpinan Malahayati sangat tangkas di bidang militer. Mereka menyusun sistem pertahanan yang kuat di daratan maupun lautan. Mereka memiliki benteng di Teluk Lamreh Kraung Raya dan 100 kapal.
Ketangguhan Malahayati dan pasukannya membuat armada Portugis bisa dipukul mundur di abad 16. Mereka juga berhasil menggugurkan utusan Belanda, Cornelis de Houtman pada tanggal 11 September 1599.
Dipilih sang raja, disegani kaum pria
Walaupun seorang wanita yang hidup di zaman kuno di mana para lelaki mendominasi, Malahayati mampu mendapatkan penghormatan yang layak dari para pria. Dia bahkan ditunjuk secara langsung oleh Sultan Alauddin Mansur Syah untuk menjadi laksamana pertamanya. Saat itu Aceh sedang ketat-ketatnya menjaga perairan Selat Malaka agar tak bernasib sama seperti tetangganya yang jatuh ke tangan Portugis. Konon para jenderal dan pasukan pun menaruh hormat kepada perempuan ini.
Bikin Belanda minta maaf
Setelah Portugis, Aceh harus menghadapi upaya invasi dari Belanda. Setelah armada pimpinan Cornelis de Houtman berhasil dikalahkan oleh Malahayati, giliran pasukan Paulus van Caerden yang mencoba menerobos perairan Aceh pada tahun 1600. Mereka menjarah dan menenggalamkan kapal bermuatan rempah, membuat raja Aceh naik pitam.
Tantangan ini dijawab Malahayati dengan memerintahkan penangkapan Laksamana Belanda, Jacob van Neck pada tahun 1601. Perlawanan sengit dari armada Malahayati dan ancaman Spanyol membuat Belanda menyerah. Penguasa negeri kincir, Maurits van Oranje mengirim utusan diplomatik beserta surat permintaan maaf kepada Kerajaan Aceh. Kedua utusan tersebut ditemui oleh Malahayati sendiri dan berbuah kesepakatan gencatan senjata. Belanda setuju membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden, sementara Malahayati membebaskan sejumlah tahanan Belanda yang ditawan pasukannya.