KETIKA pulang dari banda aceh, saya menyempatkan diri berziarah ke makam Tuanku Hasyim Banta Muda di Masjid Tuha, Padang Tiji, Kab Pidie. Pusaranya sangat sederhana. Tak ada tanda tanda jika yang terbaring di sana adalah seorang tokoh besar, seorang ulama , patriot sejati yang hidupnya hanya untuk jihad demi mempertahankan kedaulatan Aceh dari rongrongan belanda.
Tuanku Hasyim Banta Muda, anak Gampong Lambada Lhok, Aceh Besar, dilahirkan tahun 1834. Dia kerabat kesultanan Aceh. Dua kali dia diminta menjadi sulthan Aceh, namun menolak dengan bijak dengan kalimat “Lebih senang menjadi rakyat biasa daripada menjadi Sultan Aceh.” Kepribadian mulia keturunan diraja Aceh ini sangat jarang dibahas dlm sejarah aceh.
Pada tahun 1850, Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi wali (gubernur) sultan Aceh untuk wilayah Sumatra Timur. Ini mencakup mulai Simpang Ulim, Tamiang, Serdang dan Deli, menggantikan peran ayahandanya Tuanku Abdul Kadir yang mangkat dengan bermarkas di Pulau Kampai (Langkat). Keberhasilannya menyatukan kembali Sumatera Timur ke wilayah kerajaan Aceh dan memukul mundur Belanda di sana, menyebabkan beliau diangkat menjadi Panglima Besar Aceh pada 1853.
Wali Negara
Pada tahun 1870 timbul kegoncangan dalam pemerintahan Aceh. Sultan Alaidin Ibrahim Syah wafat, sedangkan pengganti baginda belum ada yang dapat bertanggung jawab atas kelangsungan pemerintahan Aceh. Sementara itu, Belanda berhasil meyakinkan Inggris untuk meninjau kembali London Treaty 1824 yang salah satu pasalnya menjamin kedaulatan Kerajaan Aceh atas wilayahnya dari rongrongan Belanda. Perjanjian baru Sumatra Treaty 1870 ditinjau ulang, dimana Inggris tidak akan campur-tangan bila Belanda menyerang Aceh, padahal sebelumnya antara Inggris dan Aceh telah memateraikan perjanjian “Pidie Treaty” dimana Inggris akan membantu Aceh bila mendapat serangan dari pihak luar.
Termaterainya Sumatra Treaty (1870) setelah para diplomat Belanda berhasil meyakinkan Inggris bahwa kepentingan bisnisnya di Aceh tidak akan terganggu dan Belanda menyerahkan jajahannya di Afrika yakni Gold Coast (Pantai Gading) kepada Inggris.
Menghadapi ancaman Belanda yang melakukan “tukar-guling” kuasa dengan Inggris tersebut, para tokoh politik Aceh, seperti Panglima Polem Muda Kuala, Tgk Imum Luengbata, Panglima Mesjid Raya, dan para ulama bermusyararah untuk mencari pengganti sultan dari keluarga sultan yang punya wibawa dan kharisma. Maka diputuskan bahwa pengganti Sultan Alaidin Ibrahim Syah adalah Tuanku Hasyim Banta Muda.
Setelah disampaikan hasil musyawarah itu, ternyata Tuanku Banta Muda menolaknya. Bahkan beliau menunjuk calon lainnya yakni Mahmud Syah yang masih belia untuk menjadi sultan.
Hasyim lebih senang tetap menjadi Panglima Besar Aceh dan menyusun strategi menghadapi musuh daripada duduk bersila di atas tahta kerajaan. Akhirnya Mahmudsyah diangkat menjadi sultan. Sedangkan Hasyim bertindak sebagai wali negara, sambil membimbing Sultan Mahmudsyah.
Pada masa Mahmudsyah inilah Belanda menyatakan proklamasi menyerang Aceh pada 26 Maret 1873 dengan agresi pertama yang gagal, bahkan Panglimanya Jenderal Kohler tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Pada saat agresi kedua bulan Januari 1874 yang dipimpin Van Swieten, kesultanan Aceh dapat diduduki Belanda dalam keadaan kosong. Ternyata, Hasyim yang piawai bertindak cepat menyelamatkan lambang pemerintahan Aceh Sultan Mahmudsyah ke Lueng Bata, tetapi di sana Mahmudsyah menghembuskan nafas terakhir, terkena kolera, virus kuman yang disebarkan oleh Belanda saat itu.
Untuk mematahkan perlawanan kerajaan Aceh, Belanda terus berusaha menghubungi keluarga sultan untuk diangkat sebagai bonekanya, tetapi gagal. Di pihak lain, Panglima Polim Muda Kuala bermusyawarah dengan Panglima-Panglima seperti Panglima Nyak Makam dan Ulebalang-Ulebalang dan para ulama seperti Tgk Syik Tanoh Abee, Tgk Syik Empee Trieng (Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi pengarang Tajul Muluk) untuk mengangkat pengganti Sultan Mahmudsyah.
Para tokoh pejuang itu kembali menyepakati untuk menunjuk Tuanku Hasyim Banta Muda untuk mengganti Sultan Mahmudsyah. Namun, beliau tetap menolak hasil mufakat ini. Bahkan beliau menunjuk Muhamad Daudsyah untuk diangkat menjadi sultan yang masih berumur tujuh tahun. Beliau bersedia menjadi wali negara sampai sultan dewasa.
Upacara pengangkatan Muhammad Daudsyah ini dilakukan secara sangat khidmat di Masjid Indrapuri. Dan Tuanku Hasyim terus mendampingi dan membimbing Muhammad Daudsyah dengan menanamkan semangat jihad melawan Belanda.
Hasyim sejak itu memindahkan ibukota Aceh dari Kuta Raja ke tempat yang aman di Keumala Dalam, Pidie, bersama dengan para tokoh Aceh lainnya seperti Tuanku Mahmud Bangta Keucik. Sedangkan Tuanku Itam diminta membantu Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman dan Tgk Tanoh Abee memperkuat pertahanan Aceh di kawasan Aceh Besar. Sementara Teugku Imeum Lueng Bata tetap bersama Hasyim di Keumala.
Setelah Teungku Chik di Tiro Muhamad Saman dan Panglima Polim Muda Kuala tutup usia pada tahun 1891 M, Belanda mencari jalan melunakkan Tuanku Hasyim untuk mengakhiri peperangan dan mengutus Raja Ismail bin Raja Abdullah dari Selangor dengan membawa surat Sultan Abubakar dan Johor. Utusan ini mengharapkan agar persoalan Aceh dan Belanda dapat diselesaikan secara damai. Selangor dan Kedah bersedia menjadi penengah. Tapi, usul ini ditolak oleh Tuanku Hasyim. Ia tetap pada pendiriannya, tidak mau berdamai dengan Belanda.
Ketika Sultan Muhamad Daud Syah dianggap sudah mampu memegang pimpinan pemerintahan Aceh, maka pada tahun 1894 Hasyim beserta keluarganya meninggalkan Keumala Dalam dan pulang ke Reubee. Kemudian dalam tahun 1896, beliau menetap di Padang Tiji sambil terus mengatur strategi perang melawan Belanda yang telah menjajah negerinya, sampai beliau menghembuskan napas terakhir pada Jumat, 22 Januari 1897. Hasyim dimakamkan di Masjid Tuha Padang Tiji, Kabupaten Pidie.
Itulah sekilas sosok mujahid Tuanku Hasyim Banta Muda. Ulama zuhud yang menolak tahta dan jabatan, demi persatuan dan martabat bangsanya. Beliau memilih jalan sunyi dengan kebersahajaan hingga akhir hayat.
Seperti penggalan hadih maja yang diucapkannya, “Nibak muparak, gèt tameutoë, aman nanggroë, ma’mu bangsa.” Itulah bedanya dengan situasi sekarang, “muparak (berpisah)” lebih diutamakan daripada “tameutoë (mendekat)”, sehingga kawan bisa menjadi lawan hanya untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya, yang selama ini lawan bisa menjadi sahabat, juga dilandasi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Rakyat Aceh sekarang butuh tokoh seperti Tuanku Hasyim Banta Muda. Kecendekiawan, kearifan, dan kepemimpinannya sudah pantas menjadi contoh bagi generasi muda saat ini.
Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://baranom.wordpress.com/2013/04/25/panglima-yang-menolak-tahta/
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit