Dua orang pendekar muda-mudi berdiri di ujung tebing bukit yang terang, karena siraman sinar sang rembulan. Sang Pendekar tampan berdiri disamping kiri pendekar jelita, sambil menengadah melihat sang rembulan yang bercahaya terang. Tak berapa lama kemudian alihkan pandangannya pada sang pendekar cantik jelita yang berdiri di sampingnya itu. Mulutnya yang terkatup sedari tadi, mulai terbuka ajak bicara sang pemudi untuk pecahkan rasa hening yang merindu itu.
"Siao Mei. maafkan aku tak bisa ungkapkan secara terus terang akan rasa cintaku padamu," sebuah kalimat pemecah keheningan dari sang pendekar tampan itu. Ia mendekap dadanya untuk menahan rasa perih akibat asa asmara yang terhalang, terlihat di pinggangnya ada dua bilah trisula yang terselip di sana. Terasa aura rasa cinta tak tersampaikan yang muncul dari sorot matanya.
Sang pendekar jelita itu membalas pandangannya dengan penuh kasih. "Aku tahu itu suheng (kakak seperguruan), perguruan kita melarang adanya ikatan cinta diantara para muridnya," sang adik seperguruan yang cantik itu berbicara sambil tertunduk sedih. Mereka tahu bahwa cinta mereka tak akan bersatu selama berada dalam satu perguruan, kemudian suasana hening kembali muncul diantara rasa merindu asmara mereka.(hpx)