Sabtu pagi itu, aku bangun dengan perasaan campur aduk. Aku menerima undangan pernikahan teman semasa SMA, Dita, beberapa minggu lalu. Setelah bertahun-tahun tak berjumpa, akhirnya ada kesempatan untuk bernostalgia bersama teman lama. Aku mengenakan baju warna jingga terbaikku dan segera berangkat menuju tempat acara digelar.
Sesampainya di sana, suasana langsung terasa akrab. Musik gamelan mengalun lembut, tamu-tamu berseliweran dengan senyum hangat, dan dekorasi bunga-bunga putih memberikan sentuhan elegan. Aku segera menemui Dita dan suaminya di pelaminan. Wajahnya terlihat bahagia, bahkan lebih cantik dari yang aku ingat. Kami sempat berbincang sebentar, meskipun aku sadar ia sibuk menyambut tamu lain.
Setelah memberi selamat dan berfoto, aku menuju meja prasmanan. Saat sedang mengisi piring dengan rendang dan sate, tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat familiar. Kamu masih suka makan banyak ya, sama seperti dulu, Aku menoleh, dan di sana berdiri Wahyuni, teman sekelas yang dulu selalu ceria.
Aku terpaku sejenak. Wahyu, Astaga, ini beneran kamu? tanyaku setengah tak percaya.
Dia tertawa kecil sambil mengangguk. Iya, ini aku. Lama banget ya kita nggak ketemu!
Kami langsung larut dalam obrolan panjang. Wahyuni bercerita tentang kehidupannya setelah SMA: bagaimana dia melanjutkan kuliah di kota lain, bekerja, dan sekarang kembali ke kampung halaman. Aku juga berbagi cerita tentang keseharianku, termasuk hobi baruku memelihara burung.
Aku ingat, dulu kamu nggak suka binatang. Sekarang pelihara burung? Wahyuni menggoda sambil tertawa.
Iya, gara-gara ketularan teman juga, jawabku sambil tersenyum.
Obrolan kami berlangsung lama, hingga tanpa sadar acara hampir selesai. Meski waktu terasa singkat, pertemuan itu membawa banyak kenangan dan kehangatan. Sebelum berpisah, kami saling bertukar nomor telepon dan berjanji untuk tidak membiarkan waktu memisahkan lagi.
Hari itu, pesta pernikahan Dita menjadi lebih dari sekadar perayaan cinta. Itu menjadi ajang reuni kecil yang penuh kejutan dan kebahagiaan.