by; adzilikram
SEANDAINYA KAU seorang yang buta dan tuli, mungkin kau juga akan bisa merasakan bulan Ramadhan datang. Dengan cara mencium aromanya, kekhasan yang tersembunyi di dalamnya? Tapi, kau bukan seorang yang buta dan tuli. Kau mendengar suara toa-toa masjid dan sirene dipersiapkan. Lantunan ayat Allah dari bale atau masjid mulai terdengar pada malam hari dan melihat lapak-lapak jualan mulai dipasang dipinggir jalan. Hatimu syahdu dan segera kau teringat rumah. Sayang, kau tak bisa pulang merayakan makmeugang di kampung halaman.
Sebulan yang lalu, tepatnya sebelum Ramadhan tiba, kau pamit dari kampung, kembali ke perantaun untuk menyelesaikan studimu. Kampus kembali dibuka, setelah dunia melewati masa sulit menghadapi virus Corona. Namun kau, sebagaimana kita semua, tak benar yakin masa sulit itu akan berakhir. Di sana, kau akan melakukan sebuah pengabdian dan penelitian kepada masyarakat di sebuah mukim. Alasan itu yang membuatmu tak bisa pulang ke kampung halaman dan menikmati danging rendang masakan ibu, atau sup buntut buatan kakamu.
Ah, sejujurnya kau bahagia jauh dari rumah. Di rumah tak ada ruang untuk menyendiri. Keadaan rumah yang tenang bisa berubah jadi bising dalam waktu yang singkat. Ibu berteriak menyuruhmu apa saja atau ayahmu mempertanyakan, mengapa kau betah di kamar? Sekali-kali, kau mendengar pertengkaran ayah dan ibumu. Kau benci kebisingan. Kau benci nada-nada kasar yang selalu dimainkan di rumah itu. Sejak umur 13 tahun, kedua orang tuamu menjauhkanmu dari rumah. Kau dikirim ke sekolah berasrama di Kota Langsa.. Lalu, selepas dari sana, kau merantau ke Kutaraja. Jadi, kau tak banyak menghabiskan waktu di rumah. Kau sadar, orang rumah belum mengerti siapa dirimu yang sekerang, yang bukan bocah 13 tahun lagi. Perlahan-lahan, kau menjelaskan siapa dirimu, tapi percuma. Itulah alasan, mengapa ketika pandemi datang, kepalamu ingin pecah ketika di rumah.
Maka, tahun ini adalah pengalamanmu merayakan makmeugang di luar rumah pertama kali. Kau senang karena jauh dari rumah yang bising itu, namun, Ramadhan membawa rindu yang lain, yang tak dapat kau jelaskan. Maka, yang kau lakukan adalah membeli sebungkus rendang di warung nasi, memotretnya dan mengirimnya ke ibumu, lalu kau berbohong; bahwa rendang itu pemberian tetangga. Kau terpaksa berbohong, agar orang rumah tak perlu mengkhawatirkanmu. Atau seharusnya kau tak berbohong?
Dua jam lagi, seluruh masjid di kota akan melaksanakan salat Tarawih. Dan kau sedang duduk di barisan meja depan swalayan 24 jam—tidak jauh dari mukim tempatmu mengabdi dan meneliti. Matamu memandang ke arah jalan. Perlahan langit gelap. Dengan sedikit usaha ekstra kau membuka tutup kaleng soda itu. Sejurus kemudian kau membakar rokok, mengapitnya di antara dua jari, memutar-mutar hingga jarimu terbakar. Matamu kembali memandang ke depan. Kau melihat seekor kucing kecing di ban sepeda motormu. Sial! Kau memaki. Kau bertanya-tanya, apakah ini bulan yang sial untukmu?
Seorang wanita keluar dair swalayan itu. Ia duduk di sampingmu, membuka tutup botol dan memakan roti coklat panjang itu.
“Mau?” ia menawarkanmu roti. Kau terkejut, karena tak mengenali wanita itu.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Serius kau tak mengenalku?”
“Maaf, kita mungkin pernah bertemu, tapi….”
“Astaga, kita sudah seminggu di kampung yang sama, meneliti bergotong royong...coba lihat wajahku dalam-dalam…hahah”
Kau menepuk jidatmu dan mengutuk dirimu. Tentu kau mengenal dia. Dia Asya. Ia juga ditempatkan di mukim yang sama dengamu. Kau melihat lama ke wajahnya yang cantik itu. Ada petikan dari dalam dirimu yang tak bisa kau kendalikan, sehingga matamu tak bisa berpaling darinya. Asya kelihatannya mulai malu ditatap seperti itu. Tapi, kau segera sadar, jika ia mulai merasa risih dengan tatapanmu itu.
“Ini pertama kali aku mengenalmu, Asya,” katamu, “selama ini kau tidak pernah membuka masker.”
“Pernah. Kamu saja tidak memperhatikannya.”
Kalian bercakap-cakap di sana. Ia sempat membahas tentang rumah yang dirindukannya, beserta orang-orang di dalamnya yang harmonis, hidup dengan dukungan. Malam itu, selain kau merindukan kampung halaman, kau juga jatuh cinta pada Asya. Kini, kau dapat merasakan petikan yang semakin kencang dari dalam dirimu.
Kau menanyakan pada diri sendiri, apakah pantas kau merayakan hari kemenangan nanti? Kau tak pernah tarawih, tadarus atau ibadah lainnya, kau hanya berpuasa. Sementara Ramadhan tersisa 13 hari lagi, kau tak sekalipun ke masjid. Hari-harimu sibuk dengan kertas-kertas dan layar.
Oh ya, kau sedikit tampak bahagia. Selama di mukim itu, kau tak pernah berhenti berbicara dengan Asya. Ia merasa nyaman berbicara denganmu. Kau menghargai setiap ucapannya, mendengar dengan teliti. Bila punya masalah kau bantu cari solusi. Kau juga merasa kekeluargaan yang ada di mukim ini. Kadang-kadang, kau merasa harus segera pulang dan merawat rumah. Tapi, rumah itu terlalu bising untukmu. Semua teman-temanmu, sudah menjadwalkan untuk pulang. Kau belum tahu kapan pulang. Hingga Asya menanyakannya padamu.
“Sepertinya aku merayakan kemenangan di sini,” jawabmu
Asya menatapmu heran. Ia segera tahu bahwa kau sedang ada masalah dengan rumah. Dan sesungguhnya, kau bisa membaca raut wajahnya yang penasaran dan ingin bertanya. Selepas pekerjaan kalian di mukim, kau bercerita tentang rumahmu yang bising. Asya sedih mendengarnya, dan merasa bersalah karena memaksamu bercerita. Sesungguhnya, kau senang, karena kalian jadi lebih dekat. Dari obrolan itu, kau tahu, mungkin sudah saatnya untuk mengatakan perasaanmu.
Besok Sabtu, dan Ramadhan akan berlalu delapan hari lagi. Pekerjaan kalian di mukim hari itu tak terlalu berat. Kau berencana mengatakannya pada Asya hari itu. Kau siap untuk yang terburuk. Kau mencuri-curi kesempatan agar bisa mengajaknya berkeliling kampung. Tapi, tawa di bale tak bisa membuat siapapun beranjak, termasuk dirimu. Ah, kau tertawa lepas hari itu, bahkan lupa rencana awalmu.
Tawa lepas tawa, kau menerima pesan dari rumah, lebih tepatnya ibumu. Pesan itu membuat tawamu terhenti. Kau beranjak dari bale, menjauh dari teman-temanmu. Kau menelpon kakakmu, menanyakan, apa yang sebenarnya terjadi di rumah. Kakakmu, menyarankanmu agar segera pulang, jika persoalan kampus telah selesai. Tawa di bale makin kencang. Kau segera bergabung dengan mereka. Hatimu kacau. Raut wajahmu berubah. Tawa palsu. Hanya Asya yang bisa melihat itu. Kini, ia tak terlalu penasaran. Kau tak jadi mengatakan perasaanmu pada Asya.
Ah, kau sudah menduga hal ini pasti akan terjadi di rumah. Kau marah karena waktunya tidak tepat. Kau terpaksa pulang lebih awal dari teman-temanmu. Menyuruh mereka menyiapkan berkasmu penelitian dan pengabdianmu. Oh, Asya yang mengurusnya.
Tuhan memberi jawabannya atas pertanyaanmu. Kau bisa merayakan kemenangan tapi ada keadaan yang harus kau kendalikan, agar kau tidak gila atau lain-lain. Kau tiba di rumah. Rumah sepi. Kau menunggu lama pintu dibuka. Dengan matanya bengkang, kakakmu membukakan pintu dan langsung memelukmu. Kau menanyakan di mana ibu? Di mana ayah?
“Tidak ada. Sudah pergi. Meninggalkan rumah.”
Kau tetap merayakan lebaran dengan lapang dada. Menyingkirkan semua masalah. Marasa bahwa ini adalah penderitaan terakhir. Tapi, tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu.
Kau dan kakakmu menyaipakan lontong, membuka pintu dan menjawab semua pertanyaan tetangga tentang ayah dan ibu. Sampai kau muak dan menutup pintu lalu pergi ke warung kopi. Di sana, kau mengabari Asya, mengucapkannya selamat lebaran. Kalian mengobrol panjang dan ia menanyakan tentang raut wajahmu yang tiba-tiba sedih saat di bale.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
“Kedua orangtua pisah. Aku dan kakaku gak tau mereka di mana sekarang. Kata kakaku, ibu pergi setelah ayah menalaknya. Malamnya, kakakku melihat ayah pergi.” Jawabmu.
“Ahhh, sudahlah, lupakan, yang penting rumah itu tidak bising lagi kan?”
Setidaknya Kau masih bisa jatuh cinta, dan ada aroma kemenangan dalam jejak kekalahan di rumah yang bising.
I like this👍 good job, bro!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Akhirnya AdLi muncul di kontes plg bergengsi ini, luar biasa.. 👍
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Selamat atas pemenang ke tiga @adzilikram🍷🍷Selamat hari kemenangan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Senyap hingga ke ujung, @adzilikram
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit