Sebenarnya ini sudah bosan untuk saya bahas. Namun, saya menemukan lagi kejadian bagaimana makna kritik direduksi. Kritik seolah-olah sebuah kata yang menakutkan dan rendah. Kita masih menempatkan kritik sebagai sebuah yang liyan. Baru bisa mengkritik ketika kita sudah pintar, padahal baru bisa kita mengkritik jika kita sudah paham bangunan argumen atau bangunan pikiran orang lain yang ia sampaikan lewat bahasa (tulisan atau ujaran), atau sebuah sistem. Namun, kritik justru ditempatkan pada posisi yang sama dengan nyinyir, menghina, dan sebagainya. Seolah-olah kita tidak dianjurkan untuk mengkritik sebelum kita memperbaiki diri sendiri, karena setiap orang punya agensinya masing-masing, ini jelas menentang dengan teori bahwa kita adalah makhluk sosial. Setiap hari kita berhubungan dengan orang lain (dalam antroposentrisme), dan juga dengan alam (biosentrisme), serta hewan (animosentrisme).
Dengan demikian kita selalu harus memperbaiki setiap celah atau lubang kesalahan itu agar kehidupan kita bergerak maju ke arah yang baik. Lubang itu tidak akan kita temukan sendiri, hanya orang lain atau makhluk lain yang bisa mmelihat hal tersebut. Penjelasan yang rumit, misalnya bagaimana sistem sosial yang kita bangun (atau kita teruskan) sekarang itu sangat condong ke sistem patriarki (sebuah sistem yang menempatkan jenis kelamin laki-laki sebagai sudut pandang, atau pusat tempat semua berjalan). Maka dari itu perlu kritik terhadap sistem tersebut agar kita bisa mencoba sudut pandang baru dalam kehidupan (tidak menempatkan lelaki sebagai pusat).
Lainnya, masih dalam bahasan sebuah sistem, kita cenderung menempatkan manusia sebagai pusat dalm setiap langkah (kebijakan, misalnya). Mengutamakan manusia dalam setiap pengambilan keputusan, tanpa melihat hal yang merugikan alam dan binatang. Oleh karena itu perlu kritik atas bangunan sistem yang cenderung antroposentris tersebut. Pada contoh yang lebih sederhana, kita setiap hari melakukan aktifitas bahasa (yang tentu saja ada proses abstraksi otak yang memunculkan langue). Sistem bahasa kita juga tidak lepas dari kekurangan yang bisa jadi objek kritik lawan bicara kita. Hal tersebut sangat tidak masalah, karena kita coba bangun sebuah sistem bahasa atau lebih tepatnya sistem berpikir yang terus berkembang baik.
Ada aturan dalam logika untuk mengkritik lawan bicara, yang mungkin saja tidak boleh dilakukan oleh kita. Jika tidak kritik itu tidak dapat dinamakan kritik, misalnya; menyerang pribadi lawan diskusi, membuat argumen sendiri kemudian menempatkan argumen tersebut kepada lawan bicara dan kita terus menghajar argumen itu yang sebenarnya prasangka kita kepada lawan bicara, dan lain-lain. Ini jelas bukan kritik, tapi menghina. Maka dari itu, kritik itu adalah hal positif, bukan sesuatu yang negatif.