“So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of it street contain abaout 500 honderd moneychanger.” -- Ludovico di Varthema.
Prof DGE Hall dari Inggris, dalam bukunya A History of South East Asia, mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.
Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said dalam Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah pada abad tersebut Pidie, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.
Malah Vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. Ia menulis So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger.
Lukisan suasana perkampungan di Pidie pada masa lalu [sumber: Collectie Tropenmuseum]
Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang mempelajari Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentang dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.
Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya Strict Administration of Justice.
Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.
Riwayat Pidie awalnya dikenal sebagai negeri Poli, kemudain berubah menjadi Pedir, dan kini dikenal dengan nama Pidie. Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.
Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tinggal di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian.
Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut HM Zainuddin dalam bukunya Tarikh Aceh dan Nusantara disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.
Silsilah raja di Poli atau Pedir tidak begitu jelas. Namun Zainuddin menyebutkan di Kampong Klibeut terdapat makan rja-raja diantaranya makan Sultan Ma’ruf Syah, anak dari Sulaiman Nur, yang mangkat pada tahun 916 H. (1511 M) dan Kampung Sangeue dekat Mesjid Raja Pidie (Labuy) terdapat satu makam Putroe Balee, yang mangkat pada tahun 970 H (1588 M).
Makam-makam ini serupa dengan makam raja-raja yang terdapat di Pasai, Aceh Besar, Daya dan Gresik (Jaya), terbuat dari batu pualam bertulis huruf Arab dan batu-batu nisannya ini di datangkan dari Negeri Hindi dan ada yang di perbuat di Meuraksa (Ulee Lheue). Karena itu pula menurut para ahli purbakala, Kerjaan Poli/Pedir serupa dengan kerajaan Pasai (Aceh Utara) dan kerajaan Lamuri (Aceh Besar)
Peresmian jalur kereta api Lameulo pada masa kolonial [sumber: Collectie Tropenmusuem]
Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.
Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.
Selanjutnya dengan senjata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.
Negeri Pidie pada zaman dahulu adalah kerajaan yang berbatas dari Kuala Batee sampai ke Kuala Ulim, meliputi Meureudu. Tentang susunan tatanegaranya tidak deketahui dengan jelas, akan tetapi setelah kerajaan Pidie bubar atau takluk kepada Sultan Aceh kemudian mendapat negeri-negeri yang diperintah oleh Bentara, Keudjruen, Mentroe dan Imeum.