Kutengok-tengoklah orang berpuisi. Ada yang yang suka bunyi, lain orang memilih makna. Ada yang menganggap makna sebagai penjara, sementara bunyi jadi pembebas.
Lawan di seberang berpikir sebaliknya. Jadi bingung hendak memilih yang mana. Keduanya gratis dan sering tak sampai pesannya. Sastra belum sampai dimana-mana, masih jadi pemuas daulat Tuan, belum jadi penguat semangat hamba. Puitisme telah dirampok iklan!
Puisi bisa jadi hanya seni merangkai kata, isi atau gagasan tak penting dibicarakan. Pencapaian puisi kadang ditentukan dari kemampuan penyair dalam mengolah bentuk-bentuk kata menjadi apa yang disebut puitis atau bersanjak. Bila puisi hanya demikian, puisi tak lebih hanya keterampilan kriya. Haruskah puisi hanya bernilai dari bentuk, dari kemasan?
Soedalah bung, penyair memang tak bisa dipercaya!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit