Seperti tercatat dalam buku-buku sejarah, Bung Karno menempati rumah pengasingannya di Bengkulu pada 1938-1942. Bung Karno menjejakkan kaki di Bengkulu pada 14 Februari 1938. Sebelumnya, bersama istrinya, Inggit Garnasih, anak angkatnya, Ratna Djuami, Bung Karno berlayar dari tempat pembuangannya di Flores ke Pulau Jawa. Bung Karno hanya seorang diri ketika tiba di Bengkulu. Keluarganya baru menyusul beberapa minggu kemudian. Ketika rumah pengasingannya sedang diperbaiki, Bung Karno sempat ditempatkan di Hotel Centrum.
Rumah pengasingan yang ditempati Bung Karno sekeluarga adalah milik pedagang keturunan Tionghoa, Tjang Tjeng Kwat. Seperti pernah ditulis oleh Adhitya Ramadhan di Kompas.com (https://travel.kompas.com, 08/10/2013), pada tahun 1940-an, rumah dengan dua kamar tidur itu berada agak di pinggir kota. Dahulu, Bengkulu dipilih sebagai lokasi pengasingan Bung Karno karena aksesnya yang sulit dan terpencil. Namun, seiring perkembangan kota, rumah pengasingan itu kini persis berada di jantung Kota Bengkulu. Suatu saat, di rumah pengasingan itu, Bung Karno bersama Inggit Garnasih menjamu keluarga Hassan Din, tokoh Muhammadiyah asal Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Ketika itulah, seperti ditulis Adhitya Ramadhan, untuk pertama kali Bung Karno melihat gadis belia putri Hassan Din bernama Fatmawati. Di rumah itu juga pada akhirnya Fatmawati ikut menumpang. Tak perlu waktu lama, Fat, begitu ia dipanggil, menjadi sahabat Ratna Djuami. Kemudian. Bung Karno pun menaruh hati pada Fatmawati dan akhirnya menikahinya. Dari pernikahan ini Bung Karno dikaruniai 2 putra dan 3 putri, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Meskipun hanya satu episod sejarah Bung Karno, tentu para penyair calon peserta FSB 2018 tidak perlu merasa kekurangan sumber ide ataupun sumber inspirasi. Banyak sisi kehidupan Bung Karno beserta pemikiran-pemikirannya, yang dapat diimajinasikan dan ditulis menjadi puisi, baik sisi yang heroik maupun yang romantik. Dan, sisi-sisi itulah yang dicoba ditafsir ulang, yang coba dieksplorasi secara puitik, dicarikan metafor-metafor yang pas, dan ditulis menjadi puisi oleh para penyair calon peserta FSB 2018.
Menafsir sejarah ke dalam puisi memang tidak mudah. Tapi, banyaknya calon peserta yang mengirim puisi, menandakan banyak penyair yang menyukai tantangan kreatif tersebut. Hasilnya adalah sekitar 1000 puisi karya sekitar 400 penyair yang masuk ke Tim Kurator. Banyak puisi yang menunjukkan tafsir puitik yang pas tentang episod sejarah Bung Karno itu. Tetapi, sangat banyak pula yang asal menafsir, asal tentang Bung Karno, atau asal memuja Bung Karno dengan ungkapan-ungkapan verbalistik yang sama sekali tidak puitis. Bahkan, ada juga puisi-puisi dengan pemujaan berlebihan pada Putra Sang Fajar, sebagai refleksi kekagumannya yang berlebihan pula. Tentu, puisi-puisi yang demikian kita hindari, karena Tim Kurator tidak ingin ada kultus individu yang berlebihan atau melampaui kewajaran terhadap tokoh sejarah tersebut.
Setelah membaca-baca dan memilah-milah dalam tiga kali rapat, dengan sedikit melonggarkan kriteria dan menurunkan standar estetik, agar peserta yang diundang ke FSB 2018 memenuhi kuota, akhirnya Tim Kurator (Ahmadun Yosi Herfanda, Iwan Kurniawan, dan Mustafa Ismail) memilih 200 puisi karya 150 penyair untuk dibukukan. Tak ada puisi yang benar-benar istimewa, dengan tafsir puitik yang luar biasa. Tapi, setidaknya, sajak-sajak dalam buku ini memberitahu kita bahwa sejarah merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk penulisan puisi.
Dengan memilih sejarah sebagai sumber inspirasi, penyair dapat melihat masa lalu secara lebih jernih dan imajinatif. Pada masa lalu, pada sejarah, kita dapat belajar tentang kearifan hidup untuk menghadapi dan menyiapkan masa depan secara lebih bijaksana. Pada masa depan kita dapat membangun mimpi untuk meraih kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Setidaknya, sajak-sajak dalam buku ini dapat menambah kekayaan puisi sejarah dalam khasanah sastra Indonesia. @ Ahmadun Yosi Herfanda
<br /><center><hr/><em>Posted from my blog with <a href='https://wordpress.org/plugins/steempress/'>SteemPress</a> : http://www.sembahyangrumputan.com/2018/07/29/tafsir-puitik-sejarah-bung-karno-bagian-dua/ </em><hr/></center>