Beginning last September, there was a book exhibition called Indonesia International Book Fair or IIBF by inviting a number of countries as exhibitors. There are at least 40 publishers participating in the exhibition. Not only from Indonesia, but also publishers from 20 countries.
In the midst of the onslaught of the use of gadgets even to children, the existence of a large-scale book exhibition would be the most appreciated event. Even in developed countries, large-scale book exhibitions have become a prestigious event for many to join. One of them is the Frankfurt Book Fair where Indonesia was once an honorary participant.
The existence of gadgets that undermine the interest in reading was not entirely correct. The number of books sold in the Gramedia bookstore chain spread throughout Indonesia has increased in the last three years.
In 2016, the number of books sold was 18.6 million. This number increased to 29.7 million books in 2017 and increased again to 34.7 million books in 2018. This is only in the Gramedia bookstore chain. In fact, there are still many other bookstore chains throughout Indonesia. Not to mention the bookstore that doesn't enter any network.
The National Library said the publication of books in the last three years in Indonesia was very volatile. In 2016, 50,090 titles were published and dropped to 45,506 titles in 2017. But in 2018, it jumped to 68,290 titles.
It's not just gadget disruption that is a challenge in increasing the amount of reading interest in Indonesia. The number of people who are illiterate is also still high, namely 3.4 million people. This figure is equivalent to the population in a small country on the European continent.
Digital technology should not be seen as an enemy in increasing interest in reading. In reading countries, even in Indonesia, digital literacy is starting to become entrenched, although in Indonesia it is still in certain circles, for example millennial generation in urban areas.
Digital technology should not erode the number of book readers in Indonesia, because now books are available in various forms that can be read anytime and anywhere.
The role of government is also very important, especially in producing regulations that support reading interest, such as reducing and even exempting income tax for book writers, reducing the tax on the use of paper used to print books, and other incentives to encourage people to love books more.
*****
*INDONESIA*
Minat Baca dan Disrupsi Teknologi Digital
Awal September lalu, 4 – 8 September, ada pameran buku bernama Indonesia International Book Fair atau IIBF dengan mengundang sejumlah negara sebagai peserta pameran. Sedikitnya ada 40 penerbit yang mengikuti pameran tersebut. Bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga penerbit dari 20 negara.
Di tengah gempuran penggunaan gadget bahkan sampai kepada anak-anak, adanya pameran buku dalam skala besar tentu menjadi even yang paling diberi apresiasi. Di negara maju pun, pameran buku berskala besar, menjadi ajang bergengsi yang diikuti banyak orang. Salah satunya adanya Frankfurt Book Fair di mana Indonesia pernah menjadi sebagai peserta kehormatan.
Keberadaan gadget yang yang menggerus minat baca ternyata tidak sepenuhnya benar. Jumlah buku yang terjual di jaringan toko buku Gramedia yang tersebar di seluruh Indonesia, meningkat dalam tiga tahun terakhir ini.
Pada 2016, jumlah buku yang terjual adalah 18,6 juta buku. Jumlah ini meningkat menjadi 29,7 juta buku pada 2017 dan meningkat lagi menjadi 34,7 juta buku pada 2018. Ini hanya di jaringan toko buku Gramedia saja. Padahal, masih banyak jaringan toko buku lainnya di seluruh Indonesia. Belum lagi toko buku yang tidak masuk jaringan mana pun.
Perpustakaan Nasional menyebutkan penerbitan buku dalam tiga tahun terakhir di Indonesia sangat fluktuatif. Pada 2016, diterbitkan 50.090 judul buku dan turun menjadi 45.506 judul buku pada 2017. Namun pada 2018, melonjak menjadi 68.290 judul buku.
Bukan disrupsi gadget saja yang menjadi tantangan meningkatkan jumlah minat baca di Indonesia. Jumlah penduduk yang mengalami buta aksara juga masih tinggi, yakni 3.4 juta orang. Angka ini setara dengan jumlah penduduk di negara kecil di benua Eropa.
Teknologi digital jangan dipandang sebagai musuh dalam meningkatkan minat baca. Di negara baca, bahkan di Indonesia, literasi digital mulai menjadi membudaya, meski di Indonesia masih di kalangan tertentu saja, misalnya generasi milenial di perkotaan.
Teknologi digital jangan sampai menggerus jumlah pembaca buku di Indonesia, sebab kini buku pun tersedia dalam berbagai bentuk yang bisa dibaca kapan saja dan di mana saja.
Peran pemerintah juga sangat penting, terutama dalam melahirkan regulasi yang mendukung minat baca seperti mengurangi bahkan membebaskan pajak penghasilan bagi penulis buku, mengurangi pajak penggunaan kertas yang digunakan untuk mencetak buku, dan insentif lainnya untuk mendorong masyarakat lebih mencintai buku.
*****
Congratulations @aiqabrago! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit