saat ini bisa saja orang Aceh kehilangan kegemilangan intelektualnya dibandingkan pada tempoe doloe, sebab dibandingkan pada masanya itu kemajuan orang Aceh dalam berpikir mampu membawa Aceh dalam manisnya intelektual yang dituangkan ide-ide nya di atas kertas. Sangat disayangkan, generasi saat ini tidak pernah merasakan pembelajan yang memahami karya-karya orang Aceh itu sendiri baik dari sekolah hingga perguruan tinggi, kecuali bagi mereka yang mengambil studi studi ilmu sosial atau humaniora.
Patut berbangga jika kita lihat faktanya Aceh merupakan lumbung intelektual di Nusatara, dari perspektif perbukuan, Aceh telah memberikan kontribusi yang amat penting, walau banyak ditulis dalam bahasa Melayu, karya-karya Aceh banyak dijadikan rujukan keagamaan di Nusantara seperti ulama Syaikh Nurdin Ar-Raniry, Syaikah Abd Rauf al-Singkili, dan Hamzah Fansuri. Bahkan ulama abad ke-XVIII dan XIX juga dipandang cukup berjasa dalam menyemai ilmu-ilmu keislaman di kawasan rantau mela ini. Tidak hanya itu setelah era kemerdekaan para penulis Aceh seperti Hasbi Ash-shiddieqy, Aboe Bakar Aceh, Ali hasymi hingga Teuku Iskandar merupakan penulis yang sangat produktif. (hlm.870)
yang menjadi keingintahuan kita, sebenarnya apa faktor seorang menulis buku di Aceh?
Pertama, para ulam menulis buku karena ingin mengisi kekosongan literatur keislaman. Dulu para ulama ingin memberikan pencerhaan saat menuntut ilmu kepada muridnya dalam hal untuk menulis atau mensyarah kitab, mengingat dahulu sumber ilmu hanya dari para ulama sehingga referensi lain tak dapat ditemukan seperti era sekarang ini.
Kedua, para ulama menulis buku karena ada permintaan dari penguasa. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan di Aceh tetap dalam konteks keislaman, oleh sebab itu dalam pemerintahan kerajaan di Aceh membutuhkan kitab-kitab ulama yang akan dijadikan sebagai "undang-undang" bagi rakyat Aceh. Kitab seperti Shirat al-Mustaqim yang ditulis oleh Syeikh Nurdin Ar-Raniry merupakan salh satu bukti dari pandangan ini.
Ketiga, respon terhadap keadaan terkini. Para penulis merupakan kelompok intelektual yang amat gelisah, jadi menulis merupakan jawaban atas keresahan ummat dalam menghadapi segala persoalan pada masa itu. Misalnya respon terhadap setelah Aceh bergabung dengan Republik Indonesia, dsb.
Keempat, menulis untuk berpolemik, pola ini merupakan untuk mengisi diskusi keilmuan seperti yang terjadi antara Syaikh Nurdin Ar-Raniry dengan Syaikh Hamzah Fansuri, yang beberapa karya Syaikh Nurdin Ar-Raniry merupakan "jawaban" terhadap beberapa persoalan sufi yang ditulis oleh Syaikh Hamzah Fansuri.
Kelima, menulis buku sebagai pelerjaan intelektual, penulis memang senantiasa ingin menuangkan ide-idenya agar dapat dibaca hingga kapanpun, jika hidup akan berujung mati namun karya dengan intelektual yang tinggi akan terus dapat dibaca dan dijadikan rujukan hingga kapanpun.
Dalam bab ini dijelaskn pula apa yang menjadi isu-isu kepenulisan orang Aceh, namun perlu kita ketahui tradisi kepenulisan orang Aceh mampu menghidupkan peradaban di Aceh, namun sayang tradisi ini tak dapat diwarisi oleh generasi Aceh. Paling tidak melalui studi Acehnologi kita sebagai generasi muda bisa kembali membangkitkan spirit intelektual para pemikir Aceh untuk melanjutkan tradisi kepenulisan ini.