Saya suka sekali memancing di air tawar, salah satu spot memancing yang paling saya ingat adalah Brayeun atau kadang disebut Brayeung. Saya telah tahu tempat itu setidaknya pada tahun 1994. Ketika itu saya sedang mondok di sebuah pesantren kecil di mukim Leupung. Pesantren ini terpencil ditengah rawa gelagah dan perdu cumbungi (bak Beunot-Bahasa Aceh). Jalan utama menuju Brayeun ketika itu adalah jalan batu kecil yang diapit sebatang sungai dan pagar kawat duri pesantren. Setiap hari minggu atau hari libur kami para santri biasa melihat rombongan anak-anak muda dalam pakaian trendi bersepeda motor bervakansi ke Brayeun. Aturan tertulis di pesantren kami melarang para santri datang ke Brayeun pada hari-hari tersebut.
Kami para santri baru dibebaskan datang ke Brayeun pada hari lain selain hari minggu atau hari libur. Saya dan teman-teman beberapa kali kesana pada malam hari saat kami sedang libur dari kegiatan pesantren. Malam hari di Brayeun keadaan sangat sepi. Kami datang dalam rombongan hingga sepuluh orang, berjalan kaki selama 1 jam melewati jalanan batu yang diapit kebun warga, persawahan dan hutan belantara di kaki bukit Raleueng. Untuk mengusir rasa takut, kami bernyanyi dan bergelak tawa disepanjang perjalanan sembari mengibas-ngibaskan obor minyak tanah membelah jalanan yang gelap gulita. Kalau sudah terang dan ramai begitu, jangankan dikata hantu kuburan, harimau pun kami tidak gentar. Bahkan kami berani ke Brayeun ketika santer beredar desas-desus tentang sepasang harimau besar berkeliaran di lereng bukit Raleueng.
Tujuan utama kami datang kesana tidak lain adalah untuk memancing belut. Ikan panjang berlendir dan licin itu suka berkeliaran mencari makan pada malam hari. Saat yang paling tepat memancingnya adalah ketika bulan tak hadir dilangit malam. Di sekitar bendungan tua Brayeun ketika itu masih banyak terdapat batu gajah. Di bawah onggokan bebatuan raksasa itu dan arus deras sungai ribuan belut bebas beranak pinak. Gampang sekali menarik ikan itu dari sarangnya. Kami memancingnya menggunakan kail tanpa joran, hanya senar yang ujungnya dipasangi mata kail, umpannya anak katak atau udang galah air tawar.
Di bendung Brayeun berdiri sebuah rumah kosong yang sedianya adalah hunian penjaga bendungan. Rumah itu cukup luas, semua pintu dan jendelanya telah lepas dari engselnya. Kami selalu bermalam dirumah kosong itu ketika sedang acara memancing. Menginap disana kami hanya perlu membawa tikar dan sarung untuk selimut. Benda wajib lain yang kami bawa adalah periuk nasi, beras, garam, kopi, gula, kecap, minyak, bumbu masak dan cobek penggiling bumbu. Kegiatan memancing rombongan kami tak ubahnya seperti sekelompok remaja yang hendak mengadakan pesta besar di Brayeun.
Begitu tiba di Brayeun kami langsung memasang api unggun, gunanya untuk menghalau hewan malam yang mungkin sedang mengintai kami. Lalu kami sibuk melaksanakan tugas menurut bidang masing-masing. Ada yang di bagian memancing, bagian menyiapkan kopi dan menanak nasi. Saya seringnya kebagian pekerjaan bidang menyiangi ikan. Setiap belut yang berhasil diangkat dari perut sungai oleh pemancing dengan cepat saya siangi di atas batuan sungai. Darah dan isi perutnya dibuang lalu digarami dan ditata diatas lembaran daun pisang hutan. Teman yang bidangnya menyiapkan bumbu pun telah sibuk pula mengulek bumbu menggunakan cobek tanah.
Di belakang rumah kosong terdapat satu rumpun bambu buluh. Kami mengolah belut tangkapan dengan dimasak dalam bumbung bambu buluh, seperti membakar lemang. Sebelum potongan belut dimasukan, ke dalam ruas bambu terlebih dahulu dilapisi dengan pucuk daun pisang lalu diisi dengan bumbu masak. Bilah bambu yang sudah terisi lengkap diberdirikan tegak di dekat kobaran api unggun. Kami jarang sekali membakar langsung belut diatas bara api. Lemak belut akan berubah menjadi minyak jika dibakar diatas api, akibatnya daging belut menjadi kering dan agak alot dimakan.
Tidak sampai setengah jam, dari potongan bambu berisi belut yang disenderkan disamping api membara akan keluar aroma yang sangat harum. Dari mulut bumbung air dari bumbu giling bercampur minyak ikan menggelegak, mengkilap dan sangat menggiurkan, tandanya masakan kami telah matang dan siap disantap. Pemancing dalam jarak seratus meter dari api unggun pun akan mencium aromanya dan segera menambatkan pancing mereka di sela bebatuan. Lalu kami makan nasi bersama-sama diatas daun pisang hutan ditemani suara berisik binatang malam di hutan dan suara air menghantam bebatuan Brayeun. Salah satu makanan terlezat yang pernah saya nikmati dalam hidup saya.
Itu semua terjadi sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu, saat Brayeun masih merupakan bendungan alam peninggalan masa Belanda yang masih asri. Saat harimau sesekali masih mengaum dari lereng bukit Raleung, kami pernah berdekatan dengan harimau Raleung. Ia merupakan seekor kucing besar tetapi harimau mungil, kaki depannya agak pincang, mungkin bekas kena jerat. Kami tahu dari lumpur bekas jejaknya di teras rumah kosong rumah kami menginap. Kami bergidik membayangkan binatang buas itu mengendus tubuh kami yang bergelimpangan kekenyangan didalam rumah tanpa daun pintu dan jendela. Kucing itu pasti telah membaui aroma nafas remaja kami yang menebarkan harum lemang belut.
Saat itu Brayeun belum diserbu anak-anak muda kekinian yang berswafoto diatas perahu karet.
Sumber Ilustrasi: aceh.net
Mantap ceritanya @ayie77 . follow & upvote balik @agamsuriadi
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
saat masih kuliah dulu saya pernah ke brayen... jernih air nya...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Tahun berapa anda kesana @samagam? Sepanjang masa konflik hingga sebelum rehab rekon tahun 2006, Brayeun masih sangat asri. Perubahan terakhir saya lihat disana tahun 2013, sudah banyak pondok penjual makanan. Tempat itu ramai dan sesak, alamnya tidak lagi seasri dulu.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
iya bro saya terkhir kesana juga 2013... selain brayen ada satu lagi tempat wisata deakt brayen yang air terjun itu saya lupa nama tempat nya... di situ juga tempatnya indah...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Air terjun mungkin di sekitaran lhong ya? Kalau di Leupung seingat saya tdk ada air terjun. Kalau jeram diatas brayeun ada banyak.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
emang di le leu binatang buas inan broe...??
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Binatang buas ya rimueng na meupadum boh lam uteun nyan. Thon 2003 na jitimbak saboh rimueng agam le teuntra kavaleri. Rimueng nyan ube raya, lon tingat rimueng mate nyan jiba ngon panser dari bineh krueng.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bereh bunda
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Bunda??? Lon ureung agam, pakon bunda..? :(:(
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
"...Kami bergidik membayangkan binatang buas itu mengendus tubuh kami yang bergelimpangan kekenyangan didalam rumah tanpa daun pintu dan jendela..."
Saya ikut bergidik... heheee
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Kon nyan ending jih bang.. Hehe..
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit