(Narasumber Fifia Wardhani sedang memandu peserta lokakarya "Sinau Aksara dan Bedah Prasasti" di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, pada Minggu, 18 Maret 2018. Foto: BDHS)
“Menulislah maka kamu akan abadi”, begitu ungkapan yang sudah sering terdengar, paling tidak di kalangan mereka yang bergiat dalam dunia literasi dan kepenulisan. Banyak yang merujuk ungkapan tersebut pada salah satu sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Tulisan lengkap yang diungkap Pram – demikian panggilan akrab sastrawan yang namanya mendunia itu – adalah, ““Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dari sinilah muncul ungkapan, “menulislah maka kamu akan abadi”.
Suatu hal yang tidak mengada-ada, dan itu sudah terbukti darti catatan sejarah. Di Indonesia misalnya, perpindahan zaman prasejarah menuju zaman sejarah, ditandai dengan keberadaan tulisan-tulisan yang masih bisa ditemukan sampai saat ini. Tulisan-tulisan awal yang ditemukan di Indonesia adalah dalam bentuk prasasti dari abad ke-4 Masehi.
(Narasumber dan moderator lokakarya "Sinau Aksara dan Bedah Prasasti" memberikan pengantar kepada para peserta sebelum praktik langsung mengamati prasasti-prasasti koleksi Museum Nasional Indonesia. Foto: BDHS)
Hal ini menjadi bahasan utama dalam acara lokakarya “Sinau Aksara dan Bedah Prasasti” yang diselenggarakan Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) yang didukung oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Museum Nasional Indonesia.
KPBMI adalah suatu organisasi nirlaba yang dibentuk sejumlah anak muda di kawasan Jabodetabek, dan memusatkan aktivitasnya pada bisang sejarah, purbakala, museum dan kebudayaan. Ketuanya, Dhanu Wibowo, baru saja lulus sebagai sarjana bidang sejarah dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka di Jakarta. Sedangkan pengurus lainnya, sebagian besar mahasiswa dalam bidang studi arkeologi, sejarah, pendidikan, dan lainnya. Sementara yang menjadi dewan pembina adalah senior-senior mereka yang merupakan sarjana arkeologi dari Universitas Indonesia dan Universitas Udayana.
(Narasumber Sri Ambarwati menjelaskan tentang bentuk-bentuk aksara pada prasasti yang ditemukan di Indonesia. Foto: BDHS)
Lokakarya tersebut diadakan di Museum Nasional Indonesia (MNI) yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Minggu, 18 Maret 2018 mulai pukul 10.00 sampai 14.00 WIB. Bertindak sebagai narasumber adalah dua perempuan yang mendalami epigrafi atau ilmu yang mempelajari tulisan-tulisan kuno, masing-masing Sri Ambarwati yang memperoleh gelar S-2 dalam bidang epigrafi di Universitas Indonesia, dan Fifia Wardhani, karyawan MNI yang sehari-harinya memang menangani prasasti-prasasti koleksi museum tersebut.
Lokakarya yang dipandu oleh moderator Asri Hayati Nufus, seorang mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia angkatan 2014 itu, diikuti tak kurang 63 peserta yang 95 persen adalah kaum muda, rata-rata berusia di bawah 25 tahun. Pemaparan lokakarya yang disertai praktik langsung melihat, mengamati, dan mempelajari prasasti-prasasti koleksi MNI, membuat para peserta sangat antusias.
Apalagi para peserta disertasi lembaran bentuk huruf aksara Pallawa dan tulisan dalam bahasa Latinnya. Lalu, mereka mencoba menebak-nebak, huruf-huruf yang ada pada prasasti koleksi MNI tersebut. Bagaikan detektif yang mencoba memecahkan kode-kode rahasia untuk mendapatkan jawaban yang jelas.
(Ketua Dewan Pembina KPBMI, Djulianto Susantio, memotret salah satu koleksi Museum Nasional Indonesia. Foto; BDHS)
Dalam sinau (belajar) aksara dan bedah prasasti ini, memang mengkhususkan diri pada aksara Pallawa yang merupakan aksara pertama diketahui keberadaannya di Indonesia, melalui penemuan prasasti-prasasti yang dikenal dengan nama yupa dan ditemukan di sekitar Muara Kaman, Kalimantan Timur.
Aksara Pallawa sendiri disebut demikian setelah para arkeolog, epigraf, dan sejarawan, mencocokkannya huruf dan aksara dari tujuh buah yupa di Kalimantan Timur itu dengan aksara yang digunakan oleh Dinasti Pallawa di India Selatan. Dari perbandingan itu juga dapat diperkirakan bahwa yupa di Kalimantan Timur itu berasal dari sekitar abad ke-4 Masehi, awal adanya tulisan di Indonesia.
Dan benarlah seperti yang dikatakan dalam ungkapan dari sastrawan Pramoedya, “menulislah maka kamu akan abadi”, karena tulisan-tulisan pada yupa itu jugalah nama Sang Maharaja Kudungga tetap abadi sampai sekarang. Kudungga adalah raja di Kerajaan Kutai sekitar abad ke-4 Masehi. Sebelumnya, bisa saja sudah ada raja atau tokoh penting lainnya di sekitar tempat itu, tetapi tidak diketahui karena tak ada catatan tertulisnya. Setelah Kudungga pun bisa saja ada lagi tokoh-tokoh yang lebih terkenal, tetapi kalau tidak ada catatan tertulis, tentu tak bisa dilacak keberadaannya.
Sama seperti karya-karya sastra di Indonesia. Karya sastra lisan mungkin banyak yang bagus, tetapi kalau hanya mengandalkan lisan dan diteruskan turun-temurun, tidak tertutup kemungkinan ada beberapa bagian cerita yang sudah berubah. Lagi pula karya sastra lisan hampir-hampir tak diketahui siapa pencipta aslinya, sedangkan karya sastra tertulis seperti Sutasoma, Pararaton, Nagarakrtagama, dan lainnya, sampai sekarang tetap abadi dan penciptanya masih tercatat dalam sejarah.
(Replika Prasasti Ciaruteun di Museum Nasional Indonesia. Prasasti asli masih ada di lokasi sebenarnya di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Foto: BDHS)
Melalui belajar aksara dan bedah prasasti memang banyak hal yang dapat diperoleh. Selain mempelajari bukti-bukti sejarah, juga belajar memahami betapa pentingnya tinggalan-tinggalan masa lalu dalam bentuk tulisan. Baik berbentuk prasasti yang ditulis di bahan-bahan keras, seperti batu dan logam, maupun yang ditulis di bahan lainnya – seperti daun lontar atau kertas papyrus – dan masih terselamatkan sampai sekarang.
Jarang sekali yang menulis soal sejarah. Ini tulisan yang edukatif dan bergizi.....
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih untuk apresiasinya. Membuat saya ingin semakin sering menulis tentang sejarah dan kepurbakalaan.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Arkeolog Udayana memang terkenal oke
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
semoga semua arkeolog menjadi oke :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Edukatif, terima kasih sudah sharing hal yang inspiratif.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih untuk apresiasinya
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
verba valent scripta manen, ucapan akan hilang, tulisan yang abadi, maka mari terus menulis untuk positifkan Indonesia di dunia maya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih dan mari terus menulis!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit