Drama KARTINI

in indonesia •  7 years ago 

image

Keterangan foto: internet

Saya pribadi tidak terlalu “kagum” dengan Kartini karena berbagai alasan. Logikanya, jika Kartini berasal dari masyarakat biasa, apakah dia mampu bergaul dengan orang-orang Londo saat itu? Berapa juta perempuan Jawa bahkan di Nusantara saat itu yang tidak sekolah yang suaranya lebih jernih ketimbang Kartini -- tapi mereka tidak mendapatkan “mikerophone” dan dibesarkan “namanya” oleh penguasa karena bukan berdarah bangsawan, keturunan patih atau anak seorang bupati.

Bukankah hanya suara surat-suratnya yang berkesan “bersemangat” itu? Kemudian ditafsir dan dikonstruksi sebagai perempuan yang suaranya paling jernih dan seterusnya, tidak seperti perempuan-perempuan lain di pinggiran pantai Jawa dan sekitarnya, perempuan yang datang dari rakyat biasa. Tentu saja, Kartini bisa curhat dengan siapa saja saat itu, termasuk curhat melalui surat-menyuratnya karena Kartini sekolah, bisa membaca, bisa menulis, bisa menyanyi, bisa menari, bisa melukis, menguasai bahasa bangsa penjajah bahkan membuat Kartini dengan mudah bisa bergaul hingga berteman baik dengan orang-orang bangsa penjajah.

Lalu, apa yang otentik dari Kartini? Apakah sebagai perempuan sejati yang membela kaumnya, perempuan pembela bangsa dan seterusnya seperti syair yang terlanggam dalam lagu “Ibu kita Kartini”? Apakah berupa “perayaan” pada setiap tanggal 21 bulan April sebagai hari kelahirannya untuk mewajibkan anak-anak sekolah dan kaum perempuan di kantor-kantor pemerintah berdandan ala keluarga bangsawan sesuai kultur masing-masing? Atau bergempita mengadakan lomba memasak, lomba karaoke, lomba menari, lomba mengukir, lomba mengamplas, dan lain-lain? Dan, jika hari ini kita masih punya ambisi menafsir Kartini sejalan dengan tafsir di atas, maka akan seperti orang berjalan diarus buatan serupa sungai di lereng gunung dengan riak dari kipas angin.

Atau, jika kita bersedia menengok Dewi Sartika lebih mendalam barangkali akan nampak lebih menarik, berasal dari rakyat biasa, hidupnya merakyat dengan masyarakat biasa dan mengajarkan kerajinan tangan, menyulam, menjahit dan seterusnya kepada masyarakat biasa -- karena kerajinan tangan bukan lahan politik, jauh dari intrik kekuasaan, tapi lebih mendekat ke ranah artistik dan membangun kehalusan budi pekerti, cara hidup, kemanusiaan universal dan seterusnya.

Drama tentang “Kartini” sudah selesai. Drama terkait ukir-ukiran Jepara, drama terkait perjuangannya terhadap nasib perempuan pribumi Jawa, drama terkait penentangannya terhadap poligami, drama terkait keinginannya sekolah di Netherland dan seterusnya yang curhatannya menyuara melalui surat-suratnya, karena tidak ada manifestasinya dengan “laku”, tidak keluar apa-apa. Sekali lagi, drama tentang “Kartini” sudah selesai – selesai pada lomba-lomba, perayaan, pelabelan, klaim, intrik, ambisi dan seterusnya. Maka, tidak heran jika tafsir terkait Kartini penuh “paradoks”, apalagi (kita tidak pernah mengetahui alasannya) ia bersedia “patuh” menerima pinangan sebagai isteri selir, bahkan menjadi “kesepian” di rumahnya sendiri di pedalaman kampung Bulu (dekat perbatasan Rembang-Blora) diantara hutan jati. Tragisnya lagi, ketika Kartini usai bayenan, beberapa puluh jam baru berjalan ia harus mangkat disaat Soesalit Djojo Adhiningrat, nama bayi mungilnya itu ingin meneguk air susunya.

Sejarah adalah tergantung siapa yang menuliskannya, bahkan fiksi-fiksi selalu ada di dalamnya serupa hiasan di dinding ruang makan. Karena itu, tak ada alasan orang untuk tidak berkhunut jika ingin merefleksikan pikiran, cita-cita, fantasi, mimpi bahkan kenyataan tingkah manusia yang masih bersedia berpijak di bumi. Barangkali dari sekian drama tentang “Kartini” masih ada setetes yang tersisa. Entah...! Serupa apa tetesan drama itu, dan barangkali para perupa yang berpameran di sini bisa mencium aromanya. Tentu saja bukan aroma kembang, bukan juga serupa aroma kemenyan, dupa atau sebangsanya – mungkin saja aroma mawar. Atau, mungkin aroma itu belum memiliki nama, bahkan tidak pernah akan diberi nama tapi menerus menyengat mata kiri kita agar menengok ke masa lalu dan mata kanan memandang masa depan adalah bagian dari lipatan drama peradaban.

Maka, kita harus segera merasa senang karena sedang berjalan menuju usia tua, satu-persatu uban mulai datang serupa tetesan embun sedang menggugurkan ambisi pribadi yang berbunyi setiap pagi hari.

Kopi Hitam.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Nice post adun

Mantap Cak.. Dewi Sartika, pernah dengar cuman tidak setenar Kartini. Bolehlah minta didongengin Dewi Sartika pula Cak. Kita kira, kita akan lebih dekat dengan Dewi Sartika--yang dalam tulisan singkat di atas--seorang yang biasa saja, bukan dari garis bangsawan.

Membangkitkan narasi kecil