Di zaman moderen ini, tardisi menuntut ilmu tidaklah sama dengan pada zaman tradisional dulu khususnya di Aceh. Jika dulu proses meugure (berguru) di Aceh dilakukan dengan cara seorang santri mengerahkan seluruh waktunya untuk bisa bersama gurunya di dayah/pesantren, ini berarti sang murid tersebut menyerahkan "kehidupannya" pada sang guru. Dengan demikian, ketika guru memberi ilmu sang murid telah benar-benar siap untuk menyerap sekian ilmu.
Hal ini berbeda dengan zaman sekarang yang mana seorang mahasiswa hanya bisa bertemu dengan sang dosen hanya berkisar 100 menit saja, akibatnya cahaya ilmu dari sang dosen tidak bisa didapati sepenuhnya karena begitu singkatnya waktu.
Penulis mengatakan bahwa tradisi meugure menjadi satu nafas kehidupan masyrakat Aceh. Jika seseorang pernah meugure dengan seorang ulama atau guru, maka di akan dianggap berguna dan berfungsi dalam masyrakat.
Kemudian juga penulis menambahkan bahwa dalam tradisi ini, murid tidak hanya diarahkan untuk memahami ilmu bayani dan burhani, tapi juga mencakup aspek 'irfani. Dengan demikian ia dianggap siap untuk menjadi "pengawal" kehidupan masyarakat jika telah memahami ketiga aspek tersebut.
Uniknya, saya baru mengetahui ketika selesai membaca buku ini, bahwa istilah untuk orang yang mencari ilmu adalah jak meudagang (pergi berdagang). Penggunaan istilah meudagang pada santri dayah memang terasa unik. Karena dalam bahasa Indonesia atau Melayu, istilah berdagang dalah merupakan salah satu kegiatan dalam perekonomian. namun di Aceh untuk istilah berdagang memakai kata meukat.
Penulis dalam bukunya mengatakan bahwa dayah merupakan pusat dari ilmu pengetahuan di Aceh. Sistem pendidikan yang saling berkait dengan masyarakat dan kegiatan yang melingkupinya, menjadikan pendidikan orang Aceh saling terintegrasi antara dunia pengetahuan dengan keperluan masyarakat. Sehingga, keberadaan tradisi meugure menjadikan dayah sebagai tempat untuk mencari Jejak spirit ke-Aceh-an.
Sistem berpikir endatu orang Aceh dalam tardisi meugure ini adalah bertujuan untuk menjadikan seorang ilmuan ibarat seorang pedagang yang tidak hanya memikirkan untung untuk hari itu saja, tetapi juga memikirkan bagaimana mewarisi cara dan gaya kehidupan pada generasi selanjutnya dengan proses pembelajaran. Ini diibaratkan oleh penulis layaknya seorang aneuk keude yang mana dilatih dulu untuk belajar berdagang melalui etos dan kejujuran, setelah menguasai ilmu berdagang maka ia baru diberikan modal dan model untuk mengembangkan usahanya sendiri. begitulah sistem berpikir dalam tradisi meugeru yang ada pada kehidupan masyarakat Aceh.