Tangan Mursal cetakan mengaduk lumatan kacang kedelai wadah di Desa Cut Mamplam, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Selasa (11/9/2018). Pria berusia 38 tahun itu terlihat cetakan mengaduk.
Mesin penggiling kacang kedelai berada di sudut bangunan, meja pemotong tahu di sisi lainnya. Di situlah bau tahu menguam ke udara. Bahkan tembus ke luar bangunan berukuran 7 x 8 meter tu.
Di samping bangunan membentang tambak milik petani. Semilir angin sesekali menerabas bangunan. Sehingga lumayan untuk penghilang gerah setelah penat bagi Mursal.
Setelah mengaduk kacang, Mursal beralih ke perapian. Di sana dia mengatur api untuk merebus kacang kedelai. Tak heran, panasnya api memeras keringat sekujur tubuhnya.
Ya, itulah tahu Sumedang yang diproduksi Mursal. Meski produksi tahu itu berasal dari Sumedang, Jawa Barat, namun minat masyarakat Aceh mengonsumsi tahu itu luar biasa.
“Ini warisan orang tua. Awalnya, ayah saya membuka usaha ini di Kilometer 12, Kabupaten Aceh Utara. Di sana puluhan tahun ayah membuka usaha ini dan saya belajar dari ayah,” kata alumnus SMK Pariwisata, Kota Lhokseumawe itu.
Dia menyebutkan, keluarganya memulai bisnis tahu Sumedang di Aceh sejak 1983, saat itu produksinya menjadi satu-satunya tahu Sumedang di daerah itu. Saat dollar merangkak naik mencapai Rp 14.000 lebih per USD, Mursal tak mau ambil pusing. Dia pernah melewati krisis moneter.
“Saya gunakan kedelai impor dari Australia. Saya beli dari distributor di Medan, Sumatera Utara. Memang ada kenaikan harga sedikit, namun saya tak mau pusing. Tahu saya harus ada di pasaran, walau laba berkurang sedikit,” terangnya.
Saat ini harga kedelai Australia dipatok Rp 7.700 per kilogram, dari sebelumnya hanya Rp 6.300 per kilogram.
Mengapa menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku? Mursal beralasan kedelai lokal tak bisa bertahan lama. “Kedelai impor daya tahannya lebih lama karena mereka keringkan pakai oven. Kalau kacang lokal masih basah karena tidak melalui tahap pengeringan, walau harganya lebih murah tapi tidak dapat disimpan dalam kurun waktu yang lama,” sebutnya.
Dia mengilustrasikan, kedelai Australia bisa disimpan selama sebulan, sedangkan kedelai lokal hanya sepekan.Namun secara kualitas, dia mengakui kedelai lokal lebih unggul seperti bentuk biji yang kecil dan lebih banyak mengandung protein. “Santan dari kedelai lokal itu lebih banyak juga. Kedelai lokal ini hanya cocok buat tempe, tidak cocok buat tahu,” terangnya.
Dia menjelaskan produksi tahu Sumedang berawal saat seluruh kacang kedelai impor dicuci bersih dan masuk kedalam mesin penggiling hingga halur mirip bubur. Setelah itu barulah bahan mentah itu dimasak untuk diambil saripatinya. Kurang dari dua jam bahan itu telah matang dan bisa dipindah ke wadah penampung untuk diberikan pengeras.
Setelah itu tunggulah selama 30 menit dan masukan ke cetakan yang telah disiapkan. Adonan itu lalu dibungkus kain dan ditimpa dengan kayu agar memeras air di dalamnya.
Setelah ditiriskan, barulah tahu disimpan ke wadah untuk dijual ke sejumlah pasar tradisional. Dia mematok harga jual tahu itu Rp 700 per potong. Dalam sehari dia memproduksi sekitar 810 potong.
“Sekarang sudah banyak yang jual tahu Sumedang. Makanya, bersaing juga dengan pemilik lainnya.
Tahu Sumedang mentah itu ramai dibeli oleh pedagang gorengan di Lhokseumawe. “Saya menggaransi tidak pakai pengawet. Itu rumus utama saya,” katanya.
Untung berjualan tahu pula dikembangkan ke sektor peternakan. Mursal kini memiliki 50 ekor kambing. Saban musim meugang (jelang hari raya) dia menjual kambing tersebut. Siang semakin menanjak, Mursal terus bekerja membuat tahu Sumedang. Di sana, dia berharap dollar segera turun. Agar untung besar dapat diraih. “Semoga kedelai murah lagi,agar kami bisa untung besar. Bahan baku naik, tapi harga jual tak mungkin naik begitu saja,” pungkasnya.