Di semak-semak pinggiran sebuah Krueng (sungai) kecil yang kering hiduplah seekor “Meuruwa” lapar. Lapar karena kemarau panjang membuat lubuk Krueng menjadi sangat dangkal, tidak ada ikan “Keureuling” dan binatang air lain yang bisa disantap pagi, siang dan malam. Suatu pagi Meuruwa keluar sarang, tidurnya tak nyenyak, suara “kriuk” perut tak bisa menahan si lidah panjang itu berlama-lama dalam semak.
Ia menyusuri sungai dengan langkah gontai karena lemas, ketika tiba di tikungan Krueng, langkahnya pun terhenti oleh seekor “Seungko” besar, sebesar lengan orang dewasa menggelepar di sebuah kolam kecil yang berlumpur. “Ini rezeki ku, ikan besar berkumis, cukup mengisi perutku siang ini,” celetuk Meuruwa dalam hati sambil jalan mendekat penuh harap sekali “Hap” si Seungko meluncur dalam perut.
Tapi langkah si Meuruwa terdengar Seungko. “ Wahai Meuruwa , jangan mendekat, lumpur di tubuhku bisa mengenai kulitmu yang keras dan bersih itu. Aku tahu, ajalku sudah dekat, kamu pasti ingin menyantapku bukan?,” kata Seungko dengan mulut meugap-meugap. Meuruwa tak menjawab dan terus mendekat , dia hanya berpikir Seungko harus segera disantap.
Seunko pun semakin takut, ia putar otak agar bisa menghidar jadi santapan lezat si pemangsa, saat mulut Meuruwa perlahan terbuka dan semakin dekat iapun sontak berkata “Meuruwa, engkau binatang kuat dan disegani seisi krueng, apa tak malu nanti dihujat karena makan aku yang penuh lumpur ?,” Meuruwa pun terdiam mendengar kata Seungko, mulut yang semula mangap pun ditutup rapat-rapat. “Aku sudah sangat lapar Seungko..! aku harus segera mengisi perut ini agar tak mati,” kata Meuruwa sambil garuk kepala.
“Aku tak melarangmu memakan ku, tapi aku butuh air untuk membasuh lumpur ini, hanya itu pintaku. Carikan aku kolam atau lubuk, biarkan aku mandi dulu,” jawab Seungko berusaha mencari cara agar tak mati. Meuruwa pun diam tanpa kata dan akhirnya mengangguk tanda mau. Ia berpikir, kasihan hanya sebentar menunda makan untuk memenuhi permintaan terakhir si ikan. "Gigitlah ekorku, jangan badanku, karena mulutmu itu penuh racun," kata Seungko lagi mengingatkan Meuruwa.
Meuruwa pun menggigit ekor Seungko, dengan langkah gontai dibawa ke "Meurandeh" , tibalah di depan kolam kecil masih dalam Krueng kering. “Disini airnya tak mengalir,aku tak bisa mandi, kesana lagi ada lubuk yang masih dalam, tolonglah,” pinta Seungko penuh harap. Sambil menghela nafas penuh kesal, akhirnya Meuruwa menuruti permintaan si ikan, berjalan naik-turun batu sungai, nafas semakin ngos-ngosan.
Waktu terus berjalan, siang sudah masuk sore dan sore mendekati petang hingga akhirnya, Meuruwa tiba di Lubuk dalam, Seungko dilepas dari gigitan dan ia rebahkan badan di atas pasir dengan mulut ngos-ngosan. "Aku harus istirahat dulu," kata Meuruwa menghela nafas panjang.
Melihat Meuruwa lengah, Seungko langsung mengibas ekor sambil meliuh-liukkan badannya untuk menjangku pinggir lubuk yang tinggal se-Hasta lagi, "Byurr.!" tersentak Meuruwa mendengar suara air. Matanya pun terbelalak melihat mangsa sudah hilang. Ia bangun dan mendekati pinggir lubuk.
"Seungko..seungko..dimana engkau?," teriaknya memanggil sang ikan. "Apakah engkau sudah bersih,aku sangat lapar, ayolah tepati janjimu," kata Meuruwa sambil mengibas ekor panjang tanda kesal. tapi sang Seungko tak kunjung ke permukaan, sepertinya Seungko ingkar janji dan bersembunyi di bebatuan.
Matahari sudah tenggelam di ufuk timur, Meuruwa masih berada di pinggir lubuk, matanya terus menatap permukaan air berharap mangsanya muncul. Dalam hati mulai merasa ditipu, tapi Meuruwa masih berharap, karena di sepanjang jalan tadi si ikan berjanji siap disantap setelah mandi.
Disaat perut semakin keroncongan, Meuruwa mulai tak sabar, ia pun marah sambil berteriak penuh sumpah serapah. Kesabarannya pun habis dan mulai berpikir agar Seungko bisa ditangkap. Namun apa daya, Lubuk terlalu dalam untuk diselami, tak mungkin ia berenang di tengah gelap malam. Lagi pula tangan dan kakinya sudah terlalu lemas untuk berenang.
Tiba-tiba ia melihat seekor Singa kurus turun ke genangan air di Meurandeh, sambil bersembunyi di balik bebatuan ia melihat si raja hutan itu minum air dengan cara menjulurkan lidahnya ke air. Tak lama kemudian , Singapun mengaum tanda keras lega, hausnya hilang setelah minum air kolam. iapun berlari, kembali masuk ke dalam hutan liar.
Merasa aman , Meuruwa perlahan keluar dari persembunyian, ia senang tak terlihat Singa, kalau tidak ia pasti di mangsa si raja hutan. Walau tergolong kuat, Meuruwa tak bisa mengimbangi kekuatan si Singa, tak jarang ia melihat temannya mati karena berkelahi dengan hewan berbulu itu
Iapun kembali ke pinggir Lubuk, sambil menatap permukaan air. Tiba-tiba muncul Seungko di permukaan Lubuk tapi jauh dari pinggiran, Meuruwa senang bukan kepalang, tapi ..tiba-tiba "Lihatlah dirimu Meuruwa, sewaktu datang Singa, kaupun takut dan sembunyi, kau tak mau dimangsa? begitu juga aku, hanya hewan bodoh seperti mu yang bisa kutipu," teriak Seungko mencibir dan seketika kembali berenang ke dasar.
Mendengar ejekan itu Meurawa semakin marah, wajahnya memerah seperti api, tapi dayanya sudah habis. harapan makan enak sirna, tiba Meuruwa putus asa, sambil mengurut dada iapun berusaha pergi meninggalkan lubuk.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba Meuruwa mulai terpikir , kenapa tidak mencoba menjulurkan lidah ke air seperti cara Singa minum air kolam di seberang tadi. "kalau aku julur berkali-kali dan meminumnya air Lubuk pasti tinggal sejengkal, Seungko pun tidak bisa berenang" pikir Meuruwa berhenti melangkah. Ia mengira perutnya yang kosong bisa menampung air lubuk tak terkira banyaknya. Sepertinya Rasa lapar tak terhingga membuat Meuruwa tidak bisa berpikir sehat.
Ia kembali mendekati Lubuk, ia pandang lamat-lamat permukaan air, sambil memejam mata ia mulai julurkan lidah panjang , " Clup..clup..clup.." semakin lama suara celupan lidah ke air semakin kencang. Tapi hingga tengah malam air Lubuk belum berkurang. dengan perut membesar Meuruwa masih terus menjulur lidahnya semakin dalam hingga Fajar tiba, iapun terkapar pingsan dengan lidah "teuset u luwa".
Suara angin berdesis diantara pepohonan, Meuruwa terjagadari pingsan lama, ia melihat matahari sudah tinggi, tapi alangkah terkejut ketika melihat air lubuk sudah berubah warna, awalnya jernih berubah jadi biru, ada pemandangan yang membuatnya sumringah, ikan-ikan terlihat menggelapar di permukaan Lubuk, dan terlihat juga seekor Seungko meugap-meugap menggelepar di pasir. "Aku tak tahu, air lubuk berubah jadi biru, aku tak bisa berenang dan lemas," kata Seungko sambil menangis.
Tak hiraukan kalimat sedih itu , Meuruwa sambil tertawa melahap satu persatu ikan yang hampir mati itu hingga kenyang, tak terkecuali Seungko yang sebelumnya sombong dan mencibir dirinya dalam kondisi lapar. Setelah mengelus perut buncit, Meuruwa pun pulang ke rumah dengan hati gembira.
Rupanya, Meuruwa tak sadar saat menjulur lidah ke air, racun yang ada dalam mulut ikut masuk ke dalam Lubuk. karena terlalu banyak menjulur lidah, banyak pula racun yang tercampur ke air hingga ikan tak bisa berenang dan mati.[]
Hikayat diatas adalah cerita guruku dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar, katanya itu Dongeng orang Aceh dulu tentang Biawak. Masih ada beberapa dongen lainnya yang akan aku posting disini, tunggu saja, salam.
catatan : Istilah Aceh
- Meuruwa = Biawak
- Teuset Lidah = Terjulur Lidah
- Krueng = Sungai
- Keureuling = Jenis Ikan Mas di Sungai
- Seungko = Lele
*Meurandeh = Seberang Sungai