“Seorang laki-laki harus berjuang sekuat tenaga menahan air mata ketika ia menulis tentang ibunya.”
Saat ini saya sedang teringat dengan ibu saya. Walaupun jarak kami hanya beberapa puluh kilometer jauhnya. Bisa tertempuh dengan kendaraan bermotor kurang dari satu jam. Saya merasakan hari ibu yang berbeda, pada 13 Mei 2018.
Alasannya sederhana sekali. Saya hanya memikirkan ulang rentang hidup selama ini. Apa saja yang saya minta dari ibu. Ternyata mengingat semua itu serupa dengan menghitung bintang di langit malam. Awalnya kita pikir hanya beberapa buah karena hanya melihat beberapa bintang besar bercahaya terang. Namun setelah lama tertegun, rupanya bintang-bintang kecil bermunculan walaupun awalnya samar dalam balutan gelap.
Saya telah begitu banyak meminta kepada ibu. Sementara tak satu pun permintaan dia yang bisa saya ingat. Barangkali karena memang dia tidak pernah meminta apa-apa kepada saya. Mengapa menjadi begitu timpang; apa yang selama ini saya minta tidak “dibalas” sedikit pun oleh ibu dengan meminta kembali kepada anaknya?
Sungguh sebuah keteladanan yang tak ternilai harganya. Bagaimana seorang ibu mengorbankan begitu banyak hal demi anak-anaknya. Sementara ia tak mengharapkan semua itu akan datang kembali padanya. Bahkan konon, seorang ibu mempertaruhkan nyawanya sendiri ketika mengandung hingga melahirkan buah hatinya.
Lantas, balasan apa yang ia terima? Dari siapa?