Mendung menggantung di langit Kota Banda Aceh, ketika saya sedang mengemaskan barang ke dalam tas, Rabu sore, 3 Januari 2018. Saya tengah bersiap untuk pulang ke kampung halaman di Keumala, Pidie. Saya sempat ragu menempuh jarak 195 kilometer dalam cuaca tidak cerah.
Beberapa teman saya hubungi melalui WhatsApps, menanyakan kondisi cuaca di Sigli, Pidie dan Saree, Aceh Besar. Cuaca di Saree yang paling penting saya butuhkan. Saree merupakan daerah pegunungan di sekitar Gunung Seulawah Agam.
Jika di sana hujan, maka kepulangan saya mengendarai motor sangatlah tidak baik. Memang di sana banyak tempat teduh di kios dan warung warga di pinggir jalan. Tetapi, rasa sejuk dan dingin tidak sanggup saya rasakan meskipun sudah mengenakan jaket tebal.
Balasan dari teman sangat tidak baik. Di Keumala, hujan deras masih mengguyur. Teman di Sigli menginformasikan bahwa hujan ringan atau gerimis masih belum berhenti. Sementara seorang teman di Saree ikut mengirim sebuah foto. Saya bisa melihat hujan lebat turun di sana. "Kalau ingin pulang, urungkan saja," kata dia.
Langit Banda Aceh masih mendung. Barang sudah saya masukkan ke dalam tas. Saya tidak banyak membawa pulang barang. Hanya dua baju dan satu celana. Selebihnya, ialah laptop dan kamera.
Dari balik kaca jendela, saya menatap ke arah langit. Keraguan semakin menjadi-jadi ketika prediksi cuaca Google juga mengatakan Banda Aceh dan sekitarnya mengalami hujan ringan. "Pulang atau tidak," ujar saya dalam hati.
Pukul 17:45 WIB, saya meyakinkan diri untuk pulang. Saya bergegas mengendarai motor dan melaju di jalan nasional Banda Aceh - Medan. Belum keluar dari Banda Aceh, di sekitar Lueng Bata, gerimis sudah mulai turun membasahi kaca helm. Bukan berhenti, saya malah menambah kecepatan laju motor. Beruntungnya, ketika memasuki Lambaro, Aceh Besar, gerimis menghilang.
Sekitar jam 18:15 WIB, saya mulai melewati kawasan Samahani. Di pingir jalan, kiri dan kanan banyak penjual musiman. Gubuk penjual bergelantungan buah langsat dan rambutan. Saya tidak tertarik dan tidak terlalu suka dengan buah langsat.
Namun di sebuah gubuk yang dihimpit gubuk penjual lain, saya harus berhenti. Rambutan merah bergelantungan di sana. Meski cuaca mendung dan kadang-kadang gerimis, mulut saya tetap ingin mencicipi rambutan Aceh di daerah asalnya.
Rambutan asal Samahani, Aceh Besar, sudah terkenal sampai ke luar Aceh. Di Jakarta misalnya, buah ini dikenal dengan nama rambutan Aceh. Rambutan di Aceh tidak hanya di Samahani. Daerah lain juga memiliki rambutan khasnya tersendiri. Seperti, rambutan Lala, Pidie, dan Juli, Bireuen.
Rambutan Samahani memiliki rasa manis. Satu hal lagi, rambutan ini gampang terkelupas dari bijinya. Sehingga gampang saat dimakan. Dari segi postur, rambutan ini lumayan besar dari rambutan daerah lain.
Saya menanyakan harganya kepada penjual. "Rp15 ribu perkilo, dek!" jawab penjual. Setelah tawar-menawar, saya membelinya dengan harga Rp12 ribu perkilo. Kata penjual, harga asli rambutan Samahani Rp18 ribu perkilo. Namun, karena penjual melihat plat motor saya belakangnya PAO. Artinya saya dari Pidie.
Basa-basi sebentar, saya kemudian tahu jika penjual tersebut dari Lampoh Saka, Pidie. Nah, di sini lah trik saya mencoba menawar. "Kita kan sama-sama orang Pidie, pasti tahulah sedikit soal laba-rugi berdagang," kata saya.
Orang dari Kabupaten Pidie, memang dikenal sangat pandai soal bisnis. Banyak orang Pidie sukses berdagang di dalam maupun di luar Aceh. Bahkan, ada sebagian orang menganggap orang Pidie ialah Cina hitam di Aceh. Maksudnya, kepandaian bisnisnya hampir serupa dengan orang Cina.
Saya akhirnya membeli rambutan sekilo. Rencananya, rambutan ini menjadi oleh-oleh ke kampung halaman. Tapi, di Keumala juga musim rambutan. Niat itu saya urungkan. Rambutan sekilo tersebut saya makan habis di tengah perjalanan.
Sampai tiba di Keumala, gerimis masih terus turun. Rasa dingin di tengah jalan, terbayar dengan segelas kopi di rumah. Saya tidak membeli rambutan sebagai oleh-oleh. Namun buah ini saya rekomendasikan sebagai oleh-oleh untuk anda yang melintasi Seulawah.
Keumala, 4 Januari 2017.
Bereh, ji puwoe keuno u angsa 23 mu saboh ikat...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Siap bang. Wate tagisa u Banda Insya Allah ta singah lom inan. Upvote bek tuwo bang. Hehe. Nyoe sesuai anjuran dronuh utk tumuleh bak steemit. Hehe.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit