Sewaktu kelas dua SMP, Madar jatuh cinta diam-diam sama Hanna, cewek kelas sebelah. Madar adalah teman sekelas aku, dan dia sebenarnya bisa dengan mudah mendapatakan Hanna. Madar lumayan ganteng, pembawaanya santai, sayangnya, dia agak paok. Mungkin sewaktu bayi, dia menyusu dengan dengan mamalia yang salah.
Madar memang paok, bukan berarti dia bertindak seperti idot yang ngences, dan lari berkeliaran dengan telanjang di simpang empat atau di lapangan iraq sambil gangguin pacaran murah dengan makan somay. Dia paok dalam mencoba menarik perhatian Hanna yang sempurna bak bidadari. Bahkan dia tidak tahu cara berkenalan yang baik dan benar dengan Hanna. Padahal setiap malam rabu dia berlatih di dengan kaca, dengan kata-kata puitis karena dia suka juga puisi. Kalimat yang da hafalka lumayan banyak, dari mulai yang standar, ‘Hai, sang pujangga datang, boleh tidak kenalan dengan ke bidadari?’, ‘Di mata itu kok mirip rembulan dengan kelilingi bintang-bintang ya?’ dan sampai yang kampungan kali ‘bolehkah aku kenalan denganmu wahai bawang merah’. Mungkin Hanna bauk ketek ya?
Madar pernah membawa payung untuk si Hanna yang saat itu musim hujan sebagai modusan agar kenalan si Hanna, dan pada akhirnya si Hanna pulang di jempot oleh bapaknya yang seorang TNI. Ya nambah lagi penyakit si Madar yang merupakan penyakit akudnya ya pelupa.
Madar juga pernah membawa bakwan rasa coklat yang buat sendiri, dengan bantuan adiknya paling kecil yang masih kelas 2 SD untuk diberikan ke Hanna sebagai hadiah perkenalan.
‘Di rasa’. Madar menyerahkan bakwan coklatnya ke aku. ‘itu yang mau aku kasih Hanna. Rasain dulu. Enak?’
‘Hmmmmm’ kata aku, mengunyah pelan-pelan.
‘Kekna? Enak gak?’.
‘Kok kek rasa asam sunti yaa?’.
‘Dasar anak kampong. Udik’.
Bersambung...