Menulislah Untuk Sebuah Rasa

in indonesia •  7 years ago 

Sir Peter Alexander Ustinov dalam Aftertaste, 1958, pernah berkata, tidak ada gunanya mati jika Anda tidak menghantui ingatan seseorang, jika tidak meninggalkan secercah rasa.

Banyak orang yang sudah pergi meninggalkan kita, tapi mereka masih bersama kita. Masih ada di ingatan, di rak buku, di layar monitor, bahkan bersemi dalam hati generasi setelahnya. Melalui tulisan banyak orang meningalkan rasa yang menembus batas usia dan zamannya.

Jadi, mari menulis untuk sebuah rasa, seperti Friedrich Nietzsche dengan Sabda Zarathustra, Ecce Homo dan dalam puluhan buku lainnya. Filsuf Jerman ini meski di masa tuanya menjadi orang gila dan mati, tapi ia berhasil meninggalkan rasa bagi kita.

the drama of Achehnese History.jpg
The Drama of Achehnese History karya Hasan Tiro. Sumber Collectie Tropen Museum, Belanda

Begitu juga dengan Kahlil Gibral dalam Taman Sang Nabi, Sayap-sayap Patah dan karya-karya fenomenalnya. Ia mampu meninggalkan rasa, hingga dikenal sebagai si jenius membara. Jadi, sekali lagi, mari menulis untuk sebuah rasa. Jangan menulis untuk sekedar sensasi, caci maki, cari perhatian dan upat cela. Itu ibarat kentutmu yang baunya juga harus kau cium, setelah itu hilang tak berbekas.

Di Indonesia ini, kita juga punya banyak orang yang setelah kepergiannya mampu menghiasi ingatan generasi setelahnya. Beberapa mereka seperti Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), karya-karyanya malah kini difilmkan. Di dunia jurnalis kita juga mengenal Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar.

Rosihan memang telah pergi pada 14 April 2011 silam, tapi ia punya rasa yang diwariskan kepada kita hingga sekarang. Temuilah Rosihan pada Ke Barat dari Rumah, India dari Dekat, Dapat Panggilan Nabi Ibrahim, hingga pada karya religinya Islam dan Anda.

Rasa Rosihan juga ada dalam Ihwal Jurnalistik, Raja Kecil, Kisah-kisah Zaman Revolusi dan Menulis dalam Air. Di situ kita bisa menemukan kembali Rosihan yang telah pergi. Ia telah menjadi apa adanya dia, seperti ungkapan Nietzshe, how one become what one is.

the prince of fredom.jpg
The Prince of Freedom karya Hasan Tiro. Sumber: Collectie Tropen Museum, Belanda

Di Aceh tokoh kontemporer yang paling berhasil meninggalkan rasa itu adalah Hasan Tiro. Tak perlu banyak mengulas tulisanya, cukup dua saja karya terlarang yang tak boleh beredar di Indonesia ini. Yang pertama The Drama of Achehnese History dan yang kedua The Prince of Freedom Unfinished Diary. Ia bukan saja meninggalkan secercah rasa, tapi mampu membangkitkan nasionalisme keacehan yang membuat tanah Aceh membara dengan pemberontakan.

Mengapa mereka bisa meninggalkan banyak rasa dalam tulisannya? Jawaban sederhananya, karena mereka menulis bukan untuk diri mereka sendiri, tapi untuk di luar diri mereka. Mereka telah menjadi etos, panutan, bahkan gagasan dan ide, walau dengan segala kontroversinya semisal si gila Nietzshe. Kegilaanya membuat karyanya diburu, dibahas, diperdebatkan, serta diulas dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Jadi, tak perlu memuji diri sendiri dalam tulisan, itu hanya kebodohan dari “onani” kata dan bahasa. Menutup tulisan ini saya kutip sebait puisi Robert Barn agar kita tidak menjadi bodoh dan keliru melihat diri sendiri. Dalam puisi To a Louse, penyair Scotlandia yang hidup antara tahun 1759 hingga tahun 1796 ini menulis, jika kita bisa melihat diri kita sendiri, seperti orang lain melihat kita, maka kita bakal terbebas dari banyak kekeliruan dan gagasan bodoh.

Jadi, mari terus menulis untuk sebuah rasa bagi masa depan. Merawat ide dan pikiran menembus zaman, melewati usia. Karena kata Albert Camus, seorang penulis yang juga filsuf Perancis kelahiran Aljazair, seorang intelektual adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

bagus itu kak selamat berkarya!

follow dan vote back ya kak! @channa

Selamat juga buat @channa dan mari terus berkarya

Menulis memang perlu dimaknai sebagai sensitivitas keinginan yang kuat tentang rasa. Harusnya begitu ya?

Ya Bro @andifirhaus makanya teruslah menulis, rindu pada tulisanmu kayak dulu dulu itu.

Menulis dengan rasa akan sangat berbeda dan lebih tersampaikan.... Ayo kita jadi penulis yang merasa jangan jadi merasa penulis... Hahahaha saleum bg

Waalaikumsalam, terimaksih sudah berkunjung dan membacanya.

Luar biasa postingannya bg @isnorman. Terus semangat . Salam Komunitas Steemit indonesia

Waalaikumsalam, terimakasih sudah singgah dan membacanya. Kiban sagoe Idi uroe nyoe?

Tetap informatif dan dilengkapi dengan referensi. Brat that-that aju groonn...!! Ka sehat bro?

Alhamdulillah ka, nyoe teungoh lam kurongan siat dalam ruang penuh tumpukan buku buku jadul.

Siap. Lanjoot brader.

Kita akan menulis terus dan tulisan itu akan menemukan pembacanya sendiri.

Yups, mari terus menulis untuk masa depan

Dengan menulis kita menjadi ada. Dengan menulis seseorang dapat dikenang hingga berabad-abad kemudian. Maka menulislah.

Betul Pak @ahmadunyh mari terus positifkan Indonesia melalui tulisan

Semoga ke depan bakal nulis tentang ecco homo-nya Nietzsche ya Pak. Saya pengen belajar. Makasih pak..salam dari Jambi

Waalaikumsalam, ya suatu saat akan kita tulis tentang ecce homo itu.

Terimakasih motivasinya bang, rasanya ingin terus menulis

Omen, bereh that, na disinoe droe.... hehehehe