Salah satu fondasi berbangsa adalah kewujudan para intelektual di dalam menghasilkan berbagai konsep keilmuan. Mereka diperlukan oleh bangsa dan juga sebaliknya. Semakin maju suatu bangsa, maka dapat dipastikan semakin besar pula peran intelektual di dalam penyelenggaraan bangsa tersebut. Di dalam sejarah pembangunan bangsa Indonesia, peran intelektual sangat signifikan. Hampir semua rezim pemerintahan di belakang mereka terdiri para kelompok intelektual. Ada yang tampak ke permukaan dan ada pula yang berada di belakang layar.
Mereka sibuk menyusun pidato pejabat negara. Siang malam dihubungi untuk ditanya persoalan kebangsaan. Ada yang membuat draft undang-undang. Ada pula yang memberikan masukan ke kepala negara. Tidak sedikit yang diberikan akses pada jabatan strategis. Tidak lupa pula mereka yang keliling Nusantara untuk menjadi mata dan telinga negara. Ada yang juga yang sibuk dengan riset untuk kebijakan negara. Ada pula yang bertindak-tindak seolah-olah sebagai kritikus terhadap kebijakan negara. Di sini peran intelektual sangat beragam. Tergantung apakah dia bisa berada dalam gerbong pemerintahan atau tidak.
Intinya, peran intelektual sangat ditunggu oleh negara. Dapat dikatakan juga bahwa intelektual termasuk mesin di dalam suatu negara. Tanpa intelektual, negara akan lumpuh. Karena itu, intelektual juga bisa menjadi musuh negara. Ketika berbeda haluan dengan negara, maka intelektual dapat menginspirasi pikiran rakyat untuk melawan negaranya sendiri. Beberapa negara jatuh, karena mereka tidak mampu mengawal para intelektual mereka sendiri. Bahkan ada kepala negara di negara tetangga yang sangat benci kepada “makhluk yang berkaca mata.”
Kelompok telektual ini dapat direproduksi. Dapat diketahui ideologi yang mereka anut. Ketika masuk kepada posisi strategis, maka sang intelektual akan memikirkan bagaimana kawan-kawannya juga dapat masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Ada kekuatan alumni di sana. Ada kekuatan perkawanan masa sekolah. Ada kekuatan kekeluargaan. Ada kekuatan keorganisasian. Karena itu, terkadang intelektual juga terlibat intrik di dalam satu tatanan kenegaraan. Tidak mengherankan jika ingin melihat kekuatan berpikir seorang kepala negara dan jajarannya, harus pula diintip siapa para intelektual di belakangnya.
Para intelektual sesungguhnya berada di wilayah ilmu. Dia menjadi ‘buku berjalan’ atau ‘ensiklopedia berlajan.’ Dia bicara atas kepentingan keilmuan. Intelektual bukan bicara pada level ideologi. Karena kalau sudah intelektual akan tertutup cara pandang seorang intelektual. Kebebasan sebagai ilmuwan lebih indah, ketimbang berada sebagai pembela ideologi tertentu. Oleh sebab itu, tidak sedikit pula para intelektual yang “singgah” ke balik jeruji besi, ketika tidak bisa membedakan mana perannya sebagai intelektual dan sebagai pendukung ideologi tertentu.
Namun, ketika negara lemah dan tidak kuat fondasi ideologinya, maka target utamanya adalah menyisir para intelektual. Jika ada segelintir yang tidak mendukung ideologi bangsa, maka akan diistirahatkan ke balik jeruji. Pengalaman penangkapan intelektual di beberapa negara yang terancam ideologinya, dapat menjadi contoh, bahwa penduduk kampus tidak akan lepas dari monitor negara. Pemerintah akan mengirim “mata dan telinga” mereka untuk menyisir siapa intelektual yang tidak bekerja sama dengan negara dalam hal ideologi.
Penangkapan kerap terjadi. Penyiksaan apalagi. Keluarga diintimidasi. Famili susah mencari rezeki. Ketika negara bertindak atas kepentingan mendasar (baca: ideologi), maka seorang intelektual akan tersungkur secara fisik ke tanah. Namun, negara tidak akan sanggup mengawal isi pikiran dan batin intelektual. Ketika dikucilkan oleh negara sendiri, bangsa lain sibuk menanti. Betapa banyak intelektual yang dicaci maki di negara sendiri, ketika hijrah ke negara lain menjadi selebriti. Artinya, selain sastrawan, intelektual juga memiliki kebebasan yang dibawa sejak mereka menjadi ilmuwan.
Dapatkah intelektual merobohkan suatu negara? Jawabannya sangat tergantung seberapa kuat pengaruh pemikirannya terhadap kaumnya sendiri. Biasanya ketika negara sedang ambruk, pemerintah akan memanggil tokoh-tokoh intelektual untuk membantu negara. Pada saat genting, kepala negara akan memimjan berbagai ide dari intelektual, yang kadang dikenal sebagai penasihat atau “pembisik” tidak resmi. Karena itu, tidak mengherankan terkadang intelektual dapat mengkooptasi isi kepala sang kepala negara.
Berbagai karya menyebutkan bagaimana intrik para intelektual di dalam mengemudikan negara di atas nahkoda atau setir kepala pemerintahan. Para intelektual menyembunyikan hasrat atau kepentingannya. Ada yang membawa kepentingan umat beragama, agenda politik, dan mazhab ekonomi tertentu. Mereka sibuk mendirikan benteng agar kelompok intelektual lainnya tidak merecoki kepentingan mereka di dalam mengkooptasi isi kepala kepala negara.
Di sinilah intrik dan tangga kekuasaan dibuat. Pola jejaring dibuat sedemikian rupa. Ramai mencoba mendirikan lembaga. Media juga dipengaruhi. Tokoh politik juga tidak dapat menghindari. Di negara mana pun, hal ini lazim terjadi, yaitu fenomena “menguasai isi kepala sang penguasa” oleh para intelektual. Intelektual membuat gerbong untuk menjalankan misi menguasai isi kepala sang penguasa.
Ketika intelektual menjadi stempel penguasa. Maka siklus mendekati penguasa akan selalu berganti. Jika A menjadi kepala pemerintahan, maka intelektual dari kampus B, yang akan duduk di tepi kekuasaannya. Jika C menjadi wakil kepala pemerintahan, maka intelektual dari daerahnyalah yang akan banyak mewarnai kursi di lembaga pemerintahan. Karena itu, karakter kekuasaan sangat mudah terbaca. Karena intelektual ikut pada kepentingan.
Suatu kampus dapat ditebak bagaimana langgam ilmu yang direproduksinya dari karya para ilmuwan yang menjadi guru ataupun muridnya. Jika kampus A yang banyak mewarnai kebijakan negara, maka dapat diketahui mazhab ilmu apa yang digunakan oleh negara. Demikian pula, jika produk undang-undang masih terjerembab pada aspek meta teori atau metafisika tertentu, maka dapat diprediksi manusia yang berjenis apa saja yang akan disasar oleh peraturan tersebut.
Indonesia, pada awalnya merupakan model negara Weberian dan Parsonian. Adapun kerajaan-kerajaan Islam didirikan melalui pola Durkheimian. Setelah merdeka, negara Indonesia ini memang didesain oleh beberapa kampus terkemuka di luar negeri melalui reproduksi intelektual, yang kemudian pulang mengabdi kepada negara. Tekhnorat dan birokrat pada awalnya dari kelompok intelektual ningrat. Namun, setelah merdeka, beberapa intelektual bangsa bukan lagi kelompok “darah biru.”
Desain negara yang berhaluan pada modernisme, telah memberikan panggung pada para intelektual untuk berkiprah di dalamnya. Namun, ketika post-modernisme dimana agama mulai bangkit, para intelektual masih menggunakan pisau analisa teori-teori modernisme di dalam mengatur negara. Salah kaprah menerapkan teori di dalam satu babakan sejarah dunia ketika mengatur negara, akan menciptakan situasi negara yang tidak stabil secara meta teori dan metafisika. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia, ketika babakan sejarah dunia tidak berjalan seirama di dalam sistem pengaturan negara.
Memandang rakyat sebagai musuh adalah bukti pelaksanaan teori-teori modernisme, sedangkan rakyat sudah berpindah pada era post-modernisme atau bahkan masuk pada fase peradaban planetari. Di sini negara terlambat melakukan perubahan secara meta teori, sehingga drama kekuasaan tidak pernah berganti mulai dari isu, isi, kebijakan, konflik, dan adu kepentingan. Semuanya masih tidak seiram dengan gendang sejarah dunia yang sedang dimainkan. Inilah mengapa negara memusuhi rakyat sendiri.
Benar pak, utk melihat siapa perancang dibalik sebuah aksi, maka lihatlah kaum intelektual di sekitar nya: asalnya dan ideologi yg diusungnya...
Kaum intelektual juga manusia, yg rawan tergoda mendesain tindakan menguntungkan pembayar, namun merugikan bagi mayoritas...
Padahal dgn disiplin ilmu dimiliki, ia mampu membawakan perubahan...
Umumnya, 'kegalauan' penguasa itu, imbas khawatir adanya ancaman terlenserkan....
Semoga intelektual memanfaatkan disiplin ilmunya, utk kemajuan bangsa, bukan siasat adudomba berujung keresahan...
Terus semangat memposting masukan cerdas pak🙏👍😄😄
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sama sama Bang. Andai komen anda saya jadikan kesimpulan. Ttp, biarlah ada disitu, pembaca akan melirik kesimpulan yang anda buat...tanx.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Assalamualaikum pak KBA, saya mawardi kita pernah jumpa di Almuslimun lhoksukon, saya salah satu guru di pondok pasantren yang dipimpin ust arif tersebut.
Saya juga salah satu anggota fame chapter lhoksemawe.
Saya salut dan ingin menjadi seperti pak KBA yg menulis setiap hari tanpa habis "out off" ide kata-kata untuk ditulis.
Dan hari tentng ibtelectual.
Tulisannya juga sangat panjang dan teratur.. Berpedoman pada Subject prediket objek/keterangan dalam setiap kalimat.
Kaum intelektual sebagai kawan atau lawan negara skrg sangat banyak..
Ini fakta yg pak KBA tulis.
Izinkan saya belajar banyak menulis dngn pak KBA.
Salam
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Salam Kembali Ustaz,
Tulisan saya di Steemit adalah tulisan biasa saja. Karena ingin memberikan semangat kepada para penulis di Darussalam. Salam saya kepada Abi Arief. Tema-tema yang saya angkat pun tidak begitu ilmiah. Topik intelektual saya sajikan, setelah saya melihat mereka tidak berdaya dihadapan penguasa. Tanx.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Baik pak KBA, akan saya sampaikan ke Abi arief.
Alhamdulillah di Almuslimun ada devisi jurnalis yg terhimpun dalam Ikatan Jurnalis Almuslimun atau yg lebih dikenal dengan IJA.
Saya dipercayakan sebagai koordinator IJA sejauh ini.
Sebelumnya perkembangan tulisan anak dilakukan dengan belajar bersama antara saya dengan anak-anak.
Selain itu juga pernah bekerjasama dengan FAME chapter Lhokseumawe.
Saya atas nama IJA mengharapkan kesempatan waktu pak KBA di tahun ajaran baru bisa kunjung Almuslimun untuk transfer ilmu tulisnya.
Kiban kira2 pak, na peluang bacut kami belajar sambil tajep kupi dengan pak KBA?
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Alhamdulillah. Insya Allah, jika ada waktu, saya akan hadir ke Al-Muslimun. Akhir bulan ini saya akan kegiatan di Lhokseumawe. Kalau memang ingin mendiskusikan beberapa hal, nanti dalam group FAMe bisa dibincangkan.
Kalau minum kopi harus segera ditunaikan.
Syukran.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit