Memahami Realitas dalam Jebakan Euforia

Setiap pertemuan yang melangsungkan kebersamaan, biasanya berujung akhir, berpisah. Dan setiap pisah, lazimnya memiliki ruang temu kembali. Biasanya, disebut reuni. Hari ini, sebagaimana yang sudah viral di media sosial, reuni212 tampak begitu semarak.

Lalu sisi lain apa yang menarik dibahas? Reuni tersebut memang mengundang pro dan kontra. Dan saya, tidak sedang memposisikan diri sebagai bagian dari salah satunya. Tadi, saya membuka histori WhatsApp, dan mendapati teman memposting video 2:12. Sebuah video dengan latar belakang Suriah.

Tak lama berselang, seorang teman lainnya yang juga temannya si pengunggah video, memposting hasil percakapannya. Ia bertanya kepada yang mengunggah video; "Jadi 212 itu permulaan kayak Suriah ya", tanyanya. Yang satu lagi menjawab diplomatis, dengan jawaban; bisa dijawab sendiri. Dan ia mengaku melihat gerakan 212 mengarah ke sana (Suriah).

Saya langsung tersenyum melihat pembahasan tersebut. Secara keperpihakan jelas, si teman yang meng-upload itu video berafiliasi ke petahan. Ia juga caleg dari partai yang identik anak muda. Partai yang baru-baru ini viral karena menolak perda bla bla. Jujur, saya tidak masalah terhadap pandangan dan keberpihakan itu.

Namun, yang saya sayangkan adalah posisi dia. Bagi saya, untuk caleg di Aceh tidak usahlah ngotot dan jihap terhadap isu nasional yang sensitif. Terlebih, mewakili partai baru, ataupun mewakili partai yang sudah cenderung diasosiasikan mendukung penistaan. Itu hal-hal yang dilabel secara umum. Saya tidak menjudge. Dan tidak ada urusan mengamini salah satunya.

Suka atau tidak suka, orang-orang Aceh secara garis besar menaruh respek terhadap reuni 212. Persoalan ditunggangi atau tidak, mau dibantah kerasa sekalipun, kita juga tahu kok, itu tidak semata-mata steril. Sayangnya, bagi yang bersebrangan harus bersiap namanya tercoreng. Dan hal itu, sangat besar pengaruhnya terhadap peluang kemenangan seorang caleg. Apalagi caleng baru dan sangat muda.

Kekecewaan saya sederhana, ia tidak tuntas memahami realitas. Sekalipun ia tidak suka dan harus membela kubunya, harusnya tidak perlu lebai dan bangga karena berbeda. Ada kalkulasi yang harusnya detail. Sekaliber dirinya yang meniti anak tangga dari organisasi ke politik dengan teratur, memiliki relasi yang bagus, pun terkenal bisa mengkonsolidasi masa, harusnya ia paham realitas.

Apalagi basic keilmuannya adalah politik. Bagi saya, hidup di Aceh tidak cukup modal berani berbeda saja. Berani iya, tetapi tahu mana hal yang sensitif. Sebab, secara kultural kita Aceh memang terbangun; kehati-hatian terhadap isu sosial keagamaan. Terlebih, orang Aceh kuat secara simbol. Wajar ketika gampang tersinggung saat simbol tertentu disenggol.

Pertaruhan di level elit memiliki pengaruh ke akar rumput. Dan segala yang terjadi dalam skala nasional berimbas ke daerah. Cuman, sebagai orang di daerah, jangan latah. Ada kearifan lokal yang musti dipahami. Ketika kita paham bahwa politik itu dinamis, harusnya tidak keras kepala, untuk menahan diri guna tidak terbawa euforia di nasional. Baik itu yang pro, terlebih kontra.

Saya menaruh harapan kepada teman tersebut, karena tahu ia memiliki peluang menjadi pemenang dalam kontestasi pileg kali ini. Hanya saja, menurut hemat saya, ia terlalu sibuk menampilkan narasi berbeda, yang padahal berbeda itu tidak begitu populis di Aceh. Sekalipun saya juga paham, politik populisme tidak juga baik-baik amat.

Sayang rasanya, hanya karena sibuk mengurusi isu pilpres dengan segala turunannya, menyebabkan kursi tak jadi diduduki. Lebih jauh, silap-silap nama baik menjadi buruk. Ketika nama baik tercoreng, tidak ada capres yang bertanggungjawab terhadap itu. Bukankah kita tahu, bahwa hal yang berharga dari diri yang patut dijaga adalah juga nama baik.

Nama baik tidak hanya menyangkut diri seorang individu. Melainkan melibatkan orang-orang dekat. Seperti keluarga, pun kerabat.