BAGIAN KEENAM: TRADISI INTELEKTUAL ACEHNOLOGI

in indonesia •  7 years ago 

Assalamualaikum wr wb
pada postingan kali ini saya akan melanjutkan resume buku Acehnologi Volume 3 karangan bapak KBA, bagian keenam yang terdiri dari enam bab, diantaranya :

IMG_20180722_195454.JPG

BAB 27 CARA BERPIKIR ORANG ACEH

Cara bepikir orang Aceh sangat dipengaruhi oleh faktor tingkat spiritual dan pemahaman mereka terhadapkonsep alam (kosmologi). Namun tentu saja cara berpikir telah berubah, seiring dengan perubahan budaya dan sosial dalam kehidupan masyarakat Aceh. Perubahan-perubahan ini akan menjadi titik titik tekan serta melihat aspek-aspek metafisik dari cara berpikir orang Aceh. Dalam masyarakat Aceh produk pemikiran yang paling otentik adalah hadih maja yang merupakan nasihat para tetua Aceh. Konsep hadi maja memang diakui sebagai sebuah produk pemikiran orang Aceh, dimana sesuai dijelaskan dengan bahasa-bahasa yang sangat filosofis dan metafora.
Dalam bahasa Aceh muncul kata seumike atau pike, biasanya dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan istilah cara seumike (cara berpikir). Dengan kata lain, cara seumike lebih berhubungan dengan aspek epistemologis ( cara mendapatkan ilmu pengetahuan).

Didalam pemikiran orang Aceh dikenal pula istilah bangai (bodoh). Jika kita pergi ke kampung, pola sosialisasi kata bangai adalah sesuatu yang amat kita dengarkan. Istilah ini sering digunakan bagi mereka yang tinggi status sosialnya kepada mereka yang lebih rendah status sosialnya. Disini kata bangai bukan karena tidak punya ilmu,melaikan seseorang boleh mengeluarkan kata tersebut karena posisinya. Akhirnya di dalam keluarga,yang lebih tua akan memanggil bangai kepada anaknya, abang kepada adiknya, kakak kepda adiknya. Pemunculan kata bangi bukanlah untuk menghardik atau mencaci, karena tidak punya ilmu pengetahuan, melainkan karena kelakuan sesuatu tidak sesuai dengan keinginan orang yang mengatakan bangai.
Dalam suatu kampung dikenal juga konsep bek peumale gampong itu adalah upaya tertinggi untuk menutup masalah, bahkan aib dalam kampung tersebut. Dalam konteks ini, menurut sejarah, setiap kampung terdiri dari kaum (kawom) yang diketuai oleh panglima kawom. Setiap kawom itu terdiri dari beberapa keturunan yang saling mengikat antara satu sama lain, sehinngga relasi kawom ini menciptakan sebuah kesatuan sosial yang sangat sukar untuk diadu domba.setiap pola pikir untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat, mulai dari kawom hingga nanggroe dimulai dari bagaimana bersikap pada alam, agama, dan jiwa. Untuk menciptakan pemahaman, sesuatu yang melawan alam, sering diungkapkan dengan istilah hana roh. Sesuatu dilakukan karena mengikut keinginan alam. Istilah roh, jika boleh, bisa diartikan ruh atau spirit yang merupakan sebuah kekuatan yang tidak tampak secara kasat mata.
Masyarakat Aceh relasi sosialnya sangat ditentukan denga status sosial seseorang. Relasi ini kemudian menciptakan kerangka berpikir untuk melihat diri dan orang lain dari perspektif perkauman. Dalam hal ini, persoalan keluarga dan agama menjadi halpenting bagi masyarakat dalam mengukur tingkat status seseorang dalam masyakakat. Yang terakhir konsep berpikir orang Aceh adalah timang atau selaras. Konsep ini dapat dikatakan menjadi kompas dalam kehidupan masyarakat Aceh.

BAB 28 TRADISI BERGURU DI ACEH

Guru memang sangat berjasa dalam mencerdaskan seseorang, guru membuat orang menjadi pintar dengan limu yang dimilikinya. Di Aceh sendiri taradisi berguru (meugure) sudah menjadi nafas dalam kehidupan rakyat Aceh. Karena seseorang dianggap berguna dan berfungsi dalam masyarakat, jka orang tersebut pernah berguru pada seorang ulama atau guru, baik di dayah maupun di madrasah. Tradisi ini memang tidak hanya menopoli orang Aceh saja, tetapi juga setiap masyarakat di Nusantara, dimana tradisi berguru tidak dapat di hindarkan. Beberapa pemimpin besar, selalu ada guru dibelakangnya yang mengarahkan dan memberi ilmu dan hikmah, mulai yang lahir hinnga batin. Kenyataan ini menjadi faktor bahwa berguru begitu penting.

Keberadaan tradisi berguru menjadikan lembaga sebagai tempat untuk mencari jejak spirit keAcehan, misalnya didayah. Bagi orang Aceh, dayah merupaka pusat dari ilmu pengetahuan, sistem pendidikan yang saling berkaitan dengan masyarakat dan kegiatan yang melingkupinya, menjadikan pendidikan oranga Aceh saling terintegrasi antara dunia ilmu pengetahuan dengan keperluan masyarakat. Proses transfer ilmu dengan spirit menjadi dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Akibatnya, jebolan dayah saat itu benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Karena dayah atau pesantren merupakan pusat sumber peradaban yang paling asli di Nusantara. Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan ini mampu menghasilkan jiwa yang memili ki spirit.

Persoalan mendasar dalam memahami dunia pendidikan di Aceh adalah kerena kehilangan arah orientasi. Dunia pendidikan tidak lagi berorientasi menuju pada kesalehan individu atau kesalahan sosial yang merupakan titik tumpuan dari mikrokosmos.sehingga, warna pendidikan yang tidak memiliki orientasi ini didisi oleh sitem berpikir yang tidak menciptakan pemikir. Salah satu tradisi intelektual di Aceh mencapai kesuksesan, karena ada kegelisahan pada sebagian sarjana akan apa yang diwariskan terhadap generasi berikutnya. Selain itu, mereka juga mengerti betul bahwa melalui tradisi intelektual, Aceh bisa menemukan jati diri ke Acehan mereka.

Aceh memiliki akar sejarah tersendiri dalam membangun dunia intelektual. Akar ini telah berlangsung selama ratusan tahun, bahkan ketika Aceh sudah bangkit, Barat baru menemukan spirit intelektual mereka, seperti yang di perlihatkan oleh Hegel dan generasi berikutnya. Spirit intelektual di Aceh telah kehilangan bentuknya, sehingga aspek kosmologi Aceh yang menjadi landasan filosofis dan metafisik cara berpikir orang Aceh begitu susah di temukan. Kajian ini memperlihatkan bahwa tradisi berguru di Aceh telah menghasilkan satu peradaban tersendiri. Tradisi berguru saat ini tidak lagi menjadi hal penting dalam dunia intelektual di Aceh. Bahkan, dunia pendidikan Aceh sama sekali tidak lagi diperhitungkan baik dalam skala nasional maupun internasional.

BAB 29 TRADISI KEPENULISAN DI ACEH

Buku menjadi salah satu faktor sangat pentin dalam proses tulis-menulis untuk dijadikan sebuah referensi. Jadi bagi penulis setiap ada terbitan baru pasti akan diburu untuk dijadikan sebagai referensi baru. Denga demikian, terbitnya buku baru tidak dapat diabaikan. Penulis di Aceh kebanyakan menulis buku untuk Aceh dan Indonesia. Hanya ampir semua dari mereka menulis tentang sejarah Aceh berisi mengenai jatuh bangun peradaban Aceh. Faktor karya dan dinamika intelektual diAceh sama sekali telah hidup di dala tradisi keilmuan. Sejauh ini, dunia perkitaban atau perbukuan di Aceh, memang tidak pernah surut atau padam. Hanya saja, tidak ada upaya serius untuk memperkenalkan kembali karya-karya tersebut pada generasi muda Aceh. Sehingga, mereka selain asing dengan karya orang Aceh, juga terkadang tidak mengetahui kedalaman ilmu pengarang tersebut.

Aceh merupakan lumbung intelektual di Nusantara. Ulama sekaliber Hasbi Ash- Shiddieqy merupakan ulama Aceh yang sangat berjasa dalam menulis buku dan menentuka arah kajian hukum Islam tidak hanya di Aceh, tetapi juga di indonesia. Demikian pula kajian sastera dan sejarah, nama Ali Hasyimi merupakan bukan hanya sebagi sosok pemimpin dan pemikir Aceh, tetapi sebagai penilis yang amat produktif. Yang menarik, para ulama tempo dulu juga tidak kalah hebat dalam menuangkan ide-ide meeka dalam kitab kuning. Sehinnga dominasi intelektual Aceh sangat dirasakan di Nusantara.

Faktor seseorang menulis buku di Aceh. Pertama disebabkan karena, ingi mengisi kekosongan literatur keislaman. Pada zaman dahulu tidak ada google bagi seorang murid untuk belajar ilmu-ilmu keislaman. Sehingga para guru berusaha menulis, baik itu menyalin maupun mensyarah kitab, untuk memberikan pencerahan bagi sang penuntut ilmu. Kedua, para ulama menulis buku karena ada permintaan dari penguasa. Hal ini disebabkan karena pemimpin ingin menjadi kitab ulama tersebut sebagai pegangan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sehingga ulama tersebut, mau tidak mau, harus menulisnya.

Karena itu, posisi mereka sangat dekat dengan poros kekuasaan, yang menyebabkan ada satu pandangan bahwa begitu mulia ulama dalam kerajaan Aceh. Ketiga, respon terhadapa keadaan terkini. Mereka menulis karena keinginan untuk menulis kembali sejarah Aceh. Hal ini di sebabkan ketika dia hidup, tidak ada yang membahas mengenai sejarah Aceh.
Penulis Aceh selalu menampilkan sisi historis dari perjalan intelektual mereka. Karena itu, ketika menulis tentang Aceh, mereka kerap merujuk pada sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah menghiasi sejarah Aceh. Ada juga penulis Aceh yang sangat piawai di dalam menjelaskan ilmu pengetahuan di negeri ini. Mereka mencoba menggali aspek-aspek yang menyebabkan tradisi ilmu pengetahuan yang menyababkan kegemilangan di atas. Begitulah tradisi kepenulisan di Aceh.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!