lanjutan resume Acehnologi volume 3 bagian keenam...
BAB 30 KONTRIBUSI KEILMUAN ALUMNI LUAR NEGERI DI ACEH
Tradisi menuntut ilmu ke luar negeri memang telah mentradisi di Aceh. Tradisi alumni pendidikan lur negeri memang sangat di minati oleh masyarakat Aceh. Buktinya saja, dalam tradisi masyarakat Aceh, jika seseorang hendak berangkat ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah, tidak sedikit para orang tua melakukan syukuran akan keberangkatan anak-anaknya.syukuran ini selain merupakan simbol pemberitahuan kepada sanak saudara, juga berfungsi sebagai supaya anak mereka tersebut selamat sampai tujuan dan bisa kembali lagi ke dalam masyarakat. Maka dari itu, berangkat keluar negeri merupakan simbol yang amat bergengsi bagi masyarakat Aceh. Ketika pulang belajar dari di Timur Tengah, mereka kemudian berkiprah dalam masyarakat. Peran mereka sangat dirasakan, karena kelulusan dan kualitas ilmu yang mereka dapatkan. Sehingga tidak mengejutkan tradisi mengirim anak-anak belajar ke Timur Tengah, selalu dilakukan oleh masyarakat Aceh. Para orang tua yang menyekolah anaknya ke luar negeri tersebut mempunyai kebanggaan sendiri terhadap orang tuanya.
Di sini para sarjana Aceh melakukan proses reproduksi ilmu pengetahuan secara produktif. Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan ulama dari dari Aceh yang tidak pernah mengenyam pendidikan luar negeri, namun perannya setara dengan pembaru-pembaru Islam di luar negeri. Demikian pula, Aceh memiliki Ali Hasjmy, sebagai ilmuwan serba bisa, namun sama kali tidak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri. Jadi, dapat dikatakan bahwa mengenai peran dalam masyarakat Aceh, persoalan lulusan dalam maupun luar negeri, pada era 1970-an, bukanlah persoalan penting. Para sarjana Aceh, bahu-membahu dalam mengembangkan spirit keilmuan mereka.
Pada era 1970-an atau bahkan sebelum Indonesia merdeka, alumni luar negeri di Aceh memainkan peran yang cukup signifikan. Tidak hanya itu mereka tidak pernah mengenyam dunia pendidikan di luar negeri, juga menghasilkan karya-karya yang masih bisa dijumpai hingga hari ini. Karena itu, tahun 1970-an dan 1980-an, Aceh masih mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam dunia akademik di Indonesia. Perbedaan sistem rekruitmen dan sistem pendidikan, juga mengakibatkan perbedaan dalam melakukan kiprah dalam kehidupan sosial dan budaya.
Alumni Timur Tengah lebih banyak langsung bersentuhan dangan rakyat kecil. Karena mereka tidak hanya berperan sebagai ustaz, tetapi juga dianggap orang yang mampu menjawab persoalan agama-agama, di wilayah urban. Hal inilah yang kemudian memicu semangat orang tua Aceh untuk mengantarkan anak-anak mereka ke Timur Tengah. Karena paling tidak, setelah pulang dari sana, mereka mampu menghidupkan agama di lingkungan mereka ke Timur Tengah. Jejaring keilmuan di Aceh, secara sosio-histeri, telah disemai oleh para ilmuwan/ulama yang pernah menuntut ilmu di luar Aceh. Studi ini, paling tidak telah memaparkan bahwa tidak mungkin membangun Aceh tanpa berhijrah ke suatu negeri.
BAB 31 MASA DEPAN DAYAH DI ACEH
Sekarang ini dayah sudah saatnya menentukan pilihan apakah terus bertahan dengan tradisi ilmu pengetahuan yang diterapkan saat ini, atau mulai memikirkan bagaimana melakukan adaptasi dengan perkembangan kontemporer atau dayah mencari paradigm baru dalam melakukan transfer ilmu pengetahuan terhadap generasi baru Aceh. Walaupun dalam kenyataannya, agama telah dipisahkan, namun spirit agama, yang dimunculkan oleh kaum agamawan tetap memainkan peran penting. Dengan kata lain, Barat masih masih menerima ilmu wangsit, walaupun mereka sangat rasional. Hanya saja, peran kaum agmawan ini tidak lagi ditampilkan di wilayah politik, sehingga tesis sekularisme seolah-olah benar-benar telah diterapkan di Barat.
Dalam studi agama, spirit dimiliki oleh Tuhan. Tentu saja bagi ummat Islam, pemiliknya adalah Allah. Akan tetapi spirit yang ada di dunia ini mampu menggiring manusia pada kehidupan yang tentram dan bahagia. Namu sebaliknya, ada juga kekuatan spirit yang jahat, yang mampu mengarahkan manusia pada kehidupan yang durjana. Disini spirit tersebut bercerai berai dan mengalami proses penyatuan dengan manusia. Manusia yang mampu mempelajari dan memahami dunia spiritual, tentu saja akan mampu menjelaskan beberapa hal yang tidak diketahui secara umum oleh manusia.
Jika ditarik dalam konteks kehidupan dayah, maka persoalan spirit tidak dapat diabaikan. Sebab, dalam sejarah, reproduksi spirit ternyata banyak dihasilkan oleh para penuntut ilmu di dayah. Spirit ini ternyata menjelma menjadi patron kebudayaan masyarakat Aceh. Hal ini disebabkan, mereka yang menerima spirit ini mampu menjadi penyuluh masyarakat, baik dalam kehidupan sosial maupun keagamaan. Dapat dikatakan spirit itu menyinari Aceh selama beberapa abad lamanya, mulai dari era kerajaan Islam hingga hari ini. Bahkan spirit yang muncul dari dayah ini dikatakan sebagai ilmu indatu yang masih sangat kentara keasliannya. Ilmu juga membuat manusia semakin dekat satu sama lain. Melalui kemajuan ilmu pengetahuan, manusia bisa mengetahui beberapa rahasia alam, kemudian mencoba meniru apa yang telah diciptakan oleh Pemilik Alam. Kemajuan ilmu pengetahuan ini tentu saja mampu merekayasa kehidupan sosial masyarakat dunia.
Dayah memiliki peran yang amat strategis di masa yang akan datang, dayah merupakan tradis khas Aceh. Tanpa dayah, maka Aceh sama sekali tidak memiliki ke khasan, maksudnya jika dayah ikut larut dalam perkembangan dunia, maka dikhawatirkan dayah akan hilang jati dirinya. Namun dayah harus mampu mempertahankan diri sabagai lembaga tradisional dalam proses transformasi ilmu pengetahuan di Aceh. Dayah pernah menjadi sebagai lembaga ketahanan masyarakat Aceh dalam melakukan proses transfer ilmu pengetahuan. Hal ini masih bisa dilakukan, sejauh masyarakat Aceh masih memandang bahwa ilmu pengetahuan dan ilmu kebijaksanaan merupakan akar peradaban manusia. Harapan-harapan tersebut tentu saja akan menyambut tantangan dari trend ilmu pengetahuan dan gerakan keagamaan, dimana dayah harus berada di garda terdepan dalam menyikap setiap perubahan global. Pola ini tentu saja menjadikan dayah sebagai sebuah lembaga yang menjadi institusi resmi bagi pengembangan spiritual masyarakat Aceh.
BAB 32 DARI TEUNGKU KE USTAZ
Makna ustaz adalah guru, mereka memainkan peran tidak hanya di pondok pesantren, tetapi juga sebagai juru dakwah. Kedua konsep ini telah dikenal luas di Aceh. Namun dalam dua dekade terakhir, setelah pengenalan terhadap pondok pesantren modern, yang diadopsi dari gontor pada tahun 1980-an, panggilan ustaz telah diterima sebagai gelar dalam bidang keagamaan di Aceh. Di Aceh, ulama telah berperan cukup aktif sejarah kedatangan Islam hingga bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia. Semasa kerajaan Islam, para ulama menjadi penasihat khusus bagi sultan. Di Aceh pula, para ulama di kenal dengan panggilan teungku, abu, abi waled, dan abon. Dalam hal ini terdapat hirarki. Ulama yang paling tinggi dikenal dengan abu (bapak), yang terkadang dihubungkan dengan kampung kediaman mereka, seperti Abu Tanoh Mirah, Abu Awe Geutah, Abu Tanoh Abe. Nama –nama panggilan yang terhubung dengan nama kampung manyiratkan bahwa mereka yang mengontrol pola hidup keagamaan masyarakat.
Jika suatu kampung tidak ada seseorang pun yang belajar di dayah, maka kampung tersebut akan mengalami persoalan internal. Artinya, mereka sama sekali tidak memiliki generasi yang menduduki posisi sebagai Teungku Meunasah. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan, para orang tua akan merelakan anak gadis mereka dinikahi oleh alumni dayah. Tujuannya adalah supaya pemuda tersebut akan tinggal di kampung tersebut kemudian menjadi Teungku Meunasah. Tentu saja, sistem ini akan dijumpai di kawasan perkotaan di Aceh. Karena itu, di kalangan masyarakat tradisional, para orang tua masih mementingkan untuk mengirim anak mereka ke dayah.
Dalam kajian ini, mengidikasikan bahwa di Aceh ada dua gelar untuk menunjukkan identitas keagamaan dalam bidang pendidikan Islam. Gelar teungku agaknya merupakan warisan dari pendidikan tradisional Islam di Aceh. Namun, terdapat hirarki dari gelar teungku, khusu terkait kapasitas ilmu pengetahuan dan pengaruh dalam masyarakat. Posisi yang paling tinggi adalah Teungku Chik yang memiliki dan menjalankan sistem pembelajaran di dayah. Berikutnya adalah Teungku Bale yang bekerja di bawah kendali Teungku Chik. Adapun Teungku Rangkang adalah santri senior yang bertindak sebagai asistem terhadap Teungku Bale. Namu demikian, terdapat juga Teungku Meunasah di kampung yang bekerja sama dengan geuchik. Tugas Teungku Meunasah adalah mengajar ilmu-ilmu dasar keislaman kepada anak-anak sebelum mereka belajar di dayah atau sekolah umum.
Gelar teungku tidak hanya digunakan dalam pendidikan Islam. Gelar ini dipakai oleh beberapa anggota GAM, kendati sama sekali tidak memiliki latarbelakangan dayah. Salah satu anggota GAM mengatakan bahwa gelar ini nukanlah identitas orang dayah, tetapi bagi semua kalangan orang Aceh. Persoalan yang cukup serius dalam masyarakat Aceh, khususnya yang berkaitan dengan kesinambungan sistem pendidikan tradisional. Hal ini disebabkan oleh para orang tua di Aceh lebih tertarik untuk mengirim anak mareka pada pondok modern, ketimbang ke dayah. Dalam kondisi ini, peran dayah semakin menurun dalam pengembangan pendidikan, selain keterlibatan ulama dalam politik Aceh, juga tidak ada jaminan masa depan bagi lulusan dayah. Namun begitu, di perlukan studi lebih mendalam mengenai pengaruh pondok modern dan juga apakah benar dayah tidak lagi menjadi tempat utama dalam pendidikan Islam di Aceh.